Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Diplomasi kerap bukan perkara mudah. Ia seni yang memerlukan kepiawaian dan keuletan. Terutama ketika seorang diplomat berhadapan dengan lawan bicara atau mitra yang keras hati dan tak kooperatif.
ADVERTISEMENT
Menurut Retno, orang yang tak kooperatif bukan berarti tak bisa diajak kerja sama. Dan dalam negosiasi atau perundingan, senjata rahasia yang ampuh untuk mencapai kata sepakat justru berasal dari diskusi nonformal yang cenderung lebih santai.
“Kasih perhatian, ambil hatinya,” kata Retno, berbagi sedikit tips soal seni berdiplomasi kepada kumparan di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Rabu (4/4).
Tapi bagaimana cara mengambil hati orang? Tak semudah itu, kan? Apalagi bila tak saling kenal.
Itu bisa diatur. “Kalau mau bertemu orang baru, saya biasanya pelajari CV dia dulu. Saya berusaha untuk memosisikan saya di posisi dia,” ujar Retno.
ADVERTISEMENT
Jadi, Retno betul-betul mempelajari latar belakang orang yang akan ia ajak bicara.
“Dia menikah dengan siapa, anaknya berapa dan umur berapa, sekolahnya di mana, hobinya apa,” kata Retno.
Kenapa mesti serumit itu? Sebab ia akan menentukan topik obrolan yang menarik bagi si lawan bicara.
“Saya coba ambil titik di mana kalau saya bicara mengenai hal itu, dia akan bahagia,” tutur Reno.
Dengan begitu, perbincangan dibuka dengan nyaman dan hangat. “Biasanya, setelah itu insya Allah semua akan jadi lebih mudah. Tentu tidak selalu mudah, tapi setidaknya itu mempermudah,” kata Retno.
Komunikasi yang nyaman dan lancar adalah salah satu syarat untuk mengambil hati orang. Itu sebabnya, ketika hendak bernegosiasi, Retno akan memulanya dengan mencoba menjalin komunikasi pribadi.
ADVERTISEMENT
“Saya selalu mencoba untuk berteman baik dengan hampir semua menteri luar negeri, dan saya memiliki kontak pribadi mereka,” kata Retno.
Jadi, ketika misalnya hendak menghubungi Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop, Retno tak terlalu kerepotan.
“(Julie) itu salah satu teman baik saya, sehingga saya sudah tidak (telepon) melalui ajudannya lagi. Biasanya kan lewat ajudan dulu,” ujar Retno.
“Saya hanya kirim teks, ‘Dear Julie, boleh nggak aku telepon kalau kamu sudah ada waktu.’ Kalau dia lagi acara, dia bilang ‘Sori Retno, aku meeting. Aku akan telepon kamu 30 menit lagi.’ Jadi (komunikasi) cepat,” kata Retno.
Perempuan asal Semarang itu yakin, jika komunikasi lancar, maka perundingan sesulit apa pun bisa menghasilkan solusi.
Retno Marsudi cukup spesial. Lulusan Hubungan Internasional UGM bernama lengkap Retno Lestari Priansari Marsudi itu merupakan menteri luar negeri perempuan pertama di Indonesia. Menjadi calon diplomat pada 1986, 28 tahun kemudian ia dipercaya menjabat di pucuk kepemimpinan Kemenlu.
ADVERTISEMENT
Sepanjang karier sebagai diplomat, seni diplomasi telah menyatu dalam diri Retno. Bagi Retno, pokoknya negosiasi harus berujung pada keuntungan untuk bangsa Indonesia. Bila sampai prinsip itu dilanggar, “dosa besar,” ujar Retno.
Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai win-win solution. “Harus menemukan titik temu (dalam berdiplomasi). Karena dalam berdiplomasi, ada yang kita perjuangan, dan orang lain juga memperjuangkan sesuatu.”
Kunci strategi diplomasi lainnya adalah: tahu kapan waktunya untuk berhenti berdiplomasi.
“Harus punya koridor. Selama masih berada di dalam koridor, mau agak ke kiri, ke kanan, nggak apa-apa. Tetapi kalau sudah keluar koridor, nggak bisa. Itu titik saya harus berhenti,” kata Retno.
Retno benar-benar menapaki kariernya dari bawah. Karier diplomatik Retno dimulai di Sekolah Calon Diplomat Departemen Luar Negeri pada 1986, usai ia meraih gelar sarjana di Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
Sebagai diplomat, Retno ditugaskan ke sejumlah negara. Mulai Australia hingga Belanda.
Pada 2005, karier Retno meroket. Pada usia masih terbilang muda, 43 tahun, ibu dua anak itu ditunjuk menjadi Duta Besar RI untuk Norwegia merangkap Islandia.
Setelah menjalani tugas dengan amat baik, ia ditarik pulang ke Indonesia dan diberi tugas baru sebagai Direktur Jenderal Amerika dan Eropa Kemlu pada 2008.
Setelah sekitar empat tahun bertugas, pada 2012 Retno kembali bertugas di luar negeri. Ia kembali ke Belanda sebagai duta besar.
Namun, siapa sangka Retno tak dapat menyelesaikan masa tugasnya di Belanda. Masuk tahun kedua bertugas di Belanda, 2014, ia mendapat telepon penting dari Jakarta.
Retno diminta segera meninggalkan Belanda dan pulang ke Indonesia. Di tanah air, tugas baru telah menanti: mengisi posisi menteri luar negeri.
ADVERTISEMENT
Di sinilah Retno kini, mengemban tugas berat memperjuangkan kepentingan negerinya di dunia, hingga tahun depan.
Untuk bisa mencapai jenjang karier cemerlang seperti saat ini, keluarga menjadi resep penting bagi Retno. Termasuk sang suami yang disanjung Retno sebagai ‘malaikat’. Simak terus kisahnya di In Frame Retno Marsudi: Dansa dan Diplomasi .