Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mustopa berangkat dari rumahnya di Desa Sukajaya, Kecamatan Way Khilau, Kabupaten Pesawaran, Senin (1/5) sekitar pukul 19.00 WIB. Kepada istrinya, ia berkata hendak pergi ke Jakarta.
Mustopa tak bilang apa keperluan dan ke mana tujuan pergi ke Ibu Kota. Namun ia meminta doa keselamatan kepada sang istri.
Sesampainya di kantor MUI, Mustopa yang memakai baju kotak-kotak merah, jaket hitam, dan menggendong tas ransel hitam itu memasuki halaman kantor MUI. Kepada petugas keamanan, Mustopa menyatakan hendak menemui Ketua MUI.
Petugas keamanan mengarahkan Mustopa agar menuju lobi dan berkoordinasi dengan resepsionis. Saat bertemu resepsionis, Mustopa menuntut balasan surat-surat yang dahulu pernah ia kirim ke organisasi ini.
MUI mengkonfirmasi Mustopa beberapa kali mengirim surat ke lembaganya. Misalnya, surat tertanggal 2 Januari 2022 yang menyatakan bahwa ia adalah wakil nabi; ingin bertemu Ketua MUI; seraya mengajak mempersatukan umat.
Mustopa juga mengaku mengirim surat ke Polda Metro Jaya yang ditembuskan ke MUI pada 25 Juli 2022. Isinya, sumpah ultimatum akan menembak penguasa, terutama orang-orang MUI, apabila Kapolda Metro Jaya tak mempertemukannya dengan Ketua MUI.
Surat lanjutan juga dikirim Mustopa ke Polda Metro Jaya pada 5 September. Dalam surat itu, Mustopa masih melayangkan tuntutan serupa: ingin dipertemukan dengan Ketua MUI. Apabila ia sampai dapat senjata api, ia akan melaksanakan sumpah ultimatum pada surat 25 Juli: datang ke kantor MUI dan menembaki orang-orang di sana.
Namun dalam surat-suratnya, Mustopa tak menyebut siapa Ketua MUI yang dimaksud. Sebab dalam kepengurusan di MUI, terdapat 1 ketua umum, 3 wakil ketua umum, dan 14 ketua. Belum termasuk ketua komisi di MUI yang berjumlah 11 orang.
“Di mana surat saya, kok enggak dijawab-jawab? Saya mau ketemu [Ketua MUI] sekarang!” kata Mustopa kepada resepsionis seperti ditirukan Wasekjen MUI bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah.
Resepsionis yang bertugas kemudian memanggil staf bagian persuratan untuk mengkonfirmasi tuntutan Mustopa. Pihak persuratan turun dari gedung empat lantai itu menggunakan lift. Ia meminta Mustopa menunggu, sebab di lantai 4 tengah berlangsung rapat pimpinan MUI.
Rapat yang digelar perdana usai Idulfitri 2023 itu merupakan agenda rutin tiap Selasa. Menurut Ikhsan, kala itu rapat dihadiri 3 Waketum MUI: Anwar Abbas, Marsudi Syuhud, dan Basri Bermanda, serta 24 ketua bidang, sekjen-wakil sekjen, serta bendahara MUI.
Salah satu yang dibahas di rapat itu: kontroversi tata cara salat yang berjarak hingga bolehnya perempuan jadi khatib yang ada di Pondok Pesantren Al Zaytun, Indramayu.
Tepat pukul 11.24 WIB saat diminta menunggu, Mustopa justru mengambil pistol airgun berjenis Glock 17 dari dalam tasnya dan menembakkannya.
Tembakan pertama menembus baju bagian belakang satpam–tanpa menembus badannya–yang baru turun dari lift. Tembakan kedua melubangi bahu belakang bagian atas resepsionis. Tembakan ketiga memecahkan pintu kaca tempered setebal 12 milimeter yang mengarah ke parkiran.
Pecahan kaca akibat tembakan ketiga itu merobek tangan seorang staf MUI yang berdiri di dekatnya, sehingga memerlukan 12 jahitan.
“Jadi 3 orang korban [luka]: 2 orang dilarikan ke rumah sakit [RSCM], satu orang ditangani di Puskesmas [Kecamatan Menteng],” kata Ikhsan.
Usai menembak, Mustopa keluar dari lobi. Ia sempat berkejaran dengan petugas keamanan dan staf MUI di pelataran kantor. Mustopa akhirnya dibekuk dengan cara dipiting kakinya.
Setelah diamankan, di dalam tas pelaku ditemukan surat-surat Mustopa ke MUI dan Polda Metro Jaya, KTP, buku tabungan BRI, termasuk sejumlah obat seperti Neo Napacin (obat asma), Dexteem Plus (obat radang), Dexaharsen (obat asma).
Penjual bensin eceran di seberang kantor MUI, Jana, turut ke pelataran kantor MUI setelah melihat pelaku berkejaran dengan staf MUI. Sebelum itu, polisi yang berpatroli di pertigaan depan kantor MUI sudah lebih dulu mendekat usai melihat keributan di kantor ulama itu.
Jana melihat Mustopa sudah dalam keadaan dibekuk dan ditengkurapkan. Mustopa tampak lemas.
“Mungkin tadinya berontak terus. Dia masih melek,” kata Jana.
Sebelum kejadian siang itu, menurut Jana, Mustopa memang sempat beberapa kali ke MUI, bahkan sempat ngopi di seberang gedung MUI.
Dalam video yang beredar, sesaat setelah dibekuk, Mustopa tampak pingsan. Kemudian petugas kepolisian membopong dan mengamankannya.
Direskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi, menyebut Mustopa kemudian dibawa ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polsek Menteng. Petugas sempat mengecek kesehatan pelaku dengan melonggarkan pakaiannya dan memberikan minyak angin.
“Di sana dilihat ternyata tidak ada respons [Mustopa tak sadarkan diri]. Langsung dibawa ke puskesmas,” kata Hengki saat konferensi pers di Polda Metro, Jumat (5/5).
Puskesmas Menteng membenarkan polisi datang membawa Mustopa sekitar 11.50 WIB. Namun, Mustopa dinyatakan sudah meninggal setiba di sana.
Deret Kejanggalan Aksi Mustopa
Pengamat Terorisme dan Intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, menyatakan aksi penembakan oleh Mustopa apabila diartikan secara harfiah merupakan tindakan teror .
Namun apabila merujuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, aksi Mustopa bukan termasuk terorisme. Ridlwan menyatakan berdasarkan UU, suatu tindakan dinyatakan terorisme apabila menimbulkan ketakutan yang meluas dan mempunyai motivasi politik
“Sementara pelaku kalau dilihat dari barang bukti surat motivasinya individual. Dia sebagai dirinya sendiri mengaku sebagai wakil nabi dan meminta diakui oleh MUI. Dia bukan perwakilan suatu jemaah, organisasi, atau kelompok,” jelas Ridlwan pada kumparan, Kamis (4/5).
Kombes Hengki menyatakan berdasarkan penyelidikan yang berkoordinasi dengan Densus 88, Mustopa tak masuk dalam jaringan teror kelompok mana pun dan bukan teroris seorang diri (lonewolf).
“Kemudian tidak terkooptasi dengan ideologi agama yang ekstrem dan tidak ada aktor di belakangnya,” terang Kombes Hengki.
Walau demikian, Wasekjen MUI Ikhsan Abdullah menekankan penembakan oleh Mustopa telah menimbulkan ketakutan sehingga tidak boleh dianggap peristiwa biasa. Apalagi menurutnya ini terjadi di kantor yang menjadi pusat kegiatan ormas Islam di Indonesia.
Ia pun menyoal sederet kejanggalan aksi Mustopa. Pertama, pelaku yang tiba-tiba meninggal. Padahal, saat diamankan satuan pengamanan MUI, Mustopa disebut masih bergerak meronta-ronta.
“Kenapa dia meninggal? Apakah betul yang meninggal Mustopa yang menyerang ke sini? Ini satu tanda tanya besar yang menyerang kami. Kami harus yakin hukum harus ditegakkan,” kata Ikhsan.
Kedua, muncul narasi Mustopa selama ini mengidap gangguan jiwa. Hal itu diungkap oleh seorang anggota keluarganya yang menyebut pelaku memiliki gangguan jiwa ketika tinggal di Krui, Kabupaten Pesisir Barat.
Menurut sumber kumparan, Mustopa pernah tinggal di Desa Tenumbang, Krui, Pesisir Barat, Lampung, pada 1980-1982. Di sana ia sempat sakit panas dan mengaku pernah bermimpi ditunjuk sebagai wakil nabi. Setelah kembali ke Desa Sukajaya, Pesawaran, Mustopa meminta masyarakat mengakuinya. Namun, masyarakat setempat tak terlalu menanggapi.
Ketiga, Ikhsan juga menganggap janggal catatan transaksi keuangan di rekening Mustopa sejak 2021 sekitar Rp 800 juta sebagaimana disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal itu dianggap kurang sesuai dengan profesinya sebagai petani.
Keempat, Mustopa memiliki airgun dan merupakan anggota klub menembak. Ia juga ditengarai memiliki lisensi menembak sehingga tak sembarang orang, apalagi orang dengan gangguan jiwa, bisa memilikinya.
Ridlwan Habib pun menambahkan deret kejanggalan lain. Misalnya, Mustopa merupakan residivis kasus perusakan DPRD Lampung tahun 2016. Ridlwan menilai mestinya nama Mustopa sudah ada dalam catatan kepolisian.
Ridlwan menganggap sistem pemenjaraan bermasalah jika pelaku kejahatan justru kembali melakukan tindak kriminal sebagaimana yang dilakukan Mustopa.
Kejanggalan berikutnya ialah penggunaan baju kotak-kotak Mustopa yang sama persis dengan salah satu kandidat di Pilkada DKI 2017. Apalagi pada 2017, kandidat itu diposisikan bertentangan dengan kelompok Islam.
“Muncul di medsos ‘Ini pelakunya dari kelompok ini, kubu ini, menarget umat Islam, Islamophobia, menarget ulama dan sebagainya’. Spekulasi ini liar karena kita mau Pilpres, sangat berisiko terjadi gesekan,” kata Ridlwan kepada kumparan.
Selain itu, Ridlwan juga menyoal mengapa tidak ada tindakan ke Mustopa yang sudah mengaku wakil nabi sejak beberapa tahun belakangan hingga membuat surat ancaman.
“Kenapa tidak ada tindakan dari setidaknya ulama setempat?” tanyanya skeptis.
Berdasarkan kajian strategik-intelijen, Ridlwan mencurigai orang yang disebut gangguan jiwa seperti Mustopa bisa merencanakan tindak kriminal dengan detail. Ia bisa menentukan kapan berangkat, mempersiapkan airgun, serta mengetahui tiap hari Selasa ada rapat pimpinan di MUI.
Ikhsan menyebut, rapat pimpinan di MUI pada Selasa (2/5) lalu memang berlangsung pukul 10.00-12.20 WIB.
“Artinya kalau bicara faktor kebetulan, pelaku kok bisa kebetulan [beraksi] pada saat kumpul para pimpinan MUI? Kalau orang dengan kejiwaan normal mungkin mencari data di Google, tapi kan dugaannya gangguan psikologis,” kata dia.
Analisis Psikologi Forensik
Ahli Psikologi Forensik, Reni Kusumowardhani, menilai dari surat-surat yang dikirim, Mustopa diduga mengalami gangguan jiwa berupa adanya waham alias delusi. Sebab, ia mengaku sebagai wakil nabi dan meyakininya meski bertentangan dengan keyakinan umum.
Gangguan waham ini, kata Reni, berbeda dengan gangguan skizofrenia yang bisa menyebabkan seseorang berhalusinasi dan gangguan kontak realita. Pada gangguan delusional, kemampuan berpikirnya bisa saja seperti orang normal.
“Jadi dia masih bisa memanfaatkan kondisi kecerdasannya untuk [bertindak] membuat sesuatu. Tapi kontennya dipengaruhi oleh pikiran delusional atau wahamnya,” terang Reni kepada kumparan.
Analisis Reni ini dikuatkan oleh temuan Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) yang turut melakukan criminal profiling terhadap Mustopa. Hal itu didasarkan pada wawancara keluarga, tetangganya, dan analisis konten surat-surat yang dibuat Mustopa.
Hasil analisa sementara Apsifor, ada indikasi Mustopa memiliki keyakinan menetap dan sulit dipatahkan sebagai orang yang memiliki keistimewaan (wakil nabi) untuk menyatukan umat. Indikasi itu juga terus dipikir dan dihidupi oleh pelaku sebagai bentuk pemikiran obsesif.
“Yang bersangkutan merupakan individu yang memahami maksud dan tujuan dari tindakannya, dampak dan konsekuensi dari tindakan agresif yang dilakukannya secara sadar,” ujar Psikolog Forensik Apsifor, Nathanael E.J Sumampouw.
Keyakinan yang merupakan obsesi Mustopa membuat ia terus mengupayakan bertemu pihak MUI demi mendapat pengakuan sebagai wakil nabi. Upaya itu terus menemui kegagalan, sehingga menurut Nathanael, itu menyebabkan ia bertindak agresif melakukan penembakan.
“Sebagai wujud kebutuhan eksistensi diri, dalam rangka untuk diakui, didengar, dan diikuti keinginannya,” jelasnya.
Selain itu, temuan sementara Apsifor juga mengungkap bahwa Mustopa tidak berafiliasi dengan kelompok atau jemaah tertentu. Sehingga dalam beragama ia cenderung eksklusif dan tidak mengalami kritik atau verifikasi dengan pihak lain.
Kombes Hengki menyebut Mustopa sudah menulis surat soal keyakinan yang ia miliki sejak 2003 yang ditujukan ke berbagai jenjang pemerintahan mulai dari kecamatan, provinsi, hingga presiden. Obsesi keyakinan Mustopa pernah membuatnya divonis 3 bulan penjara akibat perusakan DPRD Lampung pada 2016.
“Yang bersangkutan pernah divonis artinya bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak masuk dalam kategori peniadaan pidana, artinya tidak termasuk kategori hilang akal,” terang Hengki.
Teka-teki Kematian, Senjata, dan Rekening Rp 800 juta
Motif aksi koboi Mustopa sempat terkubur ketika ia tewas usai beraksi. Wasekjen MUI, Ikhsan Abdullah, menyayangkan hal tersebut sehingga pelaku tak bisa dimintai keterangan soal latar belakang tindakannya.
Proses tewasnya Mustopa pun sempat menjadi teka-teki, apa sebabnya?
Hasil autopsi jenazah pelaku oleh tim Kedokteran Forensik RS Polri Sukanto menemukan adanya luka terbuka dangkal di bibir serta lecet dan memar di pipi akibat benda tumpul. Namun, hal itu tidak berpotensi menyebabkan kematian.
Sementara itu, tim doktor RS Polri justru menemukan adanya penyakit infeksi pada paru dan gambaran serangan jantung pada tubuh pelaku.
“Jadi kami tim dokter forensik menyimpulkan bahwa, korban (pelaku) mati karena serangan jantung yang diperberat dengan penyakit infeksi paru,” kata tim dokter RS Polri, Arfiani Ika Kusumawati.
Soal asal-usul senjata, Mustopa mendapatkannya setelah mengontak kenalannya berinisial D pada 1 Februari 2023. D menanyakan ke N, N lalu mengontak H yang merupakan penjual airgun sejak 2012 di Bandar Lampung.
Mustopa menebus airgun itu seharga Rp 5,5 juta. Ia lalu membawa senjata itu untuk menembak di kantor MUI. Di tasnya, ditemukan pula dua tabung gas CO2 dan peluru gotri.
Kombes Hengki menyatakan, airgun tidak memiliki payung hukum dan melanggar UU Darurat. Sehingga polisi memproses hukum H, D, dan N dalam kasus jual beli airgun.
“Ada yang profesinya polisi kehutanan, guru honorer, dan swasta. [Mereka] dalam proses pemeriksaan dan dalam waktu dekat akan kami tingkatkan sebagai tersangka,” ucap Hengki.
Adapun hasil pemeriksaan mengenai mutasi rekening berjumlah Rp 800 juta, menurut keluarga Mustopa, uang tersebut didapat dari anak-anaknya yang bekerja di luar negeri melalui transfer ke orang tuanya.
“Atau kalau jumlah besar dikumpulkan ke salah satu anaknya, kemudian ditransfer untuk pembelian sawah dan sebagainya,” tutur Hengki.
Menurut sumber kumparan, Mustopa memiliki empat anak. Dua di antaranya bekerja di Korea Selatan dan Hong Kong. Masing-masing bekerja sebagai TKI selama 7 tahun dan 3 tahun.
Lantas bagaimana awal mula Mustopa memiliki obsesi sebagai Wakil Nabi? Dan seperti apa profil Mustopa sehingga nekat menembak dan meneror kantor MUI?