Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Siapa sih yang tidak pakai media sosial di zaman sekarang? Mungkin ada, tapi jelas “minoritas”, sebab medsos kini sudah menyatu dengan masyarakat modern dan menjadi salah satu sendi kehidupan mereka, termasuk bagi anak-anak di bawah umur yang belum berusia 18 tahun.
Tentu saja era baru selalu memunculkan masalah baru, tak terkecuali medsos. Keakraban anak dengan internet dan medsos mencuatkan berbagai kejahatan siber yang mengancam mereka. Dari total 24.974 pengaduan anak sejak 2016 sampai 2020 yang dihimpun KPAI, 12,73 persennya (3.178 kasus) datang dari ranah siber, baik pornografi maupun kejahatan.
Kasus-kasus di ruang siber ini sebetulnya sudah sering jadi perhatian publik, namun timbul tenggelam—timbul kalau ada perkara besar, dan tenggelam oleh perkara besar lainnya. Padahal, pemecahan masalah terkait medsos ini tidak bisa setengah-setengah.
Faktanya, berdasarkan laporan “State of Mobile 2023” yang dirilis data.ai, masyarakat Indonesia adalah pengguna internet paling intens di dunia. Dalam sehari, mereka menghabiskan seperempat waktunya (hampir 6 jam!) dengan menatap layar ponsel. Dan di antara mereka tentulah ada pengguna anak-anak.
Menurut Kominfo, pengguna ponsel pintar di Indonesia mencapai 167 juta orang. Jumlah itu adalah 89% dari total penduduk Indonesia. Dan laporan Data Reportal di awal 2022 menunjukkan bahwa jumlah perangkat seluler yang terkoneksi ke internet di Indonesia mencapai 370,1 juta—bertambah 13 juta dari tahun sebelumnya.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa ponsel telah menjadi barang primer bagi masyarakat, termasuk anak-anak yang makin familiar dengan smartphone di masa pandemi COVID-19.
Pertanyaannya: bagaimana cara membentengi anak-anak di era digital kini, ketika medsos menjadi celah bagi para penjahat, penipu, dan predator seksual untuk melancarkan aksinya?
Orang Tua sebagai Garda Terdepan
Sejak pandemi tahun 2020, mayoritas orang tua memberikan ponsel untuk anak-anak mereka guna belajar online. Berdasarkan data KPAI, 71,3% anak di Indonesia telah memiliki gadget sendiri, 17,1% menggunakan gadget orang tua, dan 11,6% memakai gadget dengan kepemilikan bersama orang tua.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyarankan, kepemilikan gadget tidak diserahkan sepenuhnya kepada anak, melainkan tetap bersama orang tua.
“Jadi bukan kepemilikan pribadi anak, tapi punya orang tua yang dipakaikan ke anak. Kepemilikan itu kalau sudah masa remaja,” kata Komisioner KPAI Margaret Aliyatul Maimunah kepada kumparan, Rabu (1/3).
Jika anak belum remaja, orang tua sebaiknya memberi anak ruang dan waktu untuk memegang gadget tersebut, berdasarkan kesepakatan bersama.
“Dikasih kesepakatan waktu bermain, mau berapa lama, apakah seminggu sekali? Dan usahakan jangan [pakai ponsel] di kamar tidur karena itu sering membuat kontrol orang tua berkurang. Lebih baik di ruang keluarga,” kata Margaret.
Sosiolog UI Devie Rahmawati mengingatkan agar orang tua tidak menjerumuskan anak dengan memberi gadget terlalu canggih demi mendapat sanjungan.
“Memberikan hape paling mahal buat anak biar disanjung di sosial media, biar dipuji anak,” ujar Devie, Jumat (3/3).
Padahal, memegang ponsel menghadirkan tanggung jawab baru yang perlu disadari orang tua dan anak. Ponsel dengan segala kecanggihannya memperluas akses anak ke jagat yang bahkan mungkin belum pernah disentuh orang tuanya, termasuk media sosial.
Nenden Sekar Arum dari SAFEnet mengimbau orang tua untuk menetapkan screen time bagi anak, dan mendampingi mereka mengakses medsos. Malahan, akun medsos anak seharusya dikelola bersama dengan orang tua.
“Screen time misalnya sehari dua jam saja [pakai hape]. Ini bisa jauh lebih efektif ketimbang bikin regulasi [yang butuh waktu lama]. Tapi memang ini PR susah. Jadi mungkin juga lebih mudah bikin regulasi ketimbang meningkatkan literasi digital masyarakat,” ujar Sekar.
Orang tua harus mengajari anak untuk bersikap pantas di media sosial, misalnya cara berkomentar atau bereaksi terhadap konten tertentu.
“[Beri pemahaman tentang] konsekuensi yang mereka hadapi dalam bersosmed, baik ketika membaca/melihat/bereaksi mengenai sebuah post, atau ketika mengomentari/mentioning/tagging/posting pada sebuah post,” kata Agstried Piethers, salah satu pendiri pusat layanan psikologi Rumah Dandelion.
Komunikasi yang baik perlu terjalin antara anak dan orang tua sehingga anak tak segan menginformasikan kepada orang tua bila menerima perilaku tak menyenangkan di medsos.
Rekan Agstried, Nadya Pramesrani, menyatakan bahwa literasi digital ini memang menitikberatkan pada peran orang tua dalam mendampingi anak di jagat digital, termasuk media sosial, sebab perkembangan kognitif anak belumlah matang.
“Literasi digital sangat dibutuhkan karena membantu anak dan orang tua belajar mengkritisi informasi yang didapat, dan memahami informasi itu,” tutur Nadya.
Medsos Harus Masuk Kurikulum
Lebih lanjut, SAFEnet menekankan pentingnya memasukkan literasi dan etika digital dalam lembaga pendidikan formal. Artinya, sekolah harus mengajarkan baik-buruk dunia siber kepada murid-muridnya.
Langkah tersebut dinilai penting untuk menanamkan cara bijak bermedsos sejak dini, sehingga dapat melindungi anak-anak dari paparan negatif sosmed.
“Materi literasi digital ini isinya macam-macam, mulai dari etika sampai manajemen waktu,” kata Sekar.
Mengapa harus kurikulum?
“Karena kalau lewat kurikulum, semua anak Indonesia di kawasan mana pun, apakah di Jakarta atau daerah lain, akan mendapatkan pelajaran yang sama,” tegas Devie.
Kurikulum juga membantu orang tua yang cenderung gagap teknologi. Dengan demikian, anak dengan orang tua yang melek teknologi atau gagap teknologi, akan menerima pendidikan etika digital yang sama.
Pemrakarsa gerakan #BijakBersosmed Enda Nasution berpendapat, kurikulum terkait medsos harus mengutamakan perilaku dasari dalam bermedsos.
“Bagaimana masuk ke dunia maya, bagaimana mengamankan data pribadi—nomor kartu identitas, kartu kredit orang tua. Itu nggak boleh dibagikan dengan gampang. Dan harusnya pengetahuan soal itu masuk ke kurikulum pendidikan dasar,” ujarnya.
Menurut Enda, bekal dasar ini sama pentingnya dengan ilmu panduan umum di dunia nyata.
“[Etika umum itu] seperti jalan harus di trotoar, atau jangan masuk ke mobil dengan orang yang tidak kita kena,” ujarnya.
Platform Medsos Ikut Tanggung Jawab
Sejumlah platform medsos menyatakan, mereka tidak mengizinkan konten yang bisa membahayakan kaum muda. Konten yang tak diizinkan itu, menurut Standar Komunitas Facebook, misalnya kekerasan dan hasutan, mendukung tindakan kriminal, bunuh diri, eksploitasi seksual dan ketelanjangan anak, perundungan siber, serta ajakan seksual.
Dessy Sukendar, Policy Programs Manager Meta Indonesia, menyebut bahwa Meta—yang membawahi Facebook dan Instagram—memiliki sekitar 30 alat untuk mendukung keamanan anak-anak dan remaja, misalnya fitur blokir (restrict) akun di Instagram jika AI Meta menemukan akun mencurigakan. Alat tersebut bisa melakukan crawling pada konten-konten berbahaya.
“Ada tim ahli yang aktif menemukan konten tersebut. Jadi selain AI, ada manusia di belakangnya,” kata Dessy. Menurutnya, tim ini berjaga 24 jam untuk melakukan tugasnya.
Mulai 2022, Instagram juga memperkenalkan fitur Pengawasan Orang Tua. Dengan fitur ini, orang tua bisa melihat aktivitas dan membatasi screen time media sosial anak.
Sementara YouTube kini menyediakan YouTube Kids sebagai kanal khusus anak yang relatif lebih aman bagi anak. Tentu saja, tak ada jaminan anak tak bisa mengakses YouTube reguler bila tak diawasi orang tua.
“Satu hal yang pasti: tetap perlu peran orang tua untuk mendampingi anak,” kata Ciput Eka Purwianti, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Menurutnya, satu platform medsos yang belum berhasil diadvokasi KemenPPPA dan KPAI adalah Twitter. Hingga kini, konten pornografi masih dapat diakses oleh pengguna mana pun di aplikasi berlogo burung biru itu.
Dalam liputan khusus kumparan edisi 21 Oktober 2021, “Bisnis Bokep di Media Sosial”, seorang perempuan korban revenge porn bercerita bahwa Twitter menjadi tempat video cabulnya tersebar usai diposting mantan pacarnya sendiri.
“Kalau dia (platform medsos) ada di Indonesia, dia harus berkomitmen mengikuti regulasi yang ada di Indonesia. Okelah di Amerika misalnya soal pornografi longgar, tapi di Indonesia ada UU-nya,” tegas Komisioner KPAI Margaret.