Tak Dihapus Sepenuhnya, Hukuman Mati Masih Berlaku di Malaysia untuk Kasus Ini

21 September 2023 14:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bendera Malaysia. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera Malaysia. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Pemerintah Malaysia pada Juli lalu melakukan sebuah reformasi hukum melalui pengesahan UU Penghapusan Hukuman Mati Wajib 2023 (UU No. 846). Di bawah amandemen ini, hukuman penjara seumur hidup juga tidak lagi berlaku.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, tangan hakim di Malaysia sudah tidak terikat untuk langsung menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa 11 kasus pelanggaran berat yang sebelumnya wajib dihukum mati.
Meski begitu, berlakunya amandemen terbaru yang disahkan di Lembar Negara pada 12 September 2023 ini bukan berarti hukuman mati secara keseluruhan dihapuskan di Malaysia.
Ada beberapa pelanggaran berat lain yang masih berpotensi dijatuhi hukuman mati, apa saja?
Topik ini dibahas dalam forum diskusi FGD Penghapusan Mandatory Death Penalty Malaysia dan Uji Publik Pedoman Pendampingan WNI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri di yang digelar di Yogyakarta, pada Kamis (21/9).
Pejabat dari Kantor Perdana Menteri Malaysia, Harinder Singh, menjelaskan sebelum Juli 2023 terdapat 34 pelanggaran berat yang berpotensi dijatuhi hukuman mati — termasuk pembunuhan, pengedaran narkoba, hingga terorisme.
192 Warga Negara Indonesia (WNI) tiba di Bandara Soekarno-Hatta usai dipulangkan dari Malaysia pada Kamis (4/8/2022). Foto: Kemlu RI
11 di antara pelanggaran berat itu memikul hukuman mati wajib, tanpa ada alternatif hukuman lain. Sekarang, hakim memiliki opsi untuk memvonis hukuman cambuk minimal 12 kali, hukuman mati, atau penjara seumur hidup minimal 30 tahun dan maksimal 40 tahun — jika menyebabkan kematian.
ADVERTISEMENT
Hal itu tertuang dalam amandemen terbaru, yang berbunyi:
Singh kembali menggarisbawahi, hukuman mati wajib (mandatory death penalty) sudah dihapus — tetapi hukuman mati tetap bisa dijatuhkan hakim untuk kasus-kasus pelanggaran berat.
Pelanggaran wajib hukuman mati seperti pembunuhan, terorisme, pengedaran narkoba, pengkhianatan terhadap negara, mengobarkan atau menyerang Raja Yang di-Pertoan Agong, pemerkosaan anak di bawah umur, dan penggunaan senjata api.
Tiga WNI terpidana Mati kasus narkoba di Malaysia, dipulangkan ke Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Sebagai contoh, kata Singh, jika seseorang didakwa atas pembunuhan maka hakim memiliki opsi untuk menjatuhkan hukuman lain selain hukuman mati wajib — seperti hukuman penjara hingga 40 tahun atau hukuman cambuk.
Sebelumnya, hakim langsung menjatuhkan hukuman mati wajib tanpa ada alternatif hukuman lain.
"Pelanggaran yang menyebabkan kematian seperti terorisme — masih bisa dijatuhi hukuman mati atau hukuman pemenjaraan antara 30 sampai 40 tahun dan hukuman alternatif cambuk minimal 12 kali," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Untuk contoh lain, apabila pelanggaran tidak menyebabkan kematian maka hakim bisa menjatuhkan hukum cambuk dan penjara — tanpa harus memvonis hukuman mati.
"Pelanggaran yang tidak menyebabkan kematian misalnya seperti menggunakan senjata api tapi tidak ada korban pembunuhan — hakim tidak perlu menjatuhkan hukuman mati," kata Singh.
Lantas, apakah narapidana WNI di Malaysia akan dibebaskan?
Duta Besar RI untuk Malaysia, Hermono, meluruskan bahwa kasus-kasus WNI di Negeri Jiran — yang sebagian besar berkaitan dengan narkoba, tidak langsung selesai.
Menurut data statistik yang dihimpun Direktorat Pelindungan WNI, sejauh ini terdapat 77 kasus WNI yang terverifikasi akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di penjuru Malaysia.
Adapun 55 kasus di antaranya terlibat percobaan atau penyelundupan narkoba — 49 terdakwa dijatuhi hukuman mati dan 6 lainnya penjara seumur hidup.
Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono (kiri) berjalan bersama Komandan KRI Bima Suci-945 Letkol Laut (P) Muhammad Sati Lubis (kanan) saat menghadiri malam "cocktail party" di atas geladak KRI Bima Suci-945 di Kota Kinabalu Port Sabah, Malaysia, (6/8). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Hermono menjelaskan, terdakwa yang terdampak amandemen ini hanyalah kasus yang sudah inkrah (final) sehingga bisa mengajukan PK untuk kemudian ditinjau oleh badan hukum Malaysia.
ADVERTISEMENT
"Kasus-kasus yang sudah inkrah sudah bisa mengajukan peninjauan kembali untuk 78 case WNI yang nanti akan kita ajukan — 69 itu yang mandatory death penalty yang 9 itu seumur hidup. Jadi ada dua case dan total 78," kata Hermono.
"Pihak penjara kini sudah mulai pendaftaran, untuk WNI dari 78 kasus atau orang yang boleh mengajukan PK itu sudah 42 yang sudah didaftarkan. Jadi masih ada 36 lagi yang proses didaftarkan," jelasnya, seraya menambahkan bahwa seluruh narapidana WNI di Malaysia bertekad untuk mengajukan PK.
Meski begitu, sambung Hermono, penghapusan hukuman mati wajib maupun penjara seumur hidup tidak bersifat absolut. Sebab, pada akhirnya yang berwenang untuk menolak, menyetujui, dan menjatuhkan vonis adalah hakim di Malaysia.
Kemlu dan Perwakilan RI di Malaysia fasilitasi percepatan pemulangan 145 orang WNI Pekerja Migran Indonesia (PMI) kelompok rentan. Foto: Kemenlu RI
"Penghapusan mandatory death penalty maupun mandatory life sentence tidak bersifat absolut. Orang boleh saja mengajukan PK, tetapi bukan berarti otomatis semua PK yang diajukan akan diluruskan oleh hakim — not automatically," ungkap Hermono.
ADVERTISEMENT
"Jadi bisa saja hakim menolak PK untuk kasus-kasus tertentu — misalkan pemberontakan kepada pemerintah, ancaman terhadap raja, kasus narkotika, terorisme, dan lain-lain," sambung dia.
Dengan kata lain, papar Hermono, belum tentu semua narapidana WNI akan dibebaskan di bawah amandemen terbaru ini.
"Kita perlu menjelaskan bahwa kewenangan apakah permintaan PK disetujui atau tidak itu kewenangan hakim. Bisa saja hakim menolak PK tersebut misal, pemberontakan kepada pemerintah, kasus narkotika, kasus terorisme hingga pembunuhan," ungkap Hermono.
Adapun saat ini, Hermono beserta perwakilan RI di penjuru Malaysia telah mengambil langkah-langkah dalam merespons kebijakan terbaru dan reformasi hukum tersebut.
Sebab, persidangan diperkirakan akan berlangsung mulai November mendatang. Atas dasar itulah, Hermono beserta pemerintah pusat — termasuk Kementerian Luar Negeri RI dan BP2MI, saat ini sedang mengupayakan pendataan dan pengadaan kuasa hukum bagi para narapidana WNI agar hak-hak mendapatkan keadilannya terpenuhi.
ADVERTISEMENT