Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sandiaga: Mau Nyinyir Silakan, Saya Nggak Baperan
15 Oktober 2018 11:24 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Misal saja mengenai dampak pelemahan kurs rupiah belakangan. Sandi tak bicara mengenai statistik dan pasar mata uang. Ia cukup bilang tempe kini dijual tipis karena harga kedelai impor―bahan pembuat tempe―ikut melambung tinggi. Pedagang tempe tak ingin kenaikan harga membuat pembeli lari, sehingga mereka mengiris ketebalan agar tak merugi.
“Biasanya kalau omong mengenai pilpres, demokrasi politik, bahasanya ngawang-ngawang banget. Kami ingin yang riil,” ujarnya menjawab pertanyaan kumparan ketika bersafari politik di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, Sabtu (13/10).
Sandi menggunakan gaya khas serupa ketika berhadapan dengan anak muda. Ia tak bertele-tele dengan kurs rupiah terhadap dolar. Cukup bilang harga nasi ayam di Indonesia lebih mahal dibanding Singapura.
ADVERTISEMENT
Tentu saja berbagai pernyataan sang cawapres menuai kontroversi karena dianggap berlebihan. Tapi Sandi punya strategi.
Sandi menyebutkan dalam bukunya Kerja Tuntas Kerja Ikhlas: One Way Ticket To Success, politik itu harus lokal. Ia menyadur pemahaman ini dari politisi kawakan Amerika Serikat, Thomas Phillip “Tip” O’Neil Jr.
Jadi, kalimat kontroversial ala Sandi sengaja dibuat demi menyederhanakan bahasa ekonomi yang pelik, ke bahasa sehari-hari yang mudah dipahami.
Soal benar atau tidaknya informasi yang ia paparkan, Sandi selalu menjawab punya data, atau bilang mendengar soal itu dari ibu-ibu yang curhat kepadanya.
ADVERTISEMENT
Di tengah kesibukan kampanye akhir pekan, Sandi meluangkan waktu untuk menjawab sejumlah pertanyaan kumparan. Berikut perbincangan dengan Sandiaga.
Anda bilang harga makan siang di Jakarta lebih mahal daripada di Singapura. Itu pakai data apa?
Saya dulu tinggal di Singapura. Saya kawin di Singapura sama Mbak Nur Asia. Saya pegang permanent resident―lima tahun sampai akhirnya waktu di-PHK (saat krisis moneter 1997-1998), saya balik ke sini.
Saya tahu seluk-beluk Singapura. Saya tahu juga semua hawker centre (food court) di Singapura. Sebagai profesional, saya makan siang di hawker centre.
Kalau saya makan chicken rice, cari yang halal, itu 3,5 dolar. Dibandingkan dengan kualitas yang sama antara Singapura dengan Indonesia, jelas (lebih murah Singapura). Itu data World Bank.
Cek lebih lanjut soal data Tim Sandiaga di sini: Membongkar Data ‘Dapur’ Sandiaga
ADVERTISEMENT
Yang ingin saya garis bawahi, semua di sini harganya mahal karena kebijakan kita terlalu memanjakan impor, dan tidak mendukung sumber produksi nasional.
Jadi saya ingin mengangkat diskursus ini agar masyarakat tahu kita harus benahi. Karena harga kita bisa lebih murah dibandingkan Singapura.
Kenapa saya pilih Singapura (sebagai studi kasus)? Karena Singapura itu nggak punga pertanian sama sekali. Nggak punya lahan sawah, nggak punya peternakan ayam, nggak punya peternakan bawang putih. Semuanya impor tapi bisa lebih murah.
Banyak komentar nyinyir tentang data Anda, ada tanggapan?
ADVERTISEMENT
Nggak gue pikirin. EGP―emang gue pikirin. Saya nggak baperan orangnya. Seorang politisi nggak boleh baperan, betul nggak? Kalau semua dibawa ke hati, nggak akan beres.
Mau nyinyir, silakan. Buat saya, yang penting untuk kebaikan bangsa dan negara. Nggak ada waktu untuk memikirkan nyiyiran.
Saya diamkan aja. Saya nggak akan marah, karena menurut saya yang terpenting adalah bagaimana rakyat menikmati harga-harga yang terjangkau, khususnya untuk emak-emak yang masyarakat menengah ke bawah.
Apa program khusus Prabowo-Sandi untuk perempuan?
Karena 67 persen ekonomi rumah tangga ditopang oleh emak-emak yang punya usaha, saya ingin mereka mendapatkan pelatihan, pendampingan, untuk memisahkan laporan keuangan keluarga dan laporan keuangan usaha, supaya nggak campur.
Karena emak-emak itu waktu saya kumpulkan suka mengeluh, ini kok omzetnya naik, tapi saya semakin tekor.
ADVERTISEMENT
Saya juga ingin mereka memiliki akses yang baik terhadap pendidikan anaknya, terhadap kesehatan. Karena anak-anak yang masa depan Indonesia itu akan aman kalau emak-emaknya juga aman.
Sebaliknya, kalau emak-emaknya aman, anak-anaknya juga aman. Jadi fokus kami ke sana.
Anda pasti menyambangi pasar saat kampanye, ada perhatian khusus?
Saya datang ke PIK (Pantai Indah Kapuk) dan melihat pasar di sini bagus banget, dan itu pasar tradisional yang dikelola dengan baik oleh pengelolanya. Kuncinya memang manajemennya―sumber daya manusia.
Pasar arus melakukan revitalisasi. Kita harus bangun bukan hanya infrastrukturnya, tapi juga SDM-SDM-nya agar pasar itu nggak kumuh.
Karena pasar tradisional itu kalau dikelola dengan baik―tidak kumuh, tidak becek, 70 persen dari masyarakat kita masih datang ke pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Perusahaan-perusahan besar memberikan testimoni bahwa pasar tradisional adalah penyalur 70 persen dari produk-produk mereka.
Anda sering berkomentar soal tempe, kenapa?
Sekarang karena harga dolar naik, sementara tempe banyak diproduksi menggunakan kedelai yang impor, berarti harga tempe mestinya naik juga. Tapi di sinilah kehebatan UKM (Usaha Kecil Menengah). Mereka berinovasi, karena kalau harga tempe dinaikin, bisa nggak laku, daya belinya pasti lesu.
Jadi tempe-tempe itu dikecilin, tadinya agak gede jadi tipis-tipis.
Malah kemarin jadi joke ucapan Bu Yuli di Duren Sawit (yang bilang), “Pak, gimana caranya nih sekarang tempe udah setipis kartu ATM?” Pada ketawa semua yang dengar.
ADVERTISEMENT
Yang omong itu bukan Sandi. Yang ngomong itu Bu Yuli dan kawannya di Duren Sawit.
Terus Ibu Yani di pasar di Semarang, tempenya disaset kayak sampo. “Kenapa begini?” saya tanya.
Dijawab,“Ya kalau enggak, kami enggak bisa jual lebih murah. Kalau misalnya jual lebih mahal, konsumen pada protes. Jadi tempenya dikecilin, dikecilin, dikecilin, akhirnya sasetnya kayak saset sampo.”
Itu semua bukan saya yang ungkapkan. Itu murni dari ibu-ibu, dari emak-emak, dari pengunjung pasar. Jadi saya nggak melakukan modifikasi sama sekali. Itu murni suara hati mereka. Dalam proses politik, suara hati itu tidak dimodifikasi, tidak dicitrakan, tidak jaga image.
Itu merupakan fenomena yang ada, yang ingin saya angkat sebagai isu-isu konkret di masyarakat. Karena biasanya kalau omong mengenai pilpres, demokrasi, politik, bahasanya ngawang-ngawang banget.
ADVERTISEMENT
Kami ingin yang riil. Setiap hari kami rasakan di lapangan soal harga tempe, harga, BBM, tentang lapangan kerja, kita cari solusinya.
Soal ucapan Anda Rp 100 ribu hanya dapat cabai dan bawang yang juga viral?
Kalau itu dari emak-emak di pasar di Pekanbaru, Riau. Pengakuannya lucu, “Saya ribut sama suami saya karena kok Rp 100 ribu cuma dapat bawang sama cabe.”
Terus itu kami quote dan akhirnya diangkat jadi isu. Kita harusnya duduk untuk mencari solusi agar harga bahan pokok lebih terjangkau lagi.
------------------------
Sibak Politik Dapur Sandi di Liputan Khusus kumparan