Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tim Hukum Ganjar-Mahfud dalam perjalanan menuju ke Mahkamah Konstitusi , Selasa (16/4), ketika mendapat kabar bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bakal mendaftarkan amicus curiae pada perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 . Sumber di PDIP menyebut, sebelumnya tak ada rapat-rapat internal partai terkait langkah itu.
Hanya sepekan sebelumnya, Megawati menerbitkan opini di surat kabar nasional tentang kenegarawanan hakim konstitusi. Di situ ia menyatakan bahwa segala pemikirannya dicurahkan untuk menjadi sahabat pengadilan atau amicus curiae .
Begitu tahu Megawati mendaftarkan amicus curiae Selasa itu, Ketua Deputi Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis yang sedang berada di MK untuk menyampaikan kesimpulan PHPU, turut mendampingi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebarluaskan teks amicus curiae Megawati.
Tim Hukum Ganjar tak menyangka Megawati benar-benar menjadi amicus curiae. Selama ini mereka tak pernah menyarankan atau mendorongnya untuk berlaku demikian. Aksi itu dinilai orisinal berasal dari kemauan Megawati sendiri—yang dalam sejarahnya menandatangani pembentukan MK saat menjabat sebagai Presiden ke-5 RI.
Sebelum Megawati, ada beberapa pihak yang mendaftar jadi sahabat MK. Setelah Megawati mengajukan diri sampai 19 April, sudah ada 47 pihak, baik pribadi atau mewakili kelompok, yang berbondong-bondong mengikuti langkah serupa.
“Datangnya amicus curiae ini menurut saya karena kegelisahan masyarakat atas masalah kepemiluan kita. Kebrutalan pemilu dianggap berbahaya oleh para sahabat pengadilan,” kata Wakil Direktur Eksekutif Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Finsensius Mendrofa, Rabu (17/4).
Agenda persidangan PHPU Pilpres 2024 terakhir berlangsung pada 5 April (hari kerja terakhir sebelum cuti bersama Lebaran) dan pekan usai cuti bersama yang hanya beberapa hari sebelum pembacaan putusan pada Senin, 22 April.
Maka, pengajuan amicus curiae disoal oleh Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid, yang menjadi pihak terkait dalam kasus tersebut. Menurutnya, amicus curiae di pengujung sidang saat hakim tengah melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) merupakan bentuk intervensi pengadilan.
Pendapat Fahri itu kemudian dibantah Finsensius yang menyebut bahwa amicus curiae justru merupakan dukungan moral agar hakim bersikap negarawan.
Dalam rangkaian sidang PHPU Pilpres 2024, paslon nomor urut 01 (Anies-Muhaimin) dan 03 (Ganjar-Mahfud) telah mendalilkan dan berupaya membuktikan dugaan kecurangan pemilu dan konstitusi.
Kubu 01 memohon agar paslon 02 (Prabowo-Gibran) didiskualifikasi, atau Gibran saja yang didiskualifikasi, untuk kemudian dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Sementara kubu 03 memohon agar Prabowo-Gibran didiskualifikasi untuk kemudian digelar PSU.
Tim hukum 01 dan 03 sama-sama optimistis gugatan mereka bakal dikabulkan hakim, sedangkan tim 02 sebagai pihak terkait justru berkeyakinan sebaliknya.
Sekuat Apa Dalil untuk Diskualifikasi Prabowo-Gibran?
Duduk persoalan yang didalilkan kubu 01 dan 03 sama-sama berangkat dari putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi alas Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar cawapres ke Komisi Pemilihan Umum.
Usia Gibran masih 36 tahun saat proses pendaftaran pilpres, dan semula tak memenuhi syarat untuk diajukan sebagai capres/cawapres. Namun, akibat putusan MK Nomor 90, norma batas usia untuk mendaftar kontestasi pilpres berubah dari 40 tahun menjadi boleh kurang dari 40 tahun asalkan pernah/sedang menduduki jabatan hasil pilkada.
Baik kubu 01 dan 03 sebetulnya tak menyoal substansi Putusan Nomor 90 MK yang memberi pengaturan lain di luar batas usia 40 tahun untuk daftar Pilpres. Namun, proses menurunkan aturan itu dalam ketentuan teknis dianggap cacat prosedur.
Menurut Direktur Eksekutif THN AMIN Zuhad Aji Firmantoro, Putusan 90 MK mestinya diikuti aturan turunan berupa Peraturan KPU yang dituangkan dalam Pasal 231 Ayat 4 UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Di situ diatur perlunya ketentuan lebih lanjut berupa PKPU untuk mengatur tata cara verifikasi kelengkapan administratif bakal paslon.
Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, di persidangan sempat mengakui bahwa Putusan 90 itu problematik. Tetapi melalui ahli hukum yang dihadirkan timnya di persidangan, Margarito Kamis, kubu 02 menilai pada akhirnya pencawapresan Gibran tetap sah karena putusan MK dapat berlaku tanpa perlu mengubah PKPU, sehubungan dengan putusan MK yang dianggap lebih tinggi kedudukannya dibanding PKPU yang menjadi aturan turunannya.
Namun hal tersebut juga disoal kubu 01 dan 03.
“Mereka bilang enggak perlu lagi PKPU. Padahal [Pasal 231] UU Pemilu bunyinya menyuruh membuat PKPU. Jadi mereka (02) mengatakan sedang membela UU tetapi dengan melanggar UU,” kata Zuhad Aji di kantor Tim Hukum Nasional AMIN, Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (18/4).
Aturan yang berlaku saat Gibran mendaftar cawapres masih PKPU Nomor 19/2023 yang menggunakan syarat batas usia yang lama, sebelum Putusan 90 MK. KPU kemudian menetapkan PKPU baru Nomor 23/2023 untuk mengikuti putusan MK setelah Gibran mendaftar, seolah-olah aturan MK itu berlaku surut.
Dalil cacat prosedur dalam membuat dan menegakkan aturan MK dan PKPU itulah yang membuat tim 03 berkeyakinan: jika prosesnya dilalui dengan cacat, maka hasil pemilu juga cacat. Inilah alasan Tim Hukum Ganjar-Mahfud tidak mengakui hasil pilpres yang dimenangi Prabowo-Gibran.
“Kita boleh bicara hasil pemilu ketika prosesnya tidak ada yang cacat. Menurut kami, dimulai dari proses yang cacat, maka kami anggap suaranya tidak ada alias nol. Itu asumsi kami soal hitung-hitungan suara [Prabowo-Gibran],” kata Finsensius.
Adapun bagi 01, lolosnya Gibran sebagai cawapres dengan proses yang cacat prosedur adalah pelanggaran terhadap asas pemilu yang diatur Pasal 22E UUD 1945, khususnya terkait asas jujur dan adil.
Menurut Zuhad Aji, diterimanya Gibran sebagai peserta Pilpres 2024 menjadi bukti bahwa KPU tidak jujur dalam bertugas.
Keadilan pemilu juga dinilai tak terpenuhi gegara bagi-bagi bansos yang diduga disalahgunakan oleh Presiden Jokowi. Tim 01 mendalilkan lembaga kepresidenan beserta para menteri di bawah rezim Jokowi sebagai pihak yang tidak netral sehingga hal ini memengaruhi hasil pemilu.
Melalui hitungan ekonometrika dari saksi ahli, yakni ekonom UI Vid Anderson, THN 01 mendalilkan ada 26 juta suara yang terdampak signifikan oleh pemberian bansos. Hal ini diperkuat dengan personifikasi bansos yang dilekatkan kepada Presiden Jokowi, yang kemudian digaungkan para menterinya—terutama Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan—saat membagi-bagikan bansos ke masyarakat.
Dari kalkulasi itu didapat bahwa jika tidak ada penyalahgunaan bansos, maka suara Prabowo-Gibran mestinya tak sampai 58%, melainkan 42% (ada pengurangan 26 juta suara dari mereka yang terdampak bansos).
Di persidangan, Vid juga menyebut perolehan suara paslon 02 lebih tinggi persentasenya di wilayah miskin yang diberi bansos.
THN AMIN yakin bahwa dalil dan pembuktian di persidangan soal hitung-hitungan bansos tersebut tak terbantahkan. Hal itu diperkuat dengan kesaksian fakta, semisal di Riau, yang membeberkan adanya perintah dari seorang kades untuk membagi bansos kepada pendukung Prabowo-Gibran.
“Memang bansos tidak menjadi variabel utama yang membuat 90 juta suara [memilih] 02. Tapi kami punya keyakinan, kalau bansos tidak disalahgunakan, ini [pemilu berlangsung] dua putaran,” kata Zuhad Aji.
Tim Hukum 03 sepakat asas jujur dan adil telah rusak pada Pemilu 2024. Menurut mereka, asal muasal kerusakan itu ialah nepotisme: Gibran Rakabuming sang cawapres 02 ialah anak Jokowi yang kini masih menjabat presiden sehingga ia bisa menyalahgunakan kekuasaan.
Menariknya, pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)—yang selama pilpres kerap digaungkan untuk mengajukan pemungutan suara ulang di MK—justru tidak menjadi fokus utama permohonan 01.
Zuhad Aji menjelaskan, hal itu karena mekanisme TSM diselesaikan di Badan Pengawas Pemilu. Adapun di MK, mereka justru mendalilkan adanya pelanggaran konstitusi pada Pilpres 2024, bukan sekadar TSM yang mesti memenuhi syarat materil seperti pelanggarannya paling sedikit terjadi di 50% dari jumlah daerah yang menjadi lokasi pemilihan.
Sementara Tim Hukum 03 mengusulkan agar kiranya nepotisme menjadi bagian dari pelanggaran TSM selain pelanggaran administratif dan politik uang yang diatur dalam UU Pemilu.
“Menurut kami, ada satu kekosongan hukum dalam UU Pemilu kita, yakni yang mengatur mengenai nepotisme,” ujar Finsensius.
Optimisme vs Keraguan Gugatan 01-03
Meski pihak 01 dan 03 optimistis permohonan bakal dikabulkan, Tim Hukum 02 menilai dalil permohonan 01 dan 03 tidak dapat membuktikan bahwa 58% perolehan suara Prabowo-Gibran adalah hasil rekayasa atau kecurangan.
Tim 02 berkukuh bahwa kewenangan MK soal pilpres sebatas menyimpulkan apakah dugaan kecurangan bisa mengubah hasil pemilu.
“Sebanyak 99% perselisihan pemilu pintu masuknya kualitatif (menyoal kualitas pemilu). Tidak ada satu pun yang jadi kewenangan MK seperti mengadili hasil [pemilu akibat kecurangan], tapi kami ladeni saja,” ujar Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran, Fahri Bachmid.
Pertama, soal Putusan 90, Fahri menilai hal itu sudah tidak relevan dipersoalkan di sidang PHPU. Menurutnya, putusan MK tidak dapat diuji di forum atau sidang lain, apalagi MK sendiri sudah mengetuk Putusan 141 dan 145 yang mencoba menyoal Putusan 90 tetapi tidak dikabulkan.
Kedua, kehadiran empat menteri Jokowi dalam persidangan MK justru menjelaskan bahwa segala sesuatu, termasuk bansos, berjalan sesuai aturan.
Tudingan bahwa bansos memengaruhi preferensi politik juga diragukan Fahri lantaran di TPS luar negeri pun Prabowo menang meski para pemilihnya tidak menerima bansos.
Ditambah lagi, dari sisi aspek kualitatif, adanya pembagian beras 5 kg di wilayah tertentu dengan gambar capres Prabowo-Gibran juga diragukan terjadi di seluruh Indonesia; dengan demikian tidak bisa mewakili keseluruhan daerah.
“Masif itu kan harus terjadi di 50% [dari total provinsi] Indonesia. Jadi setidaknya terjadi di 25 provinsi di Indonesia,” kata Fahri.
Tim 01 dan 03 mengatakan, mereka bukannya tak mampu menghadirkan saksi fakta semacam itu, namun persidangan MK membatasi saksi maksimal berjumlah 19 orang, sudah termasuk ahli. Maka jika kecurangan TSM mesti menggambarkan pelanggaran di 50%+1 provinsi, setidak-tidaknya kubu 01 dan 03 masing-masing harus menghadirkan minimal 20 saksi mewakili 20 provinsi di Indonesia.
Itu sebabnya, menurut Finsensius, pembatasan 19 saksi termasuk ahli menyiratkan bahwa hakim MK tak akan terjebak pada penilaian kuantitatif semata, tapi juga membobot kesaksian kualitatif.
Meski demikian, selain 19 saksi yang hadir di persidangan, turut dilampirkan pula kesaksian lain pada lampiran dokumen permohonan di MK.
Zuhad Aji dari Tim 01 juga menilai peradilan tata negara ini berbeda dengan peradilan pidana atau perdata, sebab yang dicari di peradilan MK ialah pola, keterkaitan, dan keselarasan antara fakta, dalil, dan keterangan ahli untuk membuktikan adanya kecurangan TSM.
Di sisi lain, THN AMIN mengakui adanya kendala untuk mendatangkan saksi-saksi yang melihat dan mengalami langsung peristiwa kecurangan pemilu. Menurut mereka, banyak saksi mundur karena didatangi aparat atau dilarang keluarga.
“Ada pengakuan, tapi tidak mau bersaksi di muka sidang. Jadi ada fakta sosiologisnya, fakta politiknya, tetapi begitu kita akan mengonversi menjadi fakta hukum, mandek,” kata Aji.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menyatakan bahwa persidangan tata negara di MK punya mekanisme sendiri. Meski saksi yang didatangkan adalah sampel-sampel saksi yang melaporkan kecurangan, tetapi jika kecurangan itu memiliki dampak nasional, maka ia memiliki bobot.
Feri yakin bahwa MK—yang sering disindir oleh Tim Hukum 01 dan 03 sebagai Mahkamah Kalkulator—tidak akan terpaku pada hitung-hitungan soal apakah dugaan kecurangan ini mengubah hasil pemilu.
Hal itu berkaca pada putusan 01/PHPU-PRES/XVII/2019 saat Prabowo menggugat kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Di situ sudah diputuskan bahwa MK berwenang mengadili berbagai kecurangan yang berdampak seperti TSM.
“Hanya [dugaan kecurangan] belum terbukti pada 2019. Tapi artinya MK berwenang [mengadili bukan hanya soal hasil], tidak jadi Mahkamah Kalkulator lagi. Mereka akan memeriksa substansi dan prosedur penyelenggaraan pemilu sudah benar atau tidak,” jelas Feri.
Masalahnya, menurut pakar hukum tata negara Denny Indrayana, amat sulit membuktikan adanya pelanggaran bansos dan ketidaknetralan aparat dalam pilpres.
Empat menteri yang dihadirkan di sidang MK, misalnya, semua bicara normatif. Tak ada keterangan yang membuktikan adanya instruksi Jokowi untuk menggelontorkan bansos demi Gibran. Begitu pula dengan tudingan nepotisme.
Maka, menurut Denny, pembuktian dugaan pelanggaran atau kecurangan Pemilu 2024 seperti membuktikan kentut—tercium baunya, tetapi tak terlihat wujudnya.
“Baunya tercium, tapi kalau diminta, ‘Mana foto buang anginnya?’, ya tidak ada. Gambarnya tidak ada, tapi tercium karena ada baunya,” kata Denny soal metafora kentut dan Pemilu 2024.
Sejauh ini, menurut Denny, yang bisa dibuktikan ialah soal cawe-cawe Jokowi karena ia sendiri yang mengatakannya. Dan jika cara pembuktiannya dengan mendorong pengakuan presiden atau struktur di bawahnya yang melakukan kecurangan, itu ibarat hikayat raja berpakaian tanpa busana.
“Raja nanya ke anak buahnya, ‘Bagaimana pakaian saya?’ Semua mengatakan bagus, kecuali anak kecil yang mengatakan raja itu seperti telanjang. Nah, mencari anak semacam ini [susah]. Saya yakin dia tidak akan hadir di persidangan MK,” kata Denny soal sulitnya mencari whistle-blower alias orang dalam yang bersedia mengungkap kejahatan.
Tim Hukum 01 yakin, meski tak ada pengakuan khusus dari para menteri Jokowi soal kecurangan pemilu, ada bukti di lapangan bahwa sejumlah menteri tidak netral. Contohnya, menurut Zuhad Aji, ketika Menko PMK Muhadjir Effendy mengarahkan warga Muhammadiyah di Blitar, Jawa Timur, untuk memilih Prabowo.
THN AMIN memasukkan video Muhadjir tersebut sebagai salah satu dari 35 bukti tambahan yang mereka sampaikan ke MK saat menyerahkan kesimpulan.
Bagaimana Hakim Akan Memutus?
Feri Amsari memprediksi, dengan komposisi 8 hakim saat ini (minus Anwar Usman yang dijatuhi sanksi etik tak boleh memutus perkara pemilu), ada kemungkinan setidaknya 4 hakim akan menyetujui permohonan gugatan. Perkiraan ini berdasarkan asumsi bahwa hakim yang tak setuju (dissenting opinion) mengabulkan permohonan pada Putusan 90 MK bersikap konsisten.
Berikutnya, jika terjadi selisih pendapat hakim 4 versus 4, sesuai pasal Pasal 45 ayat 8 UU MK, suara akhir yang menentukan adalah ketua sidang pleno hakim konstitusi. Artinya, dalam kondisi itu, Ketua Sidang Suhartoyo bakal menentukan arah putusan.
Sementara itu, Denny Indrayana memperkirakan para hakim bakal memutus perkara sesuai karakteristik masing-masing, apakah ia termasuk golongan konservatif yang melihat keadilan sesuai teks-teks hukum, atau sebaliknya tergolong hakim yang bersedia melakukan penggalian keadilan di luar teks.
Jika para hakim cenderung konservatif, maka sulit untuk membuktikan cawe-cawe Presiden Jokowi, penyalahgunaan bansos, hingga ketidaknetralan aparat negara.
“Sebenarnya ada indra yang lebih kuat [untuk melihat cawe-cawe presiden], yaitu hati,” ujar Denny.
Denny memprediksi empat kemungkinan putusan. Pertama, MK menolak seluruh permohonan 01 dan 03 dengan catatan perbaikan pilpres. Kedua, MK mengabulkan seluruh permohonan yang disebut musykil. Ketiga, MK mendiskualifikasi Cawapres Gibran sesuai permohonan alternatif 01. Keempat, MK membatalkan kemenangan Gibran dan hanya melantik Prabowo jadi presiden.
Menurut Denny, melihat sulitnya pembuktian kecurangan pilpres dan dalil para pemohon, opsi penolakan permohonan 01 dan 03 adalah yang paling mungkin terjadi. Namun, ia juga tak menutup kemungkinan bakal adanya putusan di luar yang dimohonkan alias ultra petita sebagaimana kemungkinan putusan keempat di atas.
Feri Amsari turut menyebut ultra petita mungkin saja terjadi, dan itu jamak dalam putusan MK. Bahkan, Putusan 90 yang jadi alas Gibran jadi cawapres ialah hasil dari ultra petita. Menurut Feri, sejatinya MK hanya dimohonkan soal capres/cawapres boleh dari orang yang pernah menjabat kepala daerah, tetapi oleh MK ditambahkan pula klausul “/sedang” menjabat kepala daerah.
Namun, jika yang didiskualifikasi hanya seorang, yaitu Gibran sesuai permohonan alternatif 01, ini akan menjadi problem karena presiden dan wapres dipilih dalam satu pasangan calon sesuai Pasal 6 ayat 1 UUD 1945.
“Apakah potensial untuk dipilih ulang? Ini problematika paling berat bagi hakim konstitusi untuk melakukan pemungutan suara ulang,” kata Feri.
Sumber di internal pemohon MK menyebut adanya selisih pendapat di antara ahli-ahli mereka soal jika akhirnya hanya Prabowo yang melenggang presiden. Pendapat pertama, mungkin saja Prabowo melenggang lalu wapres pengganti diputuskan MPR sesuai Pasal 8 UUD RI 1945.
Namun, pendapat kedua menyatakan bahwa hal itu tidak dapat dilakukan karena status Prabowo dan Gibran masih capres dan cawapres terpilih, belum menjabat secara resmi atau dilantik.
Bagaimanapun, baik 01 dan 03 berharap MK melakukan terobosan putusan dan tidak hanya terkekang pada teks-teks hukum semata. Bahkan, menurut Zuhad Aji, MK pertama di dunia, yakni di Amerika Serikat, juga muncul dari terboosan macam itu, yakni karena adanya kekosongan hukum untuk menguji UU.
Finsensius Mendrofa sependapat. Menurutnya, terobosan bukan hal tabu karena sidang Perselisihan Hasil Pilpres 2024 bahkan sudah melakukan tiga hal baru, yakni memanggil 4 menteri, membuat kesimpulan sidang, dan hadirnya amicus curiae.
“Kenapa hakim MK sangat responsif soal permohonan ini sampai membuat hal yang belum pernah terjadi? Menurut mereka, untuk menjawab persoalan ini, ya dilakukan terobosan untuk menemukan keadilan substantif,” ujar Finsensius, berharap hakim-hakim MK memiliki jiwa-jiwa negarawan.
THN AMIN menambahkan, putusan PHPU Pilpres 2024 dapat menjadi momentum bagi MK untuk memperbaiki citra yang sudah hancur di tangan Anwar Usman.
Sebaliknya, Tim Hukum Prabowo-Gibran yakin hakim bakal menolak permohonan karena pengadilan tak bisa sekadar memutus perkara berdasarkan opini.
Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai bahwa putusan MK berpotensi membuat publik terbelah dan menciptakan pro-kontra.
Dari sisi parpol, hanya PDIP yang sejauh ini masih tetap kritis terhadap proses pemilu dan pencalonan Gibran. Adapun partai-partai lain dinilai sudah mengamini selesainya pemilu dan menyerahkan persoalan gugatan kepada para hakim.
Apalagi, ada kemungkinan koalisi pemerintahan Prabowo kelak bakal menggemuk lagi dengan masuknya partai-partai tambahan di luar yang sudah ada saat ini.
“Kalau memang butuh koalisi besar, saya kira hampir semua parpol di luar PDIP ingin menjadi bagian dari kubu Prabowo. PKB, PKS, dan Nasdem merasa tidak pernah punya masalah secara personal [dengan Prabowo],” kata Adi.
Sementara PDIP, dengan amicus curiae Megawati saat ini plus pandangan partai itu terhadap Gibran sebagai biang nepotisme, maka hal itu akan jadi halangan politik untuk bergabung dengan pemerintah Prabowo.