Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Selasa, 17 Mei 2022, AKBP Dody Prawiranegara mengirim pesan WhatsApp kepada Irjen Teddy Minahasa , Kapolda Sumatera Barat saat itu. Dody yang ketika itu masih menjabat sebagai Kapolres Bukittinggi meminta arahan Teddy mengenai jadwal konferensi pers pengungkapan 41,4 kg sabu hasil tangkapan Polres Bukittinggi dalam sejumlah kasus sejak awal 2022.
Namun, bukannya membicarakan jadwal, Teddy justru meminta Dody menyisihkan sebagian barang bukti. Dody langsung menolak permintaan itu.
“Sebagian BB (barang bukti) diganti tawas, Mas (buat bonus anggota),” tulis Teddy dalam pesan WA ke Dody.
“Siap, gak berani Jenderal,” jawab Dody.
Dalam obrolan WA yang diperlihatkan kepada kumparan itu, keduanya lalu membahas jadwal rilis kasus yang kemudian disepakati pada Sabtu, 21 Mei 2022.
Masih dalam chat yang sama, Teddy membalas pesan Dody yang tidak berani menyisihkan sabu barang bukti dengan emotikon telunjuk ditaruh di depan bibir, tanda memintanya diam berahasia. Dody pun menjawab kode Teddy dengan menyatakan akan mengupayakan.
“Izin Jenderal, saya tidak berani dikarenakan BB. Akan tetapi, jika perintah Jenderal, akan kami upayakan. Tapi [jika] dalam waktu 1 bulan barang tersebut belum diambil, maka akan saya musnahkan,” ujar Dody.
“Kenapa?” tanya Teddy.
“Saya tidak berani menyimpan terlalu lama,” jawab Dody.
Setelahnya, Teddy bertanya siapa anggota Polres Bukittinggi yang akan dilibatkan Dody untuk mengganti sabu. Dody menjawab, “... di sini tidak ada yang bisa dipercaya, Jenderal.”
Dody kemudian memilih menghubungi orang kepercayaannya, Samsul Ma’arif alias Arif.
Menurut pengacara Dody, Adriel Purba, Arif sudah berhubungan baik dengan kliennya sejak Dody berpangkat AKP. Kepada Arif, Dody bercerita soal perintah Teddy Minahasa.
“Rawan Bang, kita enggak punya pengalaman. Kita bukan pemain, bukan pemakai, dan nggak punya jaringan,” ucap Arif via telepon.
“Gue juga berpikir begitu, tapi ini perintah bos,” timpal Dody.
Adriel menjelaskan, maksud “tak punya pengalaman” yang disebut Arif ialah karena Dody tidak pernah bertugas lama di Direktorat Reserse Narkoba. Dody hanya pernah bertugas sebagai Penyidik Madya I Ditresnarkoba Polda Jawa Barat selama 7 bulan.
Sehari jelang konferensi pers, 20 Mei, Teddy menginap di Bukittinggi. Malam itu sekitar pukul 22.00 WIB, Dody diminta menghadap Teddy di kamar lantai 8 Hotel Santika. Pertemuan itu lagi-lagi membahas penyisihan sabu.
“Ada perintah, Jenderal?” tanya Dody.
“Bisa sisihkan 10 kg?” sahut Teddy.
“Untuk apa, Jenderal?” tanya Dody lagi.
“Untuk undercover buying sekaligus bonus anggota,” jawab Teddy.
Kepada pengacaranya, Dody mengatakan bahwa ia tidak diberi tahu Teddy tentang motif asli perintah penyisihan barbuk sabu tersebut. Alasan untuk undercover buying dan bonus anggota itu merupakan argumen persuasif agar Dody mau melakukan perintahnya.
Pertemuan Dody dan Teddy malam itu berakhir pukul 22.30 WIB. Namun, setengah jam kemudian, pukul 23.00 WIB, setibanya Dody di Mapolres Bukittinggi, Teddy kembali mengirim pesan WhatsApp.
“Mainkan ya Mas, minimal 1/4-nya,” tulis Teddy.
Ketika konferensi pers, Teddy mengapresiasi Dody dan jajaran Polres Bukittinggi yang mampu mencatat sejarah pengungkapan peredaran narkoba terbesar di Sumbar senilai Rp 62,1 miliar. Teddy menyebut 8 tersangka yang ditangkap dalam kasus itu akan dijerat hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Beberapa jam setelahnya, Dody mengirim sejumlah pemberitaan media mengenai rilis kasus kepada Teddy. Dody menyebut pemberitaan media positif. Dalam momen itu, Teddy kembali menyinggung perintahnya untuk menyisihkan 10 kg sabu.
“Usahakan goal betul ya yang kita bahas. Tentunya yang utama aman atau dilepas bertahap,” kata Teddy.
“Kami usahakan, Jenderal,” jawab Dody.
Dody yang terus-menerus diingatkan Teddy untuk menyisihkan sabu barbuk lantas mengajak Arif bertemu. Namun, menurut Adriel, ia tertekan dan akhirnya memutuskan hanya menukar 5 kg sabu dari 10 kg yang diperintahkan Teddy.
Dody merasa menukar 10 kg sabu dengan tawas terlalu riskan. Baginya, jumlah itu terlampau banyak. Di kemudian hari, Dody melapor ke Teddy hanya berani menukar 5 kg sabu. Teddy tak mempermasalahkannya.
Peristiwa menukar 5 kg sabu dengan tawas itu terjadi pada 12 Juni atau tiga hari sebelum konferensi pers pemusnahan barang bukti. Dody memerintahkan Arif untuk menukar sabu yang saat itu disimpan di ruang kerjanya di Mapolres Bukittinggi.
Namun, Arif tak langsung menukarnya di ruangan Kapolres. Arif terlebih dahulu mencongkel peti yang dipakai untuk menyimpan sabu barbuk tersebut, dan mengambil 5 bungkus dari dalamnya. Kelima bungkus sabu itu lalu dibawa Arif ke rumah dinas Kapolres.
Di rumah dinas itu, ia membuka bungkusnya, menukar isinya dengan tawas, dan menutup lagi bungkus dengan lem. Bungkusan sabu yang sudah ditukar tawas itu lantas dibawa lagi ke ruangan Kapolres untuk dimasukkan ke peti. Arif bekerja seorang diri.
Keesokan harinya, 13 Juni, Dody dan Arif mengantarkan 5 bungkus sabu ke rumah dinas Teddy Minahasa di Jalan Rasuna Said, Padang. Akan tetapi Teddy enggan menerimanya.
“Mas pegang saja,” ujar Teddy ke Dody.
Sabu tersebut akhirnya dibawa kembali ke Bukittinggi. Arif dan Dody merasa sabu tersebut akan menjadi bom waktu jika tak segera diambil Teddy.
Dody sempat berpikir untuk memusnahkan 5 bungkus sabu itu jika Teddy tak kunjung menerimanya. Namun, esoknya, 14 Juni, melalui sambungan telepon, Teddy meminta Dody agar tetap menyimpan sabu tersebut.
“Mereka dalam keadaan terpaksa,” jelas Adriel kepada kumparan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (8/11).
Pada 15 Juni sebelum konpers pemusnahan barang bukti, Teddy meminta Dody menghadap di Hotel Santika. Ia memerintahkan Dody mencari pembeli untuk sabu 5 kg yang telah disisihkan.
Berbeda dengan saat memerintahkan penyisihan sabu barbuk yang disebut untuk “bonus anggota”, kala itu Teddy mengatakan sabu bakal digunakan untuk undercover buying. Ini adalah teknik menangkap pelaku kasus narkoba dengan berpura-pura sebagai bandar .
Selanjutnya dalam konferensi pers, sebanyak 35 kg sabu dimusnahkan, di mana 5 kg di antaranya tawas. Sementara sisa 6,14 kg sabu dijadikan bukti di persidangan.
Meski mampu mengungkap peredaran 41,4 kg narkoba dan menjalankan perintah Teddy untuk menyisihkan 5 kg sabu, tak sampai seminggu kemudian, pada 21 Juni, Dody justru dicopot dari jabatannya sebagai Kapolres Bukittinggi. Ia dimutasi menjadi Kepala Bagian Pengadaan Biro Logistik Polda Sumbar.
Dody sempat mempertanyakan mutasi itu kepada Teddy. Dalam pesannya ke Dody, Teddy menyiratkan posisi tersebut hanya sementara sembari menunggu kenaikan tipe Polres Bukittinggi menjadi Polresta.
Nantinya, ujar Teddy dalam pesan tersebut, Kapolresta Bukittinggi akan dijabat Kombes Pol dari sebelumnya AKBP. Seiring perubahan itu, kata Teddy lagi, Dody akan diplot kembali sebagai Kapolresta Bukittinggi sekaligus naik pangkat menjadi Kombes Pol.
Dody menerima penjelasan Teddy tersebut. Meski demikian, menurut sumber kumparan, mutasi tersebut disinyalir sebagai bentuk tekanan kepada Dody agar segera mencari pembeli sabu, lantaran sebelumnya ia kerap mengulur waktu.
Kemunculan Linda
Sementara Dody tak kunjung mendapatkan pembeli atas sabu 5 kg yang disisihkan diam-diam, Teddy pada 23 Juni menerima pesan dari Linda Pujiastuti alias Anita. Pada ponselnya, Teddy mencatat nomor telepon Linda dengan nama “Anita Cepu”.
Sumber kumparan menyebut Teddy dan Linda sudah saling kenal ketika bertugas di Satuan Penyelenggara Administrasi SIM Daan Mogot pada 2005.
Dalam percakapan dengan bahasa Jawa itu, Linda mengutarakan keinginannya untuk bekerja lagi dengan Teddy. Ia ingin pergi ke Brunei Darussalam untuk berjualan keris, tapi tak punya uang untuk ongkos. Linda meminta Teddy membelikan tiket untuknya.
“Sampean tukokno tiket, aku gak duwe operasional. Mohon maaf Pak Teddy, aku perlu kerjoan,” kata Linda.
Merasa momen itu pas, Teddy menawari Linda untuk mencari buyer sabu 5 kg. Mereka sepakat untuk menjual sabu di harga Rp 400 juta per 1 kg sabu.
“Iki onok barang (sabu) 5 kg, golekno lawan,” ucap Teddy ke Linda.
Pada hari yang sama, Teddy memberikan nomor Linda kepada Dody. Teddy meminta Dody menghubungi Linda, dan Dody sempat mengatakan nomor Linda sudah tidak aktif.
“Bisa kok Mas, di-WA saja dulu,” tulis Teddy ke Dody sembari menunjukkan screenshot percakapannya dengan Linda.
Sepanjang Juni sampai September, Teddy, Dody, dan Linda saling bertukar pesan WhatsApp mengenai teknis pengiriman sabu. Dody sempat menawarkan kepada Linda untuk mengambil sabu di Pekanbaru, Riau. Namun usul itu ditolak Linda.
Teddy kemudian menyarankan Linda agar mengambil sabu ke Padang dan membawanya ke Jakarta melalui jalur darat dikawal voorijder. Saran ini juga ditolak Linda dengan alasan pembelinya hanya mau beli di Jakarta dengan bayaran tunai.
“Gak gelem nang Padang wonge Pak Teddy, geleme soko tanganku nang Jakarta langsung cash,” kata Linda ke Teddy pada sebuah chat pada 26 Juli.
Mendapat tekanan dari Teddy, Dody akhirnya menuruti keinginan Linda untuk membawa sabu ke Jakarta. Dody bersama Arif membawa sabu 5 kg itu dari Padang ke Jakarta via jalur darat pada 22 September.
Sebelum memutuskan menggunakan jalur darat, Dody sempat ditawari Teddy untuk membawa sabu dengan pesawat. Tawaran itu muncul saat mereka bertemu dua hari sebelum keberangkatan Dody ke Jakarta.
Waktu itu, Teddy meyakinkan Dody bahwa kopernya tak pernah diperiksa di bandara. Namun Dody menolak usul tersebut. Ia tetap memilih jalan darat.
Dalam perjalanan, Dody meminta Arif untuk mengaku sebagai dirinya ketika menyerahkan sabu kepada Linda.
“Dody tidak mau memakai tangannya [sendiri] karena takut. Jadi dia pakai tangan orang kepercayaannya, Arif,” ujar Adriel.
Setelah menempuh dua hari perjalanan darat Padang-Jakarta, Dody dan Arif sampai di Jakarta pada Sabtu pagi, 24 September. Namun, sesampainya di rest area Karang Tengah, Tangerang, Dody turun dari mobil.
Dody meminta Arif melanjutkan perjalanan. Ia kembali mengingatkan Arif untuk mengaku sebagai dirinya saat bertemu Linda. Arif mengiyakan dan langsung menuju kediaman Linda di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, sekitar pukul 07.00 WIB.
Linda yang mendapatkan sabu 5 kg tersebut lantas menghubungi Kasranto, Kapolsek Kalibaru, Jakarta Barat. Kasranto ternyata hanya bisa membeli 1 kg sabu seharga Rp 400 juta. Ia mengantongi duit Rp 500 juta dari calon pembeli.
Dari Rp 500 juta tersebut, Kasranto mengambil untung Rp 100 juta. Sementara Linda dan Arif—yang disangka Dody oleh Linda—masing-masing Rp 50 juta. Maka, duit hasil penjualan sabu yang akan diserahkan ke Teddy berjumlah Rp 300 juta.
Uang Rp 300 juta itu diserahkan Dody ke Teddy di kediaman pribadinya di kawasan Jagakarsa, Jaksel, pada 28 September. Namun sebelum diberikan ke Teddy, Dody terlebih dahulu menukar uang tersebut dengan Dolar Singapura.
Ketika menerima Rp 300 juta, Teddy disebut sempat kecewa lantaran potongan bagi perantara seharusnya maksimal 10% atau Rp 40 juta. Ia pun kesal karena Linda tak bekerja sesuai komitmen awal untuk mencari pembeli sabu 5 kg sekaligus.
Alhasil, Teddy memerintahkan agar sisa sabu yang 4 kg ditarik dari Linda dan dibawa ke rumah Dody. Namun, pada 3 Oktober, Linda kembali meminta Dody mengirim 1 kg sabu.
Dody pun memerintahkan Arif untuk membawa 2 kg sabu sekaligus ke Linda. Namun, kali ini uang tak langsung diterima karena sabu dijual secara eceran. Walau begitu, sampai titik ini semua masih terhitung lancar. Rencana Teddy untuk menjual sabu barbuk perlahan terealisasi meski berjalan lambat.
Dugaan peran sentral Teddy dalam penjualan 5 kg sabu tersebut ditanyakan kumparan kepada pengacaranya, Hotman Paris Hutapea. Namun, ketika kumparan mendatangi kantornya di Kelapa Gading dan menghubungi WhatsApp-nya, Hotman enggan menanggapi.
Senjata Makan Tuan
Seminggu usai penyerahan sabu tahap kedua ke Linda, Teddy mendapat penugasan sebagai Kapolda Jatim. Berdasarkan surat telegram nomor ST/2134.X.KEP/2022 tertanggal 10 Oktober, ia menggantikan Nico Afinta yang dicopot imbas Tragedi Kanjuruhan.
Pada hari yang sama dengan terbitnya surat telegram itu, Polres Jakarta Pusat menangkap sejumlah pemakai dan pengedar narkoba yang berujung pada penangkapan Teddy Minahasa.
Satuan Reserse Narkoba Polres Jakpus mulanya menangkap pengedar bernama Hendra dan Siska di sebuah indekos di kawasan Tambora, Jakbar, pada 10 Oktober pukul 20.00 WIB. Dari penggerebekan itu, ditemukan 44 gram sabu.
Hendra mengaku mendapatkan sabu dari seseorang bernama Ariel alias Abenk yang ditangkap di indekos kawasan Ganesa, Tambora. Kepada polisi, Abenk menyebut barang itu milik Achmad Darmawan yang tinggal di kamar depan kos Abenk. Polisi pun menangkap Achmad yang ketika itu sedang bersama teman wanitanya.
Sesampainya di Polres Jakpus, baru diketahui bahwa Achmad merupakan anggota Polsek Kalibaru berpangkat Ipda. Achmad menyebut nama Kapolsek Kalibaru, Kompol Kasranto, sebagai pemilik sabu yang diedarkannya. Keterlibatan anggota Polri aktif dalam peredaran narkoba membuat Kapolres Jakpus, Kombes Pol Komarudin, melapor kepada Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran. Komarudin melapor ke Fadil Imran untuk mengantisipasi jika ada perlawanan dari anggota Polri yang terlibat.
“Beliau [Irjen Fadil] dengan tegas suruh melanjutkan proses sesuai dengan ketentuan hukum, tidak ada tebang pilih. Beliau memerintahkan agar pelaksanaan di-backup direktorat [narkoba] Polda Metro Jaya, Propam Polda Metro, mengingat ada keterlibatan kedua anggota,” ujar Komarudin kepada kumparan, Jumat (11/11).
Sejak saat itu, penanganan kasus jual beli sabu dari Kasranto diambil alih Ditresnarkoba Polda Metro Jaya. Benar saja, Kasranto dibantu anggota Satresnarkoba Polres Jakbar Aiptu Janto Situmorang dalam mengedarkan sabu.
Dari Kasranto pula terungkap bahwa sabu yang diedarkan merupakan milik Teddy Minahasa yang dibeli dari Linda. Begitu pula pengakuan Linda, Dody, dan Arif. Pada 12 Oktober, Linda ditangkap di rumahnya dengan barang bukti sekitar 1 kg sabu. Sedangkan Dody diamankan di rumahnya di Cimanggis, Depok, dengan barang bukti 2 kg sabu pada hari yang sama.
“Penanganan kasus yang dilakukan Polres Jakpus sangat, sangat, dan sangat natural,” kata Komarudin yang pernah bertugas sebagai Kapolres Serang Kota ketika Teddy Minahasa menjabat Kapolda Banten.
Meski demikian, dalam sebuah pesan yang beredar, Teddy membantah sebagai pemakai ataupun pengedar.
“Saya bersumpah di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa saya tidak pernah sekalipun mengkonsumsi narkoba, apalagi menjadi pengedar narkoba secara ilegal,” ujar Teddy.
Teddy mengeklaim tujuan utamanya adalah menangkap Linda. Sebab ia menyebut Linda pernah berbohong mengenai informasi penyelundupan narkoba seberat 2 ton via Selat Malaka. Teddy mengaku rugi Rp 20 miliar karena informasi palsu tersebut, lantaran biaya operasi berasal dari kantong pribadinya.
Namun, menurut Teddy, operasinya menangkap Linda dengan metode undercover buying tidak dijalankan secara prosedural oleh Dody. Meski demikian, menurut sumber kumparan yang mengetahui kasus ini, setiap anggota Polri yang ditangkap karena kasus narkoba, selalu berkilah transaksinya untuk undercover buying.
Komisioner Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, mengatakan undercover buying (pembelian terselubung) merupakan bagian dari teknik penyidikan untuk mengungkap peredaran kasus narkoba. Teknik ini termuat di Pasal 75 huruf j UU Narkotika. Namun penggunaan teknik ini merupakan ranah penyidikan dan sudah mendapat perintah tertulis dari pimpinan.
“Artinya sudah ada surat perintah,” ucap Wahyu pada kumparan, Kamis (10/11).
Dalam pesan yang beredar itu pula, Teddy beranggapan namanya terseret karena Dody tidak terima dimutasi ke Biro Logistik Polda Sumbar. Namun klaim tersebut ditampik pengacara Dody.
“Dari kronologi secara nyata terlihat TM sebagai inisiator, penggagas, dan otaknya,” kata Adriel sembari menegaskan Dody tidak menerima sepeser pun hasil penjualan sabu.
Tekanan atau Pengalaman?
Pengacara Dody, Adriel Purba, menyatakan kliennya terjerat kasus sabu lantaran menjalankan perintah Teddy Minahasa. Menurutnya, Dody terus ditekan Teddy untuk menyisihkan dan menjual sabu.
“TM yang mengenalkan Linda kepada Dody. TM yang menyuruh Dody untuk menyisihkan [sabu]. TM juga yang mengarahkan [Dody] untuk ke Jakarta, dan TM yang menentukan harga [sabu] bersama dengan Linda,” ujar Adriel.
Adriel menegaskan Dody siap membuka keterlibatan Teddy dalam kasus jual beli sabu tersebut. Namun sejauh ini, Dody masih merasa ada tekanan dari pihak Teddy kepada keluarganya untuk mencabut surat kuasa hukum dan melimpahkan semua kesalahan ke Arif. Mengutip ucapan Menko Polhukam Mahfud MD, Adriel menilai ada faktor psiko-hierarki dan psiko-politis dalam kasus Teddy Minahasa.
Untuk itu, Adriel meminta Teddy diproses secara etik, begitu pula Dody, agar penanganan kasus berjalan objektif. Di samping itu, Adriel berharap permohonan justice collaborator yang diajukan Dody, Arif, dan Linda bisa dikabulkan LPSK.
“Kalau negara mau membuka keterlibatan TM, mau bersih-bersih sesuai keinginan pimpinan Polri, saya rasa sangat penting untuk menetapkan klien saya sebagai JC,” ucap Adriel.
Adapun Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi, menyatakan kepastian status JC akan diumumkan setelah LPSK menemui penyidik kasus Teddy Minahasa pada pekan depan.
Meski pengacara menilai Dody bertindak atas perintah Teddy, namun sumber kumparan yang mengetahui kasus ini menyatakan Dody tidak asing bermain barang bukti narkoba, sebab ia pernah bertugas sebagai Wakapolsek Tamansari pada 2014. Tamansari dikenal sebagai kawasan rawan peredaran narkoba.
Sumber itu menyebut Dody juga sudah lama mengenal para tersangka lain, yakni Kompol Kasranto, Aiptu Janto, dan Linda. Kasranto dan Janto disebut sebagai anak buah Dody ketika berdinas di Tamansari.
Dari penelusuran kumparan, Kasranto memang pernah menjadi Kasubnit IV Unit Intelkam Polsek Tamansari pada 2015, sedangkan Aiptu Janto tak diketahui rekam jejaknya. Adapun sosok Linda di kawasan Tamansari disebut sangat dikenal sehingga tak mungkin polisi yang bertugas di Tamansari tak mengenal Linda.
Namun, hal tersebut dibantah pengacara Dody, Adriel. Saat mendampingi pemeriksaan kliennya, kata Adriel, Linda sama sekali tak mengenal Dody.
“[Lalu] apakah Dody dan Kasranto pernah bertugas di kesatuan atau wilayah yang sama, itu sangat mungkin. Dalam kasus ini, Dody dan Kasranto tidak pernah berkomunikasi, yang bersangkutan [Dody] tidak ingat pernah bertugas bareng dengan Kasranto,” jelas Adriel.
Masih menurut sumber yang sama, dari segi penanganan perkara, kasus yang menjerat Teddy Minahasa merupakan case building yang alami. Meski demikian, ada pula bumbu perang bintang di internal Polri dalam kasus tersebut.
Kelompok yang gerah dengan intensi Teddy menjadi Kapolri disebut menjadikan kasus ini sebagai cara untuk menjatuhkannya. Dugaan ini pernah muncul dalam lipsus kumparan bertajuk Perang Bintang. Teddy juga disebut terlalu percaya diri bahwa ia tidak akan disentuh.
“TM terlalu over confidence, terlalu yakin tidak akan terseret,” kata sumber itu.
Komisioner Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, juga mengkhawatirkan berkembangnya isu perang bintang dampak dari kasus Teddy Minahasa. Walau demikian, Wahyu menilai penanganan kasus Teddy sudah berjalan sesuai koridor dan menjadi momentum bagi Kapolri Listyo Sigit untuk bersih-bersih internal.
“Untuk kepentingan organisasi menjadi tidak bagus ketika berkembang isu perang bintang. Kalau perang antar level pimpinan dalam rangka memperebutkan posisi puncak, itu saya kira wajar dan terjadi di semua organisasi. Tetapi menjadi negatif karena dikesankan bahwa perang ini kemudian menjurus kepada cara-cara yang tidak fair atau tidak transparan, dengan saling menjatuhkan persaingan. Ini harus diluruskan, ditindaklanjuti internal Polri,” tutup Wahyu.