Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tanding di Luar Negeri Tanpa Hijab, Atlet Panjat Tebing Iran Disebut 'Pahlawan'
20 Oktober 2022 8:44 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pendukung dengan riuh bertepuk tangan menyambut Rekabi sekembalinya ke Teheran. Puluhan orang meneriakkan sanjungan seperti 'Elnaz adalah seorang pahlawan!' dan 'Bagus, Elnaz!' saat mereka berkumpul di luar terminal bandara.
Sebagian dari mereka merekam momen tersebut dengan ponsel. Perempuan berusia 33 tahun itu terlihat mengenakan topi baseball dan jaket hoodie, tetapi tidak memakai hijab.
Sebagaimana Rekabi, beberapa perempuan yang hadir di bandara pun tidak mengenakan hijab. Rekabi kemudian menggeser masker wajahnya dan berbicara kepada media pemerintah.
"Akibat atmosfer yang mendominasi di babak final kompetisi dan panggilan tak terduga bagi saya untuk mulai lari, saya disibukkan dengan peralatan teknis dan itu menyebabkan saya tidak menyadari hijab yang seharusnya saya perhatikan," terang Rekabi, dikutip dari AFP, Kamis (20/10).
ADVERTISEMENT
"Saya kembali ke Iran dengan damai, dalam kesehatan yang sempurna dan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Saya meminta maaf kepada rakyat Iran karena ketegangan yang tercipta," lanjut dia.
Rekabi menambahkan, dia tidak berencana untuk meninggalkan tim nasional Iran. Masih mengenakan topi dan hoodie, dia berfoto bersama Menteri Olahraga Iran, Hamid Sajjadi. Mereka membahas masa depan Rekabi dan persiapannya untuk Olimpiade di Paris.
Komentarnya tersebut mirip dengan unggahan yang dia buat melalui Instagram pada Selasa (18/10). Dalam unggahan sebelumnya, Rekabi meminta maaf dan beralasan bahwa hijabnya tidak sengaja terlepas.
Kendati demikian, para aktivis meyakini bahwa pernyataan itu terpaksa dia buat karena tekanan dari otoritas Iran.
"Sambutan seorang pahlawan–termasuk oleh wanita tanpa hijab paksa–di luar Teheran. Kekhawatiran akan keselamatannya tetap ada," tulis Center for Human Rights in Iran (CHRI) yang berbasis di New York.
ADVERTISEMENT
Aktivis HAM berulang kali menuduh Iran memaksa warganya membuat pernyataan maaf melalui televisi maupun media sosial. Aktris Inggris asal Iran, Nazanin Boniadi, mengungkap pengamatan serupa. Dia adalah duta besar untuk Amnesty International di Inggris.
"[Rekabi] dipaksa untuk membuat pernyataan ini oleh pihak berwenang yang terus-menerus menggunakan pengakuan paksa dan televisi," ujar Boniadi.
Pandangan itu turut diungkap oleh jurnalis terkemuka asal Iran yang sekarang berada dalam pengasingan, Maziar Bahari. Dia menggambarkan komentar Rekabi sebagai pengakuan paksa.
"Anda bisa melihat ketakutan di matanya. Dia hanya mengulangi apa yang diperintahkan kepadanya," kata Bahari.
Kedutaan Besar Iran di Seoul menyangkal segala 'berita palsu' seputar Rekabi. Tetapi, berbagai laporan mencuat tentang tekanan oleh pejabat Iran di Korsel terhadap Rekabi. Sebab, Rekabi sempat dilaporkan menghilang setelah merampungkan kompetisi.
ADVERTISEMENT
BBC Persia mengutip seorang sumber yang mengatakan, timnya harus meninggalkan Seoul dua hari sebelum jadwal keberangkatan semula pada Senin (17/10). Iran Wire mengatakan, otoritas menipu Rekabi agar menyerahkan telepon dan paspor kepada Kedubes Iran di Seoul dengan menjanjikan perjalanan pulang yang aman ke Teheran.
"[Pengamat HAM] tidak boleh terpengaruh oleh propaganda negara," tegas CHRI.
Rekabi pulang dengan latar belakang protes nasional yang dipicu kematian Mahsa Amini pada 16 September. Akibat tak mematuhi aturan ketat berhijab, perempuan berusia 22 tahun itu ditangkap Polisi Moral. Dia diduga mengalami penyiksaan selama ditahan.
Amini meninggal dunia dalam keadaan koma. Wajahnya pun diselimuti oleh bekas memar dan pendarahan. Dalam luapan amarah, para perempuan melepaskan dan membakar hijab mereka di seluruh Iran. Sebagai bentuk solidaritas, Rekabi mengambil aksi serupa.
ADVERTISEMENT
Awalnya, Rekabi terlihat menutupi kepala dengan bandana saat bertanding di Korsel. Tetapi, dia hanya menggunakan headband atau ikat kepala dalam acara berikutnya. Federasi Olahraga Panjat Tebing Internasional (IFSC) menyiarkannya secara langsung di YouTube.
"[Kami] sepenuhnya mendukung hak-hak atlet, pilihan mereka, dan kebebasan berekspresi," bunyi pernyataan IFSC.
Rekabi adalah perempuan pertama asal Iran yang memenangkan medali di IFSC Climbing World Championships pada 2021. Dia juga menempati posisi keempat dalam pertandingan di Korsel.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengatakan, pihaknya telah menghubungi Rekabi. IOC kemudian menerima jaminan dari Komite Olimpiade Nasional (NOC) Iran bahwa Rekabi tidak akan menghadapi konsekuensi lantaran tidak memakai hijab saat di Korsel.
"Sebuah pertemuan bersama berlangsung hari ini antara IOC, IFSC, dan NOC Iran. IOC dan IFSC menerima jaminan yang jelas bahwa Rekabi tidak akan menderita konsekuensi apa pun dan akan terus berlatih dan bersaing," tutur seorang juru bicara IOC, dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT
Dilansir Al Jazeera, Rekabi adalah atlet perempuan kedua yang berkompetisi di luar negeri tanpa mematuhi aturan berpakaian ketat Iran. Atlet lainnya adalah petinju bernama Sadaf Khadem. Dia mengalahkan Anne Chauvin dalam kompetisi di Prancis pada 2019.
Selama berkompetisi, Khadem tidak menutupi rambut maupun tubuhnya sesuai aturan pemerintah Iran. Surat perintah penahanan kemudian menargetkannya ketika dia berencana pulang ke Iran.
Alhasil, Khadem memutuskan untuk menetap di Prancis. Otoritas membantah laporan tentang surat penangkapan tersebut.
Amnesty International mengatakan, Iran memaksakan aturan berhijab bahkan pada anak perempuan berusia tujuh tahun. Disadur dari ABC, otoritas menahan perempuan yang melanggar aturan sampai anggota keluarganya membawakan pakaian yang 'pantas'.
Mereka kemudian menandatangani pernyataan yang menyatakan tidak akan mengulanginya lagi. Dalam beberapa kasus lain, perempuan yang melanggar aturan dikirim ke 'pusat bimbingan' untuk diajari cara berpakaian yang 'pantas', seperti yang terjadi pada Amini.
ADVERTISEMENT
Iran tidak hanya menuntut perempuan untuk mengenakan hijab di depan umum. Pihak berwenang juga melarang celana ketat, jeans robek, serta pakaian yang memperlihatkan lutut dan berwarna cerah.
Aturan tersebut telah berlaku sejak revolusi Islam di Iran pada 1979. Pelanggar dapat menerima hukuman penjara antara sepuluh hari hingga dua bulan. Mereka juga dapat menghadapi denda.
Protes di Iran
Mahsa Amini–juga dikenal sebagai Jina Amini atau Zhina Amini–ditangkap Guidance Patrol Iran atau Polisi Moral Iran saat sedang berkunjung bersama keluarganya ke Teheran pada 13 September.
Amini dibawa ke sebuah 'pusat bimbingan'. Sebelum penahanan, dia sedang berada dalam keadaan sehat. Selang beberapa jam kemudian, Amini dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan koma.
Diberitakan Iran Wire, sepuluh dokter menyatakan bahwa foto-foto korban menunjukkan bahwa dia menderita cedera akibat pukulan pada kepala. Mereka menegaskan, stroke tidak mungkin menyebabkan pendarahan maupun perubahan warna pada kulit.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Iran mengeklaim, Amini meninggal dunia akibat kondisi yang dia derita sejak menjalani operasi otak di Teheran pada 2007. Ayahnya, Amjad Amini, membantah bahwa dia menjalani operasi.
Protes nasional lantas meletus sejak pemakaman Amini. Massa membanjiri jalanan dari Ibu Kota Teheran, pusat wilayah utara di Tabriz, kota bersejarah seperti Isfahan dan Shiraz, tujuan ziarah seperti Masyhad, hingga provinsi-provinsi di Laut Kaspia.
Mereka merusak dan membakar ikon rezim Iran dan menyerukan 'Matilah sang diktator!', merujuk pada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Pengunjuk rasa melawan tindakan keras pasukan keamanan, membakar mobil polisi, dan memblokir jalanan.
ADVERTISEMENT
Situasi di negara tersebut semakin intens usai kematian perempuan lainnya dalam aksi unjuk rasa, seperti Nika Shahkarami dan Sarina Esmailzadeh. Keduanya hanyalah anak remaja berusia 16 tahun yang diduga dibunuh oleh pasukan keamanan Iran.
ADVERTISEMENT
"Pemberontakan dimulai sebagai tanggapan terhadap pembatasan pakaian dan perilaku perempuan di depan umum, tetapi telah berkembang menjadi kampanye untuk menggulingkan rezim secara langsung," terang pusat penelitian asal Amerika Serikat (AS), Soufan Center.
Sebuah koalisi yang terdiri dari 40 organisasi HAM kemudian mengutuk tindakan keras pasukan keamanan pada Senin (17/10). Mereka mengumpulkan bukti atas tindakan represif otoritas Iran.
Koalisi itu termasuk Amnesty International, Human Rights Watch (HRW), Iran Human Rights (IHR), Center for Human Rights in Iran (ICHRI), Hengaw Organisation for Human Rights, dan Balochistan Human Rights Group.
Pihaknya menerangkan, pasukan keamanan menembakkan peluru tajam dan pelet logam terhadap pengunjuk rasa secara sadar. Menurut mereka, aksi itu melanggar hukum. Tindakan keras bahkan telah merenggut 23 nyawa anak-anak selama empat pekan di Iran.
ADVERTISEMENT
Jumlah sebenarnya dari korban jiwa maupun cedera pun tidak mencerminkan realita di lapangan. Sebab, pemerintah telah memblokir internet, sehingga memutus jaringan informasi di Iran.
Selama protes berlangsung, Iran memblokir platform media sosial seperti WhatsApp dan Instagram. Kedua aplikasi itu adalah wadah yang paling banyak digunakan setelah otoritas memblokir platform lain dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Facebook dan Twitter.
Pemerintah juga telah menutup aplikasi seperti Google Play Store dan sejumlah layanan VPN. Kini, pihaknya sedang merancang undang-undang untuk memidana penjualan alat VPN di Iran.
Kelompok-kelompok HAM itu lantas mendesak bantuan dari Dewan HAM PBB (UNHRC). Pihaknya meminta badan tersebut mengadakan sesi khusus untuk membahas kekerasan di Iran, serta membangun mekanisme investigasi dan akuntabilitas yang independen.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sejumlah negara telah memberlakukan sanksi terhadap Polisi Moral Iran. Negara-negara itu termasuk Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Inggris.