Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Siauw Giok Tjhan, Menteri Bung Karno yang Sempat Dituduh Komunis
6 Februari 2019 20:35 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Siauw Giok Tjhan merupakan sosok yang kerap berjuang demi kesamarataan etnis Tionghoa.
Tahun Baru Imlek tak serta merta bisa dirayakan oleh umat Konghucu dan kaum Tionghoa di Indonesia. Itu karena, pada awal abad ke-20, etnis Tionghoa kerap mendapat diskriminasi dari penguasa Hindia Belanda.
Bahkan, pada masa Orde Baru, diskriminasi itu masih terasa. Salah satunya, dengan
terbitnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China. Aturan yang menginstruksikan agar masyarakat etnis Tionghoa tidak mengadakan pesta agama dan adat istiadat di muka umum. Melainkan, hanya sebatas di lingkungan keluarga.
Atas diskriminasi tersebut, beragam upaya pun dilakukan oleh tokoh-tokoh dari kalangan Tionghoa. Salah satunya, Shiauw Giok Tjhan. Orang dekat Presiden Sukarno berperan besar dalam mengangkat derajat etnis Tionghoa,
Diangkat Jadi Orang Kepercayaan Bung Karno
Siauw Giok Tjhan lahir di Kapasan, Jawa Timur, 23 Maret 1914. Dia anak pertama dari pasangan Siauw Gwan Sie dan Kwan Tjian Nin.
Masa kanak-kanak Siauw dihabiskan di sekolah yang berjarak 500 meter dari kediamannya.
Selepas itu, dia melanjutkan pendidikan ke Holder Burger School (HBS) di Surabaya.
Di bangku sekolah, Siauw aktif di organisasi kepanduan. Dikutip dari buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) karya Sam Setyautama, di usia 18 tahun Siauw sudah masuk Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan Liem Keen Hien.
Kondisi sulit dan diskriminasi terus-menerus yang dialami kaum Tionghoa membuat Siauw sangat bersemangat untuk mengubahnya. Sebagai gambaran, di awal abad 20, orang Tionghoa merasakan diskriminasi dengan berbagai cara. Misalnya, terbitnya penetapan sistem surat jalan (wijkenstelsel dan passenstelsel).
"Pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan orang-orang Tionghoa untuk tinggal di luar wilayah wilayah yang ditentukan (pusat kota) dan melarang mereka untuk bepergian ke luar wilayah itu, kecuali dengan surat jalan," tulis Leo Suryadinata dalam bukunya Orang Tionghoa Peranakan di Jawa (1986).
Soal hukum, mereka juga diperlakukan sama seperti orang Pribumi serta golongan Timur Asing yakni Arab dan Jepang. Sering diadili atas tudingan melakukan tindak kriminal kecil. Proses peradilannya pun, kerap tanpa bukti kuat.
"Dikeluarkannya UU Agraria 1870 juga membuat orang Tionghoa dan Pribumi tidak boleh memiliki lahan pertanian baru. Di zona pendidikan, mereka juga mendapatkan diksriminasi. Tidak boleh sekolah di Sekolah Eropa," ungkap Leo
Puncaknya, pemberlakuan Politik Etis 1901 yang menyerang ekonomi etnis Tionghoa. Saat itu, Belanda membuat bank-bank desa sehingga ekonomi masayarakat Tionghoa yang mengandalkan pembungaan uang terpuruk.
Demi memperjuangkan ketidakadilan itu, Siauw menjadi anggota Partai Tionghoa. Dia menganggap, partai menjadi media untuk bisa berhadapan langsung dengan pemerintah.
Pergerakannya di Partai Tionghoa fokus pada gagasan tentang kesamarataan. Ide tersebut pun kerap dituangkan ke tulisan yang diterbitkan melalui selebaran-selebaran.
Berjuang Lewat Tulisan
ADVERTISEMENT
Berkat kemampuan menulisnya, tahun 1933, Siauw dipekerjakan sebagai asisten The Boen Ling, pemimpin harian Sin Tit Po di Surabaya. Ide-idenya menentang kolonialisme pun mulai tersebar melalui harian tersebut.
Pada 1934, ia pindah dan menjadi staf harian Matahari. Surat kabar berbahasa Melayu dan Cina yang terbit perdana 1 Agustus 1934 di Semarang. Surat kabar ini dirintis Kwee Hing Tjiat dibantu koleganya, Oei Tiong Ham.
Surat kabar yang dinilai sebagai pembawa kabar tak berat sebelah. Matahari oleh orang Tionghoa juga dianggap sebagai Baba Dewasa (apa ini?).
Masa awal penerbitan, surat kabar ini dipimpin langsung oleh Kwee Hing Tjiat. Dia dibantu sejumlah staf redaktur yakni Kwee Thiam Tjing, Tjoa Tjoe Liang, dan kakek Anies Baswedan, AR Baswedan.
Bekerja di Harian Matahari juga membuat Siauw bisa mendekatkan diri dengan pejuang-pejuang kemerdekaan. Sebut saja, Sukarno, Mohammad Hatta, Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri.
Ketika tokoh-tokoh itu diasingkan ke Ende, Banda Nneira, dan Banda, Siauw kerap berkorespondensi dengan mereka.
Siauw kemudian sempat menjadi Pemimpin Redaksi 'Matahari' pada akhir 1941. Namun, jabatannya tak bertahan lama. Tahun 1942 Matahari ditutup Jepang karena dianggap bersuara keras terhadap imperialisme.
Tak ingin lama menganggur, Siauw pindah ke Malang untuk membuka toko kebutuhan sehari-hari yang ia namakan 'Tjwan An'. Namun, karena jiwanya adalah penulis dan penentang imperialisme, Siauw menyerahkan pengelolaan toko ke keluarga. Tak sampai setahun setelah dibuka.
Siauw lalu aktif di Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dan Palang Biru yang keberadaannya dijamin dan diawasi betul oleh Jepang.
Oleh karena itulah, kalangan yang menyerukan perlawanan ke Jepang menganggap Siauw melemah dan memilih taktik bersahabat dengan Jepang. Padahal, manuver Siauw ini untuk mengambil informasi sebanyak-banyaknya soal Jepang.
Pada tahun 1945, Siauw masuk Partai Sosialis Indonesia. Lalu ia menjadi anggota KNIP sebagai Badan Pekerja KNIP. Suara-suara kritisnya membuat dia dilirik Bung Karno dan Sjahrir.
Sjahrir pun mengajak Siauw mengikuti rombongan Indonesia ke Inter Asian Conference di New Delhi, India pada 1947. Di sana, Siauw juga memberikan pandangannya soal bagaimana mencintai Indonesia meski berdarah Tionghoa.
Di tahun yang sama, dia pun diangkat menjadi Menteri Urusan Minoritas dalam Kabinet Syarifuddin.
Menteri Sederhana yang Tetap Menulis
Diangkat sebagai menteri, tak membuat Siauw banyak tingkah. Dia masih sederhana dan getol memperjuangan kaumnya.
Pada 2 Januari 1946, ibu kota negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Sebab saat itu, situasi Jakarta tengah panas. Pasukan Sekutu (AFNEI, Allied Forces in Netherlands East Indies) yang diboncengi Belanda dengan nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration) menggalang razia-razia dan penangkapan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Siauw pun turut pindah dari Surabaya ke Yogyakarta. Dia sempat bingung karena tidak ada perumahan yang diberikan kepada menteri. Bagi menteri yang berasal dari luar Yogyakarta, diberikan tempat tinggal di Hotel Merdeka.
Namun, Siauw tak mengambil kesempatan tersebut. Dia memilih tinggal di Gedung Kementerian Negara di Jalan Djetis. Alasannya, demi menghemat pengeluaran negara.
Dia juga tak langsung mendapat mobil dinas. Untuk menjalankan tugas pertamanya, ia memilih naik andong dari Gedung Kementerian Negara menuju Istana Yogyakarta. Dia tak tahu, kalau andong dilarang memasuki halaman Istana.
"Siauw pun turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Istana Yogya," kata Tiong Djin Siauw.
ADVERTISEMENT
Tahun 1951 Dia menerbitkan Soeara Rakjat yang kemudian berganti nama menjadi Harian Rakjat. Tahun 1953 Harian Rakjat dijual karena dianggap tidak menguntungkan Nyoto.
Karena pergerakannya di Harian Rakjat itu, dia dianggap dekat dengan komunis yakni Kuomintang (Partai Komunis China). Hal inilah yang membuat dia pernah ditahan di era Kabinet Sukiman dengan Liem Koen Hien dan Ang Jan Goan karena dianggap kiri.
Saat itu, Pemerintah Kabinet Sukiman ingin membuktikan mereka anti komunis dengan menangkap sekitar lebih 2.000 orang. Termasuk Siauw dan Abdullah Aidit dari Fraksi Masyumi yang merupakan ayah dari DN Aidit. Bahkan, Sutan Syahrir sekalipun yang berasal dari Partai Sosialis yang cenderung kanan ikut ditangkap.
'Banyak yang memang salah tangkap," kata Jhon Roosa seperti dikutip kumparan dari Facebook sejarawan Asvi Varman Adam.
Semua yang ditangkap termasuk, Siauw, ketika diinterogasi, mendapat pertanyaan yang sama. Posisi mereka saat pemberontakan di Madiun, September 1948.
"Setelah dua bulan Pak Siauw sakit mata yang cukup parah, dan statusnya berubah menjadi tahanan rumah dan akhirnya bebas," kata Asvi.
Setelahnya, Siauw fokus menyembuhkan penyakitnya. Baru pada tahun 1954, ia mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang sekaligus dia ketuai.
Baperki turut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante.
70% suara Baperki berasal dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara itu, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR sehingga Siauw Giok Tjhan bisa duduk di parlemen.
Selama menjadi anggota dewan, Siauw dikenal sebagai orang yang memperjuangkan persamaan hak bagi warga negara dan antidiskriminasi. Ia melalui Baperki juga bergerak mengorganisasikan pendidikan dengan mendirikan 107 sekolah pada 1961.
Pada tahun 1965, sentimen anti-China kembali bergejolak. Hingga akhirnya, pada 4 November 1968, Siauw ditahan selama 12 tahun karena dianggap dekat dengan komunis.
Pada 1978 ia dilepas atas bantuan Adam Malik. Saat itu Siauw menderita penyakit jantung yang cukup parah. Atas alasan kemanusiaan, Adam Malik membebaskannya dan mengizinkan Siauw berobat ke Belanda.
Siauw kemudian tinggal di negeri Kincir Angin sambil memulihkan kondisinya. Selama di sana, ia sesekali mengikuti pertemuan dengan orang-orang Indonesia.
Pada 20 November 1981, dia diminta untuk berpidato di depan ahli-ahli berbagai disiplin ilmu dari Indonesia di Leiden. Namun sebelum berpidato, Siauw meninggal dunia karena penyakit jantung.
ADVERTISEMENT