Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tekan Kematian, Pasien COVID Gejala Ringan tapi Berisiko Berat Sebaiknya Dirawat
17 Februari 2022 10:19 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Kasus kematian akibat COVID-19 di Indonesia mulai menunjukkan peningkatan, meski jumlah hariannya masih di bawah saat gelombang varian Delta .
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan 2021 lalu saat marak varian Delta, kematian harian sempat di kisaran 1.000-2.000. Dan kini, di tengah gelombang varian Omicron, meski jumlahnya masih jauh yakni di kisaran 100-an, namun jumlahnya perlahan terus meningkat.
Namun, jika ditotal keseluruhan, hingga 16 Februari 2022 sudah terjadi 1.536 pasien corona meninggal dunia selama periode Omicron mendominasi.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, mengakui jumlah pasien yang meninggal selama gelombang Omicron masih jauh lebih rendah ketimbang saat Delta.
"Jumlah yang wafat sehari ketika kasus akibat Delta pernah sampai mencapai 2.000 orang, dan angka kematian 16 Februari yang 167 orang adalah jauh lebih rendah dari angka 2.000. Angka fatalitas (case fatality rate-CFR) disaat Omicron ini pasti jauh lebih kecil daripada saat Delta," ujar Tjandra dalam keterangannya, Kamis (17/2).
ADVERTISEMENT
Namun, Tjandra menegaskan jumlah pasien corona yang meninggal ini tidak dapat digambarkan hanya dengan sekadar angka perbandingan. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menilai, perlu dilihat juga bagaimana dampak pada keluarga yang ditinggalkan, nyawa yang hilang tidak bisa tergantikan, dan aspek lainnya.
Analisa dan Usulan Kematian Pasien COVID
Lebih lanjut, ia mengacu pada data Kemenkes yang menyebutkan 1.090 pasien corona meninggal hingga 13 Februari 2022. Dari jumlah tersebut, 68% di antaranya belum divaksinasi lengkap, sehingga baru sekitar 32% yang meninggal sudah divaksinasi lengkap.
Kemudian data juga menunjukkan 49% yang wafat masuk golongan lanjut usia, dan 48% memiliki komorbid. Juga ada gabungan antara yang lansia, dengan komorbid, dan belum divaksinasi lengkap pula.
ADVERTISEMENT
Berikut adalah usulan Prof Tjandra agar analisa kematian pasien COVID-19 ini bisa lebih mendalam, yakni:
1. Penentuan ”cause of death (COD)”, apakah karena COVID dengan badai sitokin misalnya, atau barangkali justru karena perburukan komorbid yang ada, atau gabungan keduanya, dll.
2. Dianalisa bagaimana perjalanan klinik dari mulai tertular, manifestasi gejala awal dan proses perburukannya sampai pasien wafat.
3. Data berapa perbandingan antara Omicron dan varian lain pada mereka yang meninggal dunia.
4. Dianalisa apakah wafat di rumah sakit atau di rumah atau mungkin di tempat lain.
5. Dihitung waktu yang dibutuhkan proses penanganan, yang biasa kita kenal dalam bentuk “patient’s delay” atau “doctor’s delay” atau “health system delay” atau mungkin “hospital delay” dll.
"Akan baik sekali kalau hasil analisa ini dipublikasi di jurnal ilmiah, sehingga dapat menjadi pembelajaran untuk penanganan di waktu mendatang," ungkap Direktur Pascasarjana Universitas YARSI itu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, ia juga mengusulkan agar pasien yang bergejala ringan, namun berpotensi terjadi perburukan, agar bisa dirawat di rumah sakit demi mencegah kematian. Hal ini mengingat kapasitas rumah sakit (bed occupancy rate/BOR) juga masih rendah di angka 30 persen.
"Jadi, usul konkret saya lainnya untuk mengantisipasi peningkatan kasus yang meninggal adalah dengan kemungkinan merawat di RS pasien yang masih gejala ringan tetapi punya risiko untuk menjadi berat dan bukan tidak mungkin meninggal dunia. Nanti kalau BOR sudah meningkat maka kebijakan dapat disesuaikan lagi," tutup dia.