Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Tembok Tepi Barat: Penegas Konflik Abadi Palestina-Israel
2 Februari 2017 13:31 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Menengok wilayah Palestina yang bersinggungan dengan Israel di Tepi Barat, membentang tembok sepanjang 700 kilometer. Tembok itu tak memungkinkan anda masuk ke wilayah Israel, ataupun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pembatas tersebut adalah penegas dari sesuatu yang menjadi faktor mendasar dari konflik jangka panjang kedua negara: kedaulatan.
Karena kedaulatanlah, penindasan dan pemisahan terjadi antara Palestina dan Israel.
Ini bak konflik abadi. Palestina dan Israel bertengkar tanpa akhir.
Palestina mengorganisir perlawanan lewat pasukan kecil yang pecah dua kali, Intifada, guna menghadapi tentara Zionis. Intifada berlangsung puluhan tahun di wilayah Tepi Barat.
Serangan Intifada pertama berlangsung 1987 hingga 1993. Pada perang Intifada kedua tahun 2000, Israel benar-benar merasa membutuhkan suatu hal yang bisa menjamin keamanan mereka.
Maka, tembok perbatasan dibangun laksana benteng yang dapat menghalau serangan.
Tembok tersebut dibangun berdasarkan batas yang telah disepakati sesuai Perjanjian 1967. Di situ juga terdapat zona steril dan batas dalam yang mencaplok beberapa wilayah Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
Hingga muncul anggapan bahwa pembatas tersebut lebih bersifat politis dibanding karena alasan keamanan. Apalagi, tembok dibangun dengan struktur bangunan permanen, seakan menjadi simbol penegas.
Pembangunan Tembok Tepi Barat diprotes oleh komunitas internasional. Berawal dari putusan International Court of Justice tertanggal 9 Juli 2004, pembangunan tembok dinyatakan ilegal di bawah hukum internasional.
Selanjutnya, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Juli 2004 memutuskan bahwa Israel harus memutuhi putusan peradilan internasional tersebut. Sebanyak 150 delegasi menyetujui keputusan PBB.
Namun Israel bergeming. Sudah lebih dari 700 kilometer tembok dibangun dalam pembagian batas dengan Palestina.
Ketika akhirnya tembok berdiri, tak hanya tanah Tepi Barat yang terluka. Penduduk di kedua sisi tembok melihat dinding putih itu dengan sudut pandang berbeda.
ADVERTISEMENT
Christine Leuenberger, sosiolog Universitas Cornell dari Amerika Serikat menyaksikan sendiri pemandangan kontradiktif tersebut . Dua wajah berbeda memantul di muka dua sisi berlawanan tembok Tepi Barat.
Rakyat Palestina di Tepi Barat menyematkan konotasi kepada tembok tersebut.
“Tembok apartheid, karena menyimbolkan rasisme. Tembok kolonial, karena mereka melihat tembok ini salah satu mekanisme untuk menduduki tanah Palestina. Atau istilah lainnya tembok aneksasi,” cerita Leuenberger di Cornell Chronicle.
Rakyat Israel di sisi sebaliknya memandang dengan kacamata kebencian serupa.
“Mereka menganggap tembok tersebut adalah pagar keamanan guna menghalau serangan teroris yang muncul dari sisi sebelahnya," ujar Leuenberger.
Dalam kebencian, tembok pemisah ini memperburuk kehidupan warga Palestina maupun Israel. Penelitian Leuenberger menyebutkan betapa rakyat Palestina terpotong penghidupannya karena kehadiran tembok tersebut. Sedangkan aspek moral masyarakat Israel tergerus karena pandangan objektif mereka tentang warga Palestina terhalangi oleh tebalnya tembok.
ADVERTISEMENT
Yang paling terasa adalah ketika tembok benar-benar menutup kemungkinan mereka untuk berdamai.
“Ikatan sosial antar keluarga benar-benar tertutup oleh tembok. Orang-orang teralienasi ketika fragmentasi sosial makin banyak,” ujar Leuenberger.
Kesimpulannya, tembok menjulang membuat hidup kedua bangsa jadi makin menyedihkan, tanpa harapan, dan dijangkiti ketidakpercayaan. Tidak ada keindahan yang dihasilkan oleh tembok.
Hanya satu keindahan yang dimiliki oleh tembok pemisah tersebut: karya seni mural yang tergores di beberapa titik. Walaupun, karya tersebut diukir dengan wajah muram.
Kebencian yang indah ini pernah diangkat ke dalam buku karya William Parry berjudul Against The Wall. Diceritakan betapa rakyat Palestina benar-benar membenci tembok tersebut, sebagaimana terlihat dari coretan grafiti di tembok.
Selamanya, muram membayang di langit Tepi Barat.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai sumber
Selengkapnya soal prahara tembok
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 6 November 2024, 7:43 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini