Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Saksi: Surat Wajib Serahkan 1,1 Ton Emas ke Budi Said Bukan Surat Resmi Antam
10 September 2024 20:24 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Surat keterangan (SK) kekurangan serah emas kepada Budi Said disebut bukan surat resmi dan tidak sesuai dengan pedoman pengelolaan persuratan dinas dan kearsipan PT Antam Tbk. Dalam surat itu, disebut tidak mencantumkan nomor surat dan nama jabatan si pejabat.
ADVERTISEMENT
Hal ini diungkapkan Syarif Faisal Alkadrie selaku Corporate Secretary Antam saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan rekayasa jual beli emas Budi Said di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (10/9).
Awalnya, jaksa mengorek terkait surat keterangan kekurangan penyerahan emas yang diajukan Budi Said ke PT Antam. Surat itu ditandatangani Kepala Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 Antam saat itu, Endang Kumoro pada 2018 silam.
Dalam surat itu, tertulis bahwa Antam kurang menyerahkan emas seberat 1.136 kilogram. Harga yang tercantum dalam surat itu sejumlah Rp 505 juta/kg. Belakangan, surat ini menjadi dasar Budi Said menggugat Antam secara perdata.
Syarif mengaku tak melihat adanya nomor surat dalam surat keterangan tersebut. Hal ini berbeda dengan pedoman pengelolaan persuratan dinas dan kearsipan PT Antam Nomor 359.K/0431 DAT Tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Menurut Syarif, berdasar acuan bab 2 management policy PT Antam, surat harus tersentralisasi. Asas tersentralisasi adalah sistem yang dipakai dalam mengelola surat dengan cara yang sama.
"Asas sentralisasi digunakan dalam kebijaksanaan ketentuan dan dokumentasi evaluasi dan pelaksanaan sistem tata persuratan di suatu unit organisasi. Misalnya cara penomoran surat. Ini satu," ungkap Syarif.
Lalu, dilihat dari standard operational procedure (SOP) penomoran arsip atau surat keluar, ada sejumlah langkah terkait penomorannya.
Dia menjelaskan, setelah pejabat berwenang memberikan tanda tangan dan sekretaris pencipta memberi stempel, maka sekretariat umum akan memberikan nomor surat.
"Sehingga dari dua hal ini, saya bisa menyimpulkan bahwa surat keterangan yang tidak memiliki nomor ini bukan merupakan surat resmi perusahaan," ungkap Syarif.
ADVERTISEMENT
Selain itu, surat yang diteken Endang Kumoro itu juga tidak mencantumkan nama jabatan. Padahal berdasar ketentuan di Antam terkait kewenangan penandatanganan surat dinas, selain tanda tangan, harus juga mencantumkan nama jabatan, nama pejabat, dan nomor pokok pegawai (NPP).
Karenanya, Syarif menyimpulkan bahwa surat keterangan tersebut bukan surat resmi PT Antam.
Analisa Syarif lainnya dengan melihatnya dari sisi kewenangan. Landasan analisisnya dari dokumen nota dinas Nomor 148/PLM/215/2018 perihal Pedoman Pemasaran Produk dan Jasa di PT Antam. Menurutnya, lampiran 11 poin 3 dicantumkan soal batasan pembelian dari butik emas.
Syarif mengatakan, BELM melayani penjualan produk dalam negeri sampai dengan transaksi sejumlah Rp 2 miliar. Sedangkan untuk pembelian di atas nominal tersebut diarahkan ke kantor pusat di Pulogadung, yakni Unit Bisnis Pemurnian dan Pengolahan Logam Mulia (UBPP LM) Antam. Sedangkan untuk biaya pengiriman logam mulia dari Pulogadung ke butik emas ditanggung konsumen.
ADVERTISEMENT
"Jadi ini satu, dari sisi kewenangan untuk kepala butik kalau saya lihat di suratnya ini melebihi dari Rp 2 miliar, seharusnya ke Pulogadung," kata Syarif.
Syarif juga membedah dari sisi kewenangan lainnya dari kewenangan kepala butik berdasar SOP terkait delivery dan web order. Menurutnya, dalam SOP 700-08, kewenangan kepala butik atau management representatif itu hanya menandatangani faktur.
"Jadi, bukan membuat surat keterangan. Ini dua hal yang saya lihat secara kewenangan juga tidak tepat," ungkap Syarif.
Terakhir, ia juga menyoroti isi surat keterangan berdasar management policy. Menurutnya, seharusnya suratnya memuat keterangan tentang sesuatu pada saat tertentu dan posisi tertentu untuk dipergunakan sebagai sarana pembuktian atau permohonan informasi dari suatu instansi, yang mana keterangan yang diberikan adalah sesuatu informasi yang benar.
ADVERTISEMENT
Setelah Syarif melakukan kroscek terkait tanggal-tanggal transaksi Budi atas pembelian logam mulia, secara sistem di PT Antam, ternyata tidak terjadi transaksi.
"Berarti satu, informasi yang beredar tidak benar," tegas Syarif.
Berikutnya soal harga yang tertera di surat keterangan dengan nominal Rp 505 juta per kg. Syarif membandingkannya dengan harga yang telah dirilis di website resmi Antam, di tahun 2018.
"Saya lihat di website itu di tahun 2018 mengenai histori harga, di sepanjang tahun 2018 itu harga terendah itu di Rp 640 jutaan (per kg)," ungkapnya.
Ketua majelis hakim Tony Irfan pun turut menggali lebih lanjut. "Tahun berapa itu?" tanyanya.
"Untuk tahun 2018. Itu yang paling rendah kalau lihat historinya di 23 Januari 2018, selebihnya (harganya) di atas itu (Rp 640 juta/kg)," beber Syarif.
ADVERTISEMENT
"Jadi, poin kedua secara isi juga informasi yang disampaikan ini tidak benar, tidak sesuai dengan yang ada, ter-publish resmi di perusahaan," Syarif kembali membeberkan poin-poin kesalahan surat keterangan tersebut.
Dalam dakwaan, Jaksa menyebut perkara ini bermula saat Budi Said melakukan transaksi jual beli emas Antam seberat 100 kilogram di Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 pada 2018. Pembelian dilakukan di bawah harga resmi yang ditetapkan PT Antam.
Budi bisa mendapatkan harga miring dalam pembelian emas tersebut setelah kongkalikong dengan beberapa pihak, yakni:
ADVERTISEMENT
Jaksa menyebut, Budi membayar Rp 25,2 miliar untuk pembelian 100 kilogram emas tersebut. Padahal, jika merujuk harga resmi, dengan uang yang dibayarkan tersebut Budi hanya mendapatkan 41,865 kg emas.
Pembelian emas yang dilakukan Budi itu kemudian dicatatkan oleh Eksi ke dalam faktur pembelian. Pencatatan dilakukan seolah Budi membeli emas sesuai dengan harga yang ditetapkan PT Antam.
Atas perbuatannya, Budi didakwa terlibat dalam kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp 1,165 triliun.