Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"30 Juni adalah cara kami untuk menjatuhkan kudeta dan memblokir jalan alternatif palsu," tegas aliansi kelompok sipil, Forces for Freedom and Change, dikutip dari AFP, Kamis (20/6/2022).
Demonstrasi skala kecil telah meletus mendekati rencana aksi tersebut. Perwakilan Khusus PBB, Volker Perthes, kemudian meminta pasukan keamanan untuk menahan diri.
Militer Sudan kerap menindak keras gerakan anti-kudeta. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, kekerasan terkait protes telah menewaskan lebih dari 100 orang.
"Kekerasan terhadap pengunjuk rasa tidak akan ditoleransi," jelas Perthes.
Menanggapi pernyataan itu, Kementerian Luar Negeri Sudan melayangkan kritik terhadap Perthes. Pihaknya menegaskan, pernyataan itu dibuat hanya berdasarkan asumsi.
Menurut Kemlu Sudan, komentar tersebut bertentangan dengan perannya sebagai fasilitator. Perthes membantu mediasi dalam pembicaraan untuk mengakhiri krisis politik di Sudan.
Pemerintah Sudan telah mengambil langkah-langkah untuk membatasi pergerakan demonstran. Menjelang protes pro-demokrasi, otoritas memutus layanan internet di Ibu Kota Khartoum.
ADVERTISEMENT
Pemblokiran internet tersebut terjadi untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan. Usai pengambilalihan militer, pemadaman internet sempat diperpanjang untuk menghambat gerakan protes.
Staf di dua perusahaan telekomunikasi sektor swasta melaporkan perintah serupa kali ini. Pihak berwenang telah memerintahkan mereka untuk menutup akses internet pada Kamis (30/6/2022).
Pemerintah mencabut keadaan darurat baru-baru ini. Tetapi, keamanan juga telah kembali diperketat di Kharthoum.
Tentara dan polisi memblokir jalan menuju markas besar tentara dan istana kepresidenan, sedangkan mayoritas toko-toko di sekitar ibu kota telah ditutup.
Pasukan keamanan juga menutup jembatan di atas Sungai Nil. Jembatan tersebut menyambungkan Khartoum dan kota kembarnya, Omdurman dan Bahri.
Protes anti-kudeta itu bertepatan dengan kudeta sebelumnya pada 1989. Pengambilalihan kekuasaan tersebut menggulingkan pemerintah sipil terpilih terakhir di negara itu. Peristiwa itu kemudian mengantarkan kediktatoran tiga dekade oleh Omar al-Bashir.
ADVERTISEMENT
Demonstrasi teranyar itu juga memperingati protes pada 2019. Awal tahun itu, para jenderal menggulingkan Bashir dalam kudeta. Masyarakat lantas menuntut mereka untuk menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil.
Serangkaian protes tersebut berakhir pada pembentukan pemerintahan transisi campuran sipil-militer. Namun, pemerintahan itu pun menjadi korban kudeta tahun lalu.
Protes mengguncang Sudan hampir setiap pekan. Kesengsaraan ekonomi mendorong masyarakat yang putus asa ke jalanan. Krisis itu telah semakin menjalar sejak perebutan kekuasaan tahun lalu oleh panglima militer Abdel Fattah al-Burhan.
Uni Afrika, IGAD, dan PBB telah berusaha untuk menengahi pembicaraan antara para jenderal dan warga sipil. Tetapi, upaya mereka telah diboikot oleh seluruh faksi sipil utama.
PBB memperingatkan, krisis ekonomi dan politik akan mendorong sepertiga dari populasi negara itu ke dalam kekurangan pangan yang mengancam jiwa.
ADVERTISEMENT