Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ada 15 pekerja yang sudah dua bulan tinggal di Paro untuk merampungkan bangunan puskesmas tersebut. Mereka berhubungan baik dengan warga sekitar dan semua berjalan lancar—sampai orang-orang yang menenteng senjata laras panjang itu datang.
“Orang-orang bersenjata itu memerintahkan mereka untuk menghentikan pekerjaan,” kata Kombes Pol. Dr. Faizal Ramadhani, Kepala Satgas Operasi Damai Cartenz, di Timika, Papua Tengah, Kamis (9/2).
Satgas Cartenz adalah satuan operasi penindakan hukum terhadap kelompok kriminal bersenjata (KKB ) di Papua yang terdiri dari gabungan personel TNI dan Polri di bawah komando Kapolda Papua dan Pangdam Cenderawasih. Satgas ini sejatinya mengedepankan tindakan preventif dan persuasif melalui deteksi keamanan dan pembinaan masyarakat.
Sejak Desember 2022, Satgas Cartenz sudah diberi tugas khusus oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menganalisis, mengevaluasi, dan mengantisipasi peningkatan gangguan keamanan di Papua. Eskalasi kekerasan di Papua itu pun membuat masa tugas Satgas yang seharusnya berakhir pada 31 Desember 2022 diperpanjang hingga 30 Juni 2023.
Kini, Satgas Cartenz pula yang bergerak ketika KKB berulah di Paro. Di distrik pelosok itu, KKB menggeledah dan menginterogasi para pekerja bangunan, lantas mengultimatum: tidak boleh ada pembangunan fisik apa pun di wilayah itu, hentikan sekarang juga.
Para pekerja bangunan di Paro langsung menyadari bahwa gerombolan yang menyatroni mereka adalah KKB.
“Sebab di kampung itu, kami tidak pernah melihat ada orang (penduduk) pegang senjata,” sahut Zakarias, pria 33 tahun asal Ambon yang selama ini tinggal di Timika.
Saat itu, ia tak memahami pembicaraan anggota KKB tersebut karena bahasa yang berbeda. Ia juga tak langsung sadar bahwa ia dan rekan-rekannya sedang diancam. Mereka baru tahu dari warga setempat yang mengerti maksud KKB.
“Mereka diancam dibunuh. Kalau sudah keluar ancaman begitu, biasanya akan dilakukan,” kata Kapolres Nduga AKBP Rio Alexander Panelewen kepada kumparan.
Namun, Zakarias dan kawan-kawannya hari itu dilepas KKB usai digeledah. Mereka langsung dibawa warga ke rumah seorang pendeta untuk berlindung, dan dinasihati agar segera angkat kaki dari Paro untuk cari selamat, sebab mereka telah jadi target.
Zakarias dan teman-temannya tak pelak ketakutan. Mereka langsung menghubungi kepala kontraktor pembangunan puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan, dan Bupati.
Keesokan paginya, Minggu 5 Februari, Pejabat Bupati Nduga Namia Gwijangge menelepon Kapolres Nduga AKBP Rio, sementara kepala kontraktor datang ke Paro.
Kepala kontraktor menyerahkan honor Zakarias dan rekan-rekannya, lalu berpesan: keluar dari sini dalam dua hari, atau nyawa kalian dalam bahaya.
Baik warga Paro maupun kontraktor sama-sama tahu: mereka tak bisa menjamin keselamatan para pekerja bangunan itu.
Kontraktor kemudian bertelepon dengan Bupati Nduga, Namia, untuk membahas ancaman tersebut lebih lanjut. Sang Bupati lalu menghubungi pihak-pihak berwenang, termasuk Kapolda Papua Irjen Mathius D. Fakhiri. Mereka harus menyelamatkan para pekerja itu.
Namia kesal karena lagi-lagi pembangunan di daerahnya terhambat gara-gara KKB. Kalau begini terus, masyarakat Nduga jadi tidak bisa mendapatkan pelayanan publik yang layak, termasuk fasilitas kesehatan yang sedang dibangun di Paro. Padahal, sejak 2021 pemda ingin mempercepat pembangunan di Nduga yang selama ini terisolir.
Mathius yang mendengar laporan Namia segera menginstruksikan: tarik para pekerja dari sana, kita bawa keluar Paro; kita tidak mau ada pembantaian.
Menurut Mathius, KKB curiga kepada para pekerja itu karena lima di antara mereka tidak membawa kartu identitas. Mereka disangka mata-mata—anggota TNI atau BIN yang sedang menyamar di Paro.
Mathius menggelar rapat di Timika untuk merancang penyelamatan. Selanjutnya, Kapolres Nduga AKBP Rio berkoordinasi dengan Bupati Kenyam—distrik tetangga Paro—untuk melakukan operasi di lapangan. Titik evakuasi pun ditentukan.
Senin, 6 Februari, Zakarias dan rekan-rekannya berjalan kaki dari Paro menuju Kenyam. Bukan cuma mereka berlima belas, tapi juga bersama lima warga Paro yang berperan sebagai penunjuk jalan.
Selama dua hari, dua puluh orang itu menembus hutan, mendaki gunung, menyusuri lembah, dan menyeberangi sungai besar dengan membuat rakit alakadarnya dari rotan yang tidak dapat menjamin keselamatan mereka.
Benar-benar perjalanan panjang yang menguras fisik, tanpa makanan dan minuman memadai. Mereka hanya membawa bekal sedikit beras dan beberapa mi instan, sehingga untuk mengganjal perut harus menangkap binatang yang ditemukan di tengah hutan untuk dibakar.
Sementara satu-satunya minuman yang masuk ke kerongkongan mereka bila jauh dari sungai adalah air hujan.
Melihat Pesawat Susi Air dari Gunung
Selasa, 7 Februari, Zakarias dan rombongannya tiba di gunung. Mereka melihat pesawat Susi Air melintas. Itulah Susi Air Pilatus Porter P-4/PK-BVY yang diterbangkan Captain Philip Mehrtens, pilot berkebangsaan Selandia Baru. Pesawat itu terbang dari Timika ke Paro membawa lima penumpang dewasa dan satu bayi.
Zakarias dan rombongannya sama sekali tak tahu bahwa pesawat itu kemudian dibakar KKB setelah mendarat Paro, sebab mereka sudah di atas gunung, jauh dari lapangan terbang.
Yang jadi pikiran Zakarias saat itu: ia dan kawan-kawannya harus menyelamatkan diri dari KKB—daripada tertangkap betulan, lebih baik kabur duluan.
Ia tak menyangka mereka kemudian dikait-kaitkan dengan pesawat Susi Air.
Menurut Kapolda Papua Irjen Mathius D. Fakhiri, kemungkinan KKB mengira pesawat Susi Air terbang ke Paro untuk mengangkut para pekerja bangunan, sehingga pesawat lalu dibakar.
Padahal, evakuasi sudah direncanakan berlangsung dengan helikopter, bukan pesawat.
“Susi Air ke Paro bukan untuk evakuasi. Kami sudah siapkan operasi evakuasi dan penjemputan sendiri untuk pekerja ini. Eh, malah terjadi peristiwa Susi Air [dibakar],” ujar Kombes Faizal, Kasatgas Operasi Cartenz, kepada kumparan.
Saat Susi Air dibakar, Zakarias dan rekan-rekannya sedang menuju Gunung Weya—yang paling tinggi di wilayah itu—untuk mencari sinyal guna menelepon meminta bantuan.
Setelah menyeberangi sungai besar, rombongan itu tiba di kaki Gunung Weya. Salah satu di antara mereka kemudian naik ke puncak gunung—yang butuh waktu setidaknya tiga jam—dan berhasil mendapatkan sinyal komunikasi.
Ia langsung menelepon Kapolres dan Bupati untuk merundingkan lokasi evakuasi oleh helikopter. Setelahnya, ia turun gunung dan mengabarkan kepada rombongan: besok pagi-pagi kita naik; kita akan dijemput chopper (helikopter).
Rabu pagi, 8 Februari, rombongan bergerak mendaki gunung menuju titik penjemputan. Sementara dari Timika, empat helikopter dikirim untuk menjemput mereka.
“Kami gunakan 4 helikopter—2 dari Polri dan 2 dari TNI. Ada 14 pasukan Tontaipur disiapkan, dan Kopassus dilibatkan,” kata Kapolres Nduga AKBP Rio yang memimpin operasi evakuasi.
Tontaipur atau Peleton Intai Tempur ialah pasukan elite milik Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang memiliki keahlian melakukan infiltrasi dan sabotase.
Siang harinya, pukul 14.30 WIT, semua pekerja berhasil dievakuasi. Namun, pada saat bersamaan, pilot Susi Air Captain Philip Mehrtens justru dalam pencarian.
Mencari Captain Philip
Pesawat Susi Air yang diterbangkan Captain Philip pada 7 Februari dengan rute Timika-Paro-Timika hilang kontak pada pukul 06.35 WIT. Pesawat yang lepas landas dari Bandar Udara Mozes Kilangin Timika pada pukul 05.34 WIT itu sesungguhnya telah tiba dengan selamat di Lapangan Terbang Paro pada pukul 06.17 WIT, dan dijadwalkan kembali ke Timika sekitar pukul 07.00 WIT.
Namun, pada pukul 07.28 WIT manajemen Susi Air menerima informasi bahwa pesawat itu masih berada di Paro, tapi dengan posisi pilot terus menjauh dari area terbang. Hal ini amat janggal sehingga Susi Air mengirim pesawat lain untuk mengeceknya. Dari situlah ditemukan bahwa pesawat bernomor penerbangan SI 9368 itu telah terbakar di landasan pacu.
Susi Air langsung menduga kebakaran itu bukan kecelakaan, karena pesawat ditemukan dalam posisi parkir yang aman. Dan tak sampai 24 jam kemudian, kelompok bersenjata di bawah pimpinan Egianus Kogoya—Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM )—menyebut telah membakar pesawat Susi Air. Mereka juga mengeklaim menyandera Captain Philip.
Kelompok itu pula yang sebelumnya menggeledah dan mengancam Zakarias dan rekan-rekannya pekerja bangunan di Paro.
“TPNPB Kodap III Ndugama-Derakma sudah membakar satu pesawat Susi Air nomor registrasi PK-BVY di lapangan terbang Distrik Paro. Pilotnya menjadi sandera kami,” kata Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom.
“Kami tidak akan pernah kasih lepas pilot ini kecuali NKRI mengakui kami dan melepas kami… Pilot itu akan selamanya tinggal bersama kami sampai Papua merdeka,” ujarnya, mengeluarkan tuntutan politik.
“Pilot Selandia Baru ini akan menjadi jaminan agar kami duduk di meja perundingan untuk membicarakan hak kemerdekaan bangsa Papua,” imbuh Sebby.
Menurut Sebby, pilot Susi Air sedang dibawa berjalan kaki ke markas pusat TPNPB di hutan dalam pegunungan Nduga yang bermedan terjal dan minim sinyal. Itulah sebabnya rekan-rekannya belum mengirim foto kondisi terkini pilot.
Namun, ucapan TPNPB itu tak digubris tim gabungan TNI-Polri yang melakukan operasi pencarian. Bagi mereka, selama tidak ada bukti penyanderaan, maka status Captain Philip adalah hilang, bukan disandera.
“Pada prinsipnya, TNI-Polri tidak menduga-duga. Semua berdasarkan data dan fakta di lapangan. Jadi tidak ada penyanderaan [sampai saat ini]. Kami masih mencari pilot tersebut,” kata Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen M. Saleh Mustafa di Timika, Jumat (10/2).
Menurut TNI-Polri, kemungkinan tak ada saksi mata yang melihat secara langsung Captain Philip disandera dan dibawa pergi oleh TPNPB, sebab lima penumpang yang ia antarkan ke Paro dari Timika sudah meninggalkan lapangan terbang sebelum pesawat dibakar.
Kelima penumpang tersebut adalah penduduk asli Paro, dan menurut Saleh masih berkerabat dengan mantan Bupati Nduga. Oleh sebab itu, kelimanya tidak diganggu dan dibiarkan lewat saja oleh KKB.
“Saksinya kan lima penumpang itu, nah kami belum ke sana bertemu mereka. Nanti akan kami dalami,” ujar Brigjen Ramdani dan Kombes Faizal, mengeluarkan pernyataan senada.
Panglima Laksamana TNI Yudo Margono bahkan berkata bahwa “dari awal peristiwa ini tidak ada saksinya… Saat pesawat dibakar kemudian pilot lari ke mana—lari sendiri atau dibawa… Maka belum bisa ditentukan dia ditahan KKB atau tidak.”
Wakapolda Papua Brigjen Ramdani Hidayat mengatakan, tim gabungan sampai Jumat kemarin belum mengetahui keberadaan pilot. Lebatnya hutan Papua dan buruknya cuaca menghambat pencarian Captain Philip.
“Dia akan tetap kami cari. Tiada hari tanpa patroli. Kalau sudah ketemu titiknya, akan kami lakukan penegakan hukum,” tegas Ramdani.
TNI-Polri tak merinci jumlah pasukan yang mereka kerahkan dalam pencarian Philip terkait kerahasiaan strategi operasi, namun mereka secara bertahap tampak menambah personel yang diberangkatkan ke Papua.
Meski Panglima TNI menyatakan bahwa Kodam Cenderawasih dan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III yang bermarkas di Timika dapat mengendalikan operasi pencarian Captain Philip, tapi bukan berarti TNI tak mengirim pasukan tambahan.
Jumat, 10 Februari, TNI AD memberangkatkan pasukan dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk memperkuat operasi pencarian Philip sekaligus menempatkan personel di distrik Paro yang minim penjagaan dan tidak memiliki pos TNI maupun pos polisi.
Pada hari yang sama, Mabes Polri juga mengirimkan dua kompi pasukan terbaik Brimob ke Paro, Nduga, untuk mempertebal keamanan. Selama ini, Kabupaten Nduga di Papua Pegunungan memang rawan dan dikenal sebagai ruang gerak TPNPB-OPM.
Nduga yang bergunung-gunung dengan tutupan hutan lebat adalah bentang alam yang tak mudah ditaklukkan. Wilayah ini terhampar di Lembah Baliem yang dikelilingi Pegunungan Jayawijaya, dan terletak pada ketinggian 1.500–2.000 meter di atas permukaan laut. Ini membuat suhu di Nduga relatif rendah, berkisar antara 14–24 derajat Celcius.
Pada medan seperti itulah pasukan gabungan TNI-Polri kini harus bergerak. Menurut Kasatgas Operasi Cartenz Kombes Faizal, saat ini terdapat sejumlah titik yang menjadi fokus tim pencari yang melibatkan pasukan elite yang didatangkan dari pusat.
Pangdam Cenderawasih dan Wakapolda Papua mengatakan, pencarian Captain Philip akan menggunakan dua tahapan: lunak dan keras. Soft approach akan dilakukan lebih dulu dengan membuka ruang dialog melalui tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Bila tidak membuahkan hasil, maka tahapan kedua akan dilancarkan, yakni hard approach melalui penegakan hukum yang dalam militer dikenal dengan istilah operasi pembebasan.
Mengecam KKB: Kriminal, Separatis, atau Teroris?
KKB pimpinan Egianus Kogoya alias TPNPB-OPM yang membakar pesawat Susi Air dan menyebut bertanggung jawab atas hilangnya Captain Philip, tak ayal mendapat kecaman.
“Kami mengecam keras serangan terhadap warga dan objek sipil di Papua. Kami mendesak agar pilot yang disandera segera dibebaskan dalam keadaan selamat,” ujar Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
“Kami juga meminta para pihak yang berkonflik untuk menghormati hukum hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional,” ujarnya.
Pernyataan senada dikeluarkan oleh Komnas HAM yang menyesalkan peristiwa kekerasan yang belakangan meningkat di Papua.
“Kami mengecam tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil dan penggunaan kekerasan terhadap fasilitas-fasilitas umum—membakar dan menembak pesawat, membakar pasar. Ini merugikan masyarakat Papua yang seharusnya dapat menikmati pelayanan publik,” tegas Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.
Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendesak KKB diberantas secara menyeluruh oleh TNI-Polri karena rangkaian kekerasan yang dilakukan oleh mereka terus terjadi.
“Bila kendalanya adalah urusan HAM, maka jelas KKB terlalu banyak melanggar HAM,” ujar Sahroni, Selasa (7/2), menyinggung posisi dilematis TNI yang selama ini kerap dituding melanggar HAM di Papua.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari sejak 2022 pun telah meminta TNI-Polri segera memberantas KKB. Menurutnya, KKB jelas kelompok teroris karena menebar teror secara sistematis terhadap warga sipil.
Sementara anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin sejak 2021 menganggap langkah pemerintah menyebut OPM sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB) alih-alih kelompok separatis bersenjata (KSB) justru meningkatkan kekerasan di Papua, sebab hal ini membuat KKB diperlakukan sebagai kriminal biasa.
Padahal, ujar Hasanuddin, “Mana ada kriminal biasa yang menuntut kemerdekaan, memiliki pasokan senjata bagus, dan melancarkan kampanye politik ke kedutaan-kedutaan asing?”
Menurut Hasanuddin yang juga purnawirawan TNI AD, peliknya persoalan Papua tak lepas dari trauma sebagian warganya atas belasan kali operasi militer yang dilancarkan Indonesia di sana, terutama semasa Orde Baru.
Operasi militer ABRI/TNI itu, menurut Imparsial, mendorong terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Bahkan, meski status daerah operasi militer (DOM) di Papua telah dicabut pada 1998, konflik tak juga surut, dan pasukan TNI-Polri terus-menerus dikirim ke Papua.
Pada 2021, pemerintah RI menetapkan dua kebijakan untuk Papua. Pertama, pendekatan kesejahteraan dan kedamaian tanpa kekerasan dan persenjataan. Kedua, penegakan hukum dan keamanan terhadap orang-orang yang melakukan teror—bukan organisasi, tapi individu.
Tahun itu juga, pemerintah menetapkan KKB/OPM sebagai organisasi teroris; begitu pula dengan orang-orang yang bergabung dan berafiliasi dengannya. Hal ini salah satunya untuk mempersempit ruang gerak dan pendanaan OPM.
Namun, langkah pemerintah RI tersebut dikritik oleh lembaga-lembaga pemerhati HAM. Mereka berpendapat penyematan status teroris tak tepat dan tidak akan menghentikan kekerasan di Papua, bahkan malah semakin membahayakan keselamatan warga sipil.
Di sisi lain, label teroris dan KKB untuk OPM pun membuat paradigma penanganan terhadap organisasi separatis ini berubah, yakni dari penegakan kedaulatan di bawah komando TNI, menjadi penegakan hukum di bawah komando Polri—meski dengan TNI sebagai mitra.
“Karena bukan disebut separatis, tapi kriminal dan teroris, maka yang maju adalah polisi,” ujar Hasanuddin, Minggu (12/2).
Kebijakan tersebut mungkin dapat menghindarkan TNI dari aksi represif; namun membuat operasi penumpasan kekerasan tak bisa agresif, hanya defensif.
***
Laporan dari Papua oleh Bumi Papua, partner kumparan 1001 media.
Catatan redaksi: TPNPB-OPM mempublikasikan foto-foto dan video Captain Philip Mehrtens yang sedang bersama mereka pada Selasa malam, 14 Februari 2023.