Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
My body is not mine
#Uninstallfeminism
Indonesia tidak butuh feminisme
Begitu kira-kira kampanye akun Instagram @indonesiatanpafeminis yang muncul sejak pertengahan Maret lalu. Kampanye yang membuat banyak orang bertanya-tanya, apa maksudnya? Dan dari mana datangnya argumen tersebut?
Sayangnya, admin akun tersebut tak pernah menjawab permohonan wawancara kumparan yang diajukan baik melalui direct message, email, atau pun komentar. Jawaban terakhir yang kami dapati berupa balasan komentar dari akun @findout.co yang berkata, “Belum waktunya, sabar ya kak”.
Namun kami masih bisa bertemu dengan beberapa lingkaran pendukung, bahkan inspirator gerakan antifeminisme, yakni Dinar Dewi Kania yang aktif menulis di thisisgender.com dan Shelly Purnama yang rajin berdakwah secara online. Kami pun ikut menghadiri salah satu pengajian yang mengkritisi feminisme di Universitas Islam Negeri Jakarta.
Shelly Purnama adalah aktivis dakwah yang baru lulus akhir tahun lalu dari salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia juga giat di pengajian milik Felix Siauw bernama Yuk Ngaji Bintaro.
Materi dakwahnya terkait Islam dan feminisme banyak ia peroleh dari buku Wanita Berkarir Surga karya Felix Siauw. “Direkomendasikan untuk para feminisme. Buku itu membahas feminisme secara tuntas, kenapa sih ide Islam bertolak belakang sama feminisme, kenapa sih Islam menolak feminisme,” ujarnya saat ditemui kumparan di Serpong, Tangerang Selatan, Sabtu (6/4).
Sementara Dinar merupakan peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) dan juga aktif sebagai Ketua Bidang Kajian Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA)—gerakan yang gencar menolak feminisme, LGBT, termasuk Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Akun Indonesia Tanpa Feminis (ITF) yang entah siapa pembuatnya, kerap mengutip konten-konten dari thisisgender.com. “Mungkin dari alumni-alumni itu (pengajian online) kali ya, WhatsApp group,” komentar Dinar terkait akun ITF.
Menurut Dinar, pernyataan my body is not mine yang dikampanyekan akun ITF tidak lengkap. “Mereka (feminis) kan bilang my body is mine. Kalau kami bilang, ‘Tubuhku bukan milikku, tetapi milik Allah yang harus dipertanggungjawabkan.’ Jadi ‘tubuhku, amanahku.’ Kenapa ini jadi ‘tubuhku bukan milikku’.”
Ia kemudian lanjut menjelaskan, karena tubuh itu adalah amanah, maka ia harus dijaga dari diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan. Hal yang juga dicita-citakan oleh para feminis.
Namun salah paham terjadi ketika pernyataan soal otoritas tubuh yang disuarakan feminis diartikan semata-mata ‘bebas’, bahkan diidentikkan dengan ketelanjangan.
“Soal pakai kerudung, pakai jilbab, itu kan juga bertabrakan dengan ide feminisme yang mengatakan bahwa perempuan itu bebas mengeksplorasi tubuhnya, badannya. Bebas mau ditunjukkin, mau ditutupin, itu terserah,” ujar Ayu Fitri Nursofya, pengisi acara Yuk Hijrah UIN Jakarta, Jumat (5/4).
Asumsi tersebut, menurut Dinar, muncul akibat pernyataan para feminis yang berkata bahwa jilbab adalah salah satu bentuk opresi. “Jadi kita dibilang (mengalami) false consciousness. Walaupun kita memakai jilbab dengan kesadaran, kita dianggap teropresi-tertindas karena itu perintah agama. Kan mereka cenderung ateis ya,” tuding Dinar.
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menyanggah tudingan tersebut. Mariana menjelaskan, feminisme tidak pernah melarang perempuan untuk menutup aurat sesuai dengan keyakinannya masing-masing. “Mereka juga bisa mengangkat poster ‘tubuhku adalah milikku’,” kata Mariana di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (4/4).
Menanggapi hal tersebut, tokoh muslimah feminis, Siti Musdah Mulia, menjelaskan bahwa otoritas tubuh datang bukan tanpa tanggung jawab. “Ketika kita mengatakan my body is my mine artinya tubuh kita adalah otonom. Otonom itu hanya bisa ditegakkan kalau seseorang itu punya tanggung jawab.”
Lagi pula lahirnya pernyataan yang menegaskan otoritas tubuh perempuan itu pun tak datang tiba-tiba, tetapi melalui sejarah sosial yang panjang baik di Barat maupun di Timur, Eropa, atau pun Asia.
“You are nobody's property because you are yourself itu sebetulnya sebuah ikrar tauhid. Dia (perempuan) bukan milik ayahnya, bukan milik suaminya. Dia milik Allah, tetapi berangkat dari perlawanan terhadap patriarki,” ujar aktivis perempuan, Lies Marcoes, saat berbincang dengan kumparan di Yayasan Rumah Kita Bersama, Rabu (3/4).
Maka feminisme menjadi alat untuk melawan tafsiran-tafsiran agama yang membuat perempuan menuhankan laki-laki. “Ajaran agama yang menekankan bahwa perempuan itu subordinat, perempuan itu mulia dalam ketidakmuliaannya. Itu yang harus dilawan dengan nilai-nilai tauhid. Laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah,” tegas Lies.
Akan tetapi, perlawanan terhadap tafsiran agama yang patriarkis ini dianggap sama dengan melawan agama itu sendiri. “Kenapa dibantahnya dengan agama? Masalahnya kalian menganggap Islam itu patriarki, Islam itu penyuplai ideologi patriarki,” ujar Dinar.
Dinar menegaskan bahwa Islam memuliakan perempuan dan tak pernah ada larangan perempuan berkiprah di luar rumah. “Perempuan memang boleh berperan di publik, tapi kalau dalam Islam orientasinya bukan karena uang. Perempuan itu harus punya peran publik terutama adalah menjaga masyarakat, menjaga moral masyarakat.”
Ketika terjadi penindasan terhadap perempuan, maka kesalahan tersebut dikarenakan orang Islam tidak lagi memahami dan mengamalkan ajaran Islam dengan benar. “Kurang imanlah,” ucapnya.
Bagi mereka, gara-gara feminisme, banyak perempuan yang justru malah meninggalkan kewajiban utamanya dalam keluarga. Menurut Dinar, “Feminis itu salah satu yang mengancam konsep keluarga.”
Hal serupa yang dikhawatirkan Shelly. Dia merasa waswas jika gerakan feminisme semakin masif, maka semua perempuan akan keluar dari rumah untuk bekerja. Hal itu kemudian akan berdampak terhadap pola pengasuhan anak yang akan terabaikan.
“Akhirnya terjadi apa? Narkoba, tawuran, hamil di luar nikah. Itu karena pola pengasuhan di dalam rumah yang terabaikan karena butuh uang. Akhirnya perempuan juga jadi ikut menjadi penghasil pundi-pundi. Itu feminisme, itulah yang bertentangan dengan Islam,” kata Shelly.
Bagi Shelly, seharusnya hanya lelaki yang bertugas mencari nafkah. Sebab menurutnya, mengutip surat An-Nisa’ ayat 34, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
“Kata Islam, ‘Sebaik-baiknya perempuan adalah yang tinggal di dalam rumahnya’. Itu bukan berarti perempuan tidak boleh kerja. Hukum dari kerja itu sendiri adalah mubah (dikerjakan tidak mendapat pahala, tidak mengerjakan tidak berdosa) tapi tidak mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri,” papar Shelly.
Menurut Kalis Mardiasih, aktivis jaringan Gusdurian, ayat tersebut tak laik hanya diterjemahkan secara tekstual, tapi juga harus dilihat kontekstual sesuai latar sejarah sosialnya. Sebab ayat itu diturunkan di masa perang, di mana laki-laki pergi berperang demi negaranya, dan perempuan menjaga rumah.
Kini kondisinya jauh berbeda. Tantangan yang harus dihadapi bukanlah perang fisik, namun jauh lebih kompleks dari itu. Dunia telah jauh berbeda pasca-Perang Dunia, kolonialisme, hingga globalisasi.
Lies memahami pernyataan tersebut sebagai bentuk kepanikan terhadap perubahan yang begitu cepat akibat kapitalisme, globalisasi, dan segala macam. “Dia merasa yang mengancam keluarga adalah feminisme. Padahal ini lho, kapitalisme, yang kami juga lawan karena itu mengeksploitasi manusia,” ucap Lies.
Ahli bidang kajian Islam dan feminisme ini menegaskan, yang diperjuangkan oleh feminisme adalah, misalnya, ketidakadilan upah yang diterima oleh perempuan, bukan perkara wajib atau tidaknya perempuan untuk bekerja.
“Misalnya, industri kenapa mempekerjakan perempuan? Karena murah. Dia dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, jadi bisa dibayar lebih murah. Kapitalisme yang membuat seperti itu,” ujar Lies.
Menurut Lies, rata-rata persoalan kaum antifeminis adalah ahistoris dan tidak melihat bukti yang ada. “Ketertindasan perempuan itu akibat dari ketidaksetaraan, di ruang publik, di ruang domestik, di mana-mana dianggap enggak sepenting laki-laki. Jadi kesetaraan yang kita perjuangkan karena ada realitasnya ketimpangan itu.”
Lies melanjutkan, “Agama memberi kemuliaan, iya benar. Tapi realitas ini mau diapain? ini harus diperjuangkan pakai ilmu, pakai ideologi. Salah satu yang bisa digunakan ya feminisme.”
Ketakutan lainnya yang muncul dari kata feminisme adalah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan trangender) dan zina. Kaum antifeminis memandang gerakan feminisme bertujuan untuk melegalkan LGBT dan mendorong maraknya zina.
Pertentangan tersebut amat kentara terutama dalam perdebatan RUU PKS. Sebab, RUU tersebut dinilai akan melindungi kaum LGBT dan pezina. Dua hal yang menurut mereka haram hukumnya dalam Islam.
Dinar melalui Aliansi Cinta Keluarga Indonesia menolak RUU PKS disahkan. Ia meminta revisi rancangan aturan itu dengan memasukkan pasal-pasal untuk mempidana pelaku LGBT dan zina.
“Kami mengusulkan untuk mempidanakan LGBT, tapi larinya (dianggap) kriminalisasi,” ujar Dinar. Selain itu, RUU PKS juga dianggap mengizinkan aborsi dan seks bebas.
“Yang kedua itu adalah zina. Jadi aturan zina yang di KUHP itu jika salah satu pelakunya sudah menikah. Kalau yang belum menikah, tidak ada pasal-pasalnya. Kita memang enggak mungkin mengkriminalkan semua perempuan, tapi kan ada pidana untuk direhabilitasi. Dan normanya itu yang penting ada,” tutur Dinar panjang lebar.
Dinar tidak percaya jika RUU PKS bukan untuk melegalkan LGBT dan zina. “Nanti mereka ngomong gini, ‘Enggak kok, kita enggak melegalisasi LGBT’. Ya itu belum aja. Nanti ujung-ujungnya begitu, memang ideologinya bertujuan ke situ. Feminis yang tidak melegalkan LGBT itu munafik,” tudingnya.
Inisiator RUU PKS Nihayatul Wafiroh menyanggah tudingan tersebut. Ia menegaskan, tidak ada muatan dalam RUU PKS yang bermaksud melegalkan LGBT, termasuk perzinaan.
RUU ini mengatur pidana bagi para pelaku kekerasan seksual. Selain itu, RUU PKS tidak pandang bulu dalam melindungi para korban kekerasan seksual, baik dalam ranah domestik atau publik, laki-laki atau perempuan.
Adapun kekerasan seksual yang dimaksud dalam rancangan peraturan ini terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau penyiksaan seksual.
Mariana pun menyampaikan hal serupa. “Dari mana legalin zina. Zinanya itu ada di sebelah mana sih? LGBT-nya ada di sebelah mana? Kita itu mau merangkul orang yang mengalami kejahatan seksual, bukan orang yang mau berzina. Beda banget, jauh,” ucap Mariana tegas.
Perbedaan pandangan lainnya terkait hubungan suami istri. Dalam pandangan para feminis, pemaksaan hubungan suami istri dalam rumah tangga adalah bentuk kekerasan seksual bahkan pemerkosaan.
Tetapi bagi kaum antifeminis, adalah kewajiban istri untuk melayani suami. Di sinilah letak argumen: begitulah bentuk subordinasi perempuan dalam rumah tangga. Perempuan harus tunduk patuh pada apa pun perintah laki-laki.
Akhirnya, apakah feminisme tak lagi dibutuhkan di Indonesia?
“Kita enggak butuh feminis kalau udah enggak ada lagi pemerkosaan, seperti anak diperkosa ayah atau paman atau gurunya. Kalau enggak ada pelecehan, kekerasan seksual, perdagangan perempuan. Kalau sudah tidak ada lagi laporan masuk ke Komnas Perempuan. Selama itu masih ada, feminis harus tetap ada,” tegas Mariana.