Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Indonesia bisa dibilang bak ‘surga’ bagi praktik perkawinan anak. Tahukah Anda, jumlah perkawinan anak di negeri ini tertinggi nomor tujuh di dunia. Bahkan untuk lingkup Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi puncak. Tak heran, sebab undang-undang di Indonesia masih melegalkan praktik tersebut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan UNICEF, The State of the World’s Children , pada 2016 angka perkawinan anak perempuan Indonesia di bawah 18 tahun mencapai 1,4 juta jiwa. Sementara Filipina, negara dengan jumlah perkawinan anak terbesar nomor dua di Asia Tenggara, jumlah kasus serupa mencapai 720 ribu jiwa.
Upaya menurunkan prevalensi perkawinan anak di Indonesia berlangsung stagnan, kalau bukan lambat. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Edisi Revisi Tahun 2017 menyebut persentase penurunan terbanyak (40,1 persen) terjadi pada perkawinan anak perempuan berusia di bawah 15 tahun.
Di sisi lain, persentase perkawinan perempuan usia 16-17 tahun masih tergolong tinggi. Pada 2013, persentase perempuan yang kawin di usia di bawah 18 tahun ialah 24,17 persen. Dua tahun berselang, persentase itu tak berubah banyak. Hanya turun sekitar satu persen menjadi 22,82 persen.
ADVERTISEMENT
Padahal, berbagai penelitian telah menunjukkan gamblang bahwa perkawinan anak sangat merugikan, terutama bagi anak perempuan.
Dalam artikel yang dimuat di The Conversation , Maisuri T.Chalid, pengajar sekaligus dokter di Universitas Hasanuddin, mengungkap bahwa risiko kematian ibu melahirkan meningkat 2-4 kali lipat pada kehamilan perempuan berusia di bawah 20 tahun.
Tingginya risiko kematian saat melahirkan di usia muda berkaitan dengan peningkatan risiko kehamilan seperti hipertensi selama kehamilan (preeklamsia), kejang pada kehamilan (eklamsia), perdarahan usai persalinan, serta persalinan macet dan keguguran.
Dalam laporan BPS bersama UNICEF tahun 2015, “Kemajuan yang Tertunda : Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia”, terdapat sekitar 26,16 persen anak perempuan berusia di bawah 20 tahun yang sudah melahirkan anak pertama. Artinya, lebih dari seperempat perempuan di Indonesia menghadapi risiko tinggi kematian akibat melahirkan di usia muda.
Saling Bertentangan
ADVERTISEMENT
Isu perkawinan anak, meski penting, sepi belaka. Jarang mendapat sorotan luas publik. Padahal, problem ini punya akar sejarah panjang. Gerakan perempuan sudah memperjuangkan masalah ini sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama kali digelar tahun 1928.
Baru-baru ini, perkara perkawinan anak kembali mendapat sorotan setelah dua anak di Bantaeng, Sulawesi Selatan, memutuskan untuk menikah.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise, Sabtu (21/4), mengatakan kementeriannya sedang mempersiapkan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menaikkan batas usia kawin.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ikut buka suara. Ia menyesalkan masih maraknya perkawinan anak. Menurutnya, “Pernikahan di bawah umur lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.”
Bila diperhatikan seksama, inisiatif pemerintah menerbitkan Perppu mengisyaratkan satu hal: regulasi yang tersedia memang sudah tak memadai.
ADVERTISEMENT
Sampai sekarang, urusan perkawinan masih diatur lewat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Meski zaman telah banyak berubah, UU yang berusia hampir setengah abad itu sama sekali belum pernah direvisi.
‘Kekunoan’ regulasi ini tentu membuatnya sarat masalah. Salah satunya, karena menetapkan batas usia kawin sedemikian rendah terhadap perempuan.
Dalam aturan tersebut, perempuan yang minimal berusia 16 tahun dan laki-laki minimal 19 tahun sudah diperbolehkan menikah asal memenuhi syarat yang ditentukan. Syaratnya, bagi salah satu mempelai yang belum berusia 21 tahun, wajib mendapat izin orang tua.
Hal lain, perbedaan penetapan usia minimal pernikahan bagi perempuan dan laki-laki dalam UU tersebut mengisyaratkan perlakuan tak adil terhadap kaum perempuan.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI ), Susanto, menyebut perbedaan umur antara laki-laki dan perempuan dalam UU Perkawinan didasarkan pada cara pandang patriarki yang mengutamakan lelaki.
ADVERTISEMENT
“Jadi dibuatlah jarak tiga tahun, dengan asumsi bahwa laki-laki pada umur 19 tahun itu sudah dewasa, bisa membimbing istrinya,” jelas Susanto.
UU Perkawinan juga menyimpan celah yang bisa digunakan untuk melegalisasi perkawinan anak di bawah 16 tahun. Caranya, lewat pengajuan dispensasi di pengadilan agama seperti tertuang pada Pasal 7 ayat 2.
Menurut Ajeng Gandini, aktivis Institute for Criminal Justice Reform, sebagian besar pengajuan dispensasi perkawinan anak pasti disetujui oleh pengadilan agama.
Berdasarkan penelitian Koalisi 18+ pada 2016, terdapat 370 kasus pengajuan disepensasi di tiga daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia--Mamuju, Kabupaten Bogor, dan Tuban. Dari jumlah 370 itu, hanya satu yang ditolak pengadilan agama.
ADVERTISEMENT
Pengadilan agama memang umumnya menggunakan norma agama sebagai pertimbangan utama. “Hanya pengadilan di Tuban yang menggunakan pertimbangan UU Perlindungan Anak dan menolak pengajuan dispensasi,” jelas Ajeng.
Koordinator Kelompok Kerja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia, Indri Oktaviani, berpendapat UU Perkawinan bukan cuma sudah ketinggalan zaman, tapi memang tak relevan diterapkan, sebab justru bisa menjadi pintu masuk eksploitasi terhadap anak perempuan.
Persoalan krusial lain yang penting diperhatikan terkait batas usia anak yang tak ditetapkan dengan jelas. Terjadi saling tubruk antarregulasi. UU Perkawinan Tahun 1974 misalnya menyebut batas usia minimum perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun, sedangkan UU Perlindungan Anak Tahun 2002 menetapkan batasan usia anak adalah 18 tahun. UU Kesejahteraan Anak Tahun 1979 bahkan mendefinisikan “anak” sebagai seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum pernah kawin.
ADVERTISEMENT
“Makanya, kami mengajukan UU (Perkawinan) itu untuk di-judicial review. Karena Undang-Undang itu harus diharmonisasikan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Magdalena Sitorus, kepada kumparan di kantornya, Jumat (27/4).
Perbedaan penetapan batas usia anak, ujar Indri, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum perlindungan anak. Terutama karena, bila seorang anak di bawah umur sudah kawin, maka statusnya sebagai anak di mata hukum seketika akan hilang.
Jadi, meski UU Perlindungan Anak memberi jaminan perlindungan bagi anak yang belum berusia 18 tahun, nyatanya anak yang sudah menikah dianggap sebagai orang dewasa.
“Jadi ada perbedaan di mata hukum antara anak yang menikah dan belum menikah,” kata Indri.
Menarget Perubahan
Indri menegaskan, “Situasi perkawinan anak di Indonesia itu darurat. Kalau tidak dihentikan sekarang, generasi Indonesia mendatang akan menanggung bebannya.”
ADVERTISEMENT
Keprihatinan itulah yang mendasari upaya pegiat hak anak dan perempuan untuk mencoba menaikkan batas usia kawin, paling tidak menjadi 18 tahun. Mereka, misalnya, pernah menggugat UU Perkawinan Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi pada 2014. Namun gagal.
“Delapan dari sembilan hakim konstitusi menyatakan bahwa (batas) usia 16 tahun (untuk menikah) masih relevan,” kata Ajeng yang saat itu menjadi kuasa hukum pemohon uji materi UU Perkawinan.
Meski sudah ditolak, batas usia menikah di UU Perkawinan kembali digugat oleh tiga korban perkawinan anak pada April 2017. Sampai saat ini, uji materi masih menunggu sidang pleno.
Ikhtiar menaikkan batas usia kawin tak melulu dilakukan lewat mekanisme judicial review. Rencana penerbitan Perppu untuk menaikkan batas usia kawin seperti telah disinggung di atas, jadi jalan lain.
ADVERTISEMENT
Menurut Indri, penerbitan Perppu merupakan cara yang lebih cepat dan efektif di samping tetap mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Lewat Perppu yang hendak disusun itu, Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia mendesak pemerintah menaikkan batas usia kawin setidaknya menjadi 18 tahun.
Mereka juga mendorong pemerintah untuk memperketat pemberian dispensasi menikah muda. “Kami akan meminta Mahkamah Agung untuk memberikan panduan pemberian dispensasi bagi para hakim di pengadilan agama,” ujar Indri.
“Dalam kurun waktu tiga bulan (setelah Perppu diterbitkan), DPR harus mengambil keputusan untuk mengesahkan atau menolak. Kalau ditolak, (Perppu) tidak bisa dijadikan dasar hukum. Kalau diterima, akan jadi tambahan atau revisi UU Perkawinan,” ujar Indri.
Maka kini, bola di tangan eksekutif dan legislatif.
ADVERTISEMENT