Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tim Ekonomi Prabowo soal Fokus 100 Hari Pertama: Selamatkan Daya Beli Warga
14 Oktober 2024 18:34 WIB
·
waktu baca 9 menitItu semua tampak semaki berat karena Prabowo mematok target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% di era kepemimpinannya.
Lantas, bagaimana kebijakan ekonomi Prabowo menjawab segala urusan yang berdampak ke urusan perut rakyatnya? Simak wawancara kumparan dengan Dradjad Wibowo, ekonom senior sekaligus anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Apa saja tantangan ekonomi yang menjadi catatan Prabowo di awal kepemimpinannya?
Cukup banyak. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kita relatif kurang maksimal. Kualitas pertumbuhannya juga perlu diperbaiki. Kita perlu pertumbuhan berkualitas untuk lebih menyerap tenaga kerja. Apalagi kita punya tambahan orang setengah menganggur sampai 2,41 juta orang atau 1,61 persen penduduk.
Dengan tambahan yang cukup besar itu, otomatis kelas menengah akan menurun. Jadi kalau ada fenomena penurunan jumlah kelas menengah, penurunan daya beli yang kemudian berimbas ke deflasi yang cukup panjang, itu karena pertumbuhan kita kurang berkualitas. Penciptaan lapangan kerjanya kurang maksimal.
Kemudian ada tantangan stabilisasi makro, termasuk nilai tukar, di mana kita lihat rupiah sempat melonjak ke Rp 16.000 lebih. Ini tidak sehat. Yang dibutuhkan adalah rupiah yang stabil, yang pergerakannya bisa diprediksi.
Sementara tantangan dalam jangka menengah-panjang tentu hilirisasi. Kita menghadapi penurunan peranan industri yang dihadapi seluruh dunia, tapi di kita (Indonesia) perlu perhatian lebih serius. Jadi kita harus memulihkan sektor industri, dan salah satu yang perlu dipercepat adalah hilirisasi.
Dari semua itu, ada satu masalah amat krusial yang mengganggu pertumbuhan, mengganggu penciptaan lapangan kerja, mengganggu perkembangan industri, mengganggu ekspor, dan menganggu banyak hal lain, yaitu: regulasi dan birokrasi.
Mengenai penurunan daya beli masyarakat, bagaimana cara Prabowo mengatasinya dalam 100 hari pertama kerjanya agar konsumsi masyarakat kembali meningkat?
Seratus hari hanya tiga bulan. Tiga bulan itu kalau kita ambil langkah-langkah yang sistemik dan struktural, efeknya pun mungkin baru dirasakan akhir tahun yang akan datang (2025).
Dalam tiga bulan, yang harus dilakukan adalah menyelamatkan daya beli mereka yang terlempar dari kelas menengah, dengan program bantuan sosial.
Kartu-kartu [bansos] itu harus dikucurkan dananya dalam waktu cepat supaya mereka yang terlempar dari kelas menengah, dan mereka yang berasal dari kelompok miskin lalu terlempar lebih bawah lagi, bisa mulai membaik daya belinya.
Jadi setelah jatah mereka yang terima kartu [bansos] habis, uangnya habis, mereka akan turun lagi daya belinya. Perbaikan yang lebih terstruktur dan sistemik perlu dilakukan.
Lantas bagaimana rencana jangka panjang pemerintah Prabowo untuk menaikkan daya beli warga dan menciptakan lapangan kerja?
Yang perlu segera dilakukan adalah debirokratisasi dan deregulasi. Dari sejak hari pertama itu harus dilakukan karena negara nggak sanggup memikul [beban] sendirian.
Di sisi lain, BUMN juga banyak inefisiensi, terjebak birokrasi, terjebak politik, dan sebagainya. Jadi andalan yang efektif dan terbaik adalah penciptaan lapangan kerja oleh swasta.
Negara bertugas mendorong supaya rakyat, swasta, bisa bergerak cepat. Aparat negara harus memfasilitasi, jangan malah ganggu dan bikin aturan aneh-aneh supaya dia—maaf—bisa makan sogokan.
Kalau misalkan dari pusat, dari Pak Prabowo, ada perintah tegas dan langsung dijalankan, otomatis eselon-eselon di bawahnya takut untuk neko-neko. Karena perkara birokrasi ini sudah sangat mengganggu. Sektor [industri] makanan minuman terganggu, sektor TPT (tekstil dan produk tekstil) terganggu, dan sektor-sektor lain.
Kalau [birokrasi] itu dipangkas, termasuk deregulasi perpajakan, otomatis swasta jadi lebih percaya diri. Ketika kepercayaan diri mereka naik, otomatis akan mau berinvestasi dan ada tambahan tenaga kerja. Sehingga nanti yang setengah menganggur akan bisa menjadi pekerja penuh, penghasilannya naik. Dan mereka yang terlempar dari kelas menengah akan punya pekerjaan tetap.
Pemerintahan Prabowo memikul beban utang jatuh tempo era Jokowi sekitar Rp 800 triliun, di luar bunga tiap tahunnya, sampai tahun 2028. Bagaimana cara mengelola beban utang itu sementara ada program makan bergizi gratis yang membutuhkan anggaran besar?
Masalah utang harus prudent (hati-hati). Ada Rp 1.353 triliun pokok dan bunga utang yang harus dibayar (tahun 2025). Jumlah itu mencapai 45% dari pendapatan negara (APBN 2025) yang sekitar Rp 3.005 triliun.
Ketika penghasilan 45%-nya habis buat bayar utang kan pusing juga kepala. Jadi harus hati-hati menambah utang. Apalagi defisit tahun 2025 sekitar Rp 600 triliun. Itu pun masih kurang kalau mau pertumbuhan mencapai 5,8–5,9%, kurang Rp 300 triliun lagi.
Dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, Prabowo bakal menarik utang baru senilai Rp 775,9 triliun pada tahun 2025 untuk membiayai sejumlah program di APBN. Pembiayaan utang akan dipenuhi melalui penarikan pinjaman senilai Rp 133,3 triliun dan penerbitan SBN senilai Rp 642,6 triliun.
Pendapatan negara harus digenjot. Jadi memang harus lebih hati-hati mengelola belanja dan mengatur surplus. Selama ini kita lumayan tergantung pada APBN sehingga menjadi tergantung pada utang.
Saya selalu mengatakan perlu stimulus Keynesian (peningkatan belanja pemerintah dapat meningkatkan aktivitas bisnis dan pendapatan). Untuk bisa stimulus itu, kita harus mengejar pendapatan negara. Ibaratnya kalau uangnya nggak ada, masa mau mikir kredit rumah, kredit mobil. Makanya salah satu yang krusial adalah mengejar pendapatan negara.
Bagaimana cara Prabowo mengejar pendapatan negara? Bukankah jika caranya memungut dari masyarakat melalui rencana penerapan PPN 12 persen, iuran Tapera, atau iuran pensiun tambahan, bakal makin membebani kelas menengah?
Iya kalau kita nggak kreatif. Kalau rezim fiskal nggak kreatif ujungnya naikin tarif [pungutan] pajak itu paling gampang. Jadi kalau nggak kreatif memang itu jadi beban.
Saya secara pribadi, bukan sebagai Dewan Pakar atau sebagai tim [ekonomi] Prabowo, tidak setuju dengan PPN naik 12%. PPN 11% yang baru diterapkan [April 2022] terbukti sekarang deflasi 5 bulan berturut-turut, kelas menengah makin berkurang. Itu salah satunya ada efek dari PPN 10% naik ke 11%, apalagi nanti naik ke 12%.
Saya khawatir basis pajaknya juga akan berkurang. Seperti orang dagang, harga dinaikkan, yang beli makin sedikit, otomatis penghasilannya berkurang, penerimaan pajaknya berkurang. Sehingga harus kreatif [mencari penerimaan baru].
Pendapatan negara harus dikejar dari dua pendekatan. Satu pendekatan sistemik, yaitu digitalisasi. Kita sudah melakukan digitalisasi pajak dari tahun 2003 atau 2004, sekitar 20 tahun lalu. Yang cepat adalah pendapatan negara ad hoc, sumber pendapatan yang tidak terkumpulkan atau uncollected. Duitnya sudah ada, tapi belum dikumpulin.
Ini nggak omon-omon, saya berdasarkan pengalaman ketika membantu pemerintahan Jokowi menjadi unsur pimpinan di salah satu K/L. Saya sudah sering sebutkan kasus pajak yang sudah inkrah, sudah selesai. Artinya dia harus bayar ke negara, tapi gak bayar. Itu jumlahnya banyak waktu saya di sana [K/L], jumlahnya di atas Rp 90 triliun, hampir Rp 100 triliun.
Ini harus dibayar, gak peduli siapa pun, nama besar, nama kecil. Yang paling kecil yang gak bayar di situ Rp 400 miliar. Dia menolak bayar. Lalu kita lakukan [tindakan] akhirnya dia bilang 'siap bapak kami bayar'. Kita bisa lakukan sesuatu supaya mereka mau bayar. Itu yang saya sebut uncollected. Duitnya ada, tapi nggak masuk ke negara.
Kedua adalah untapped. Jadi duitnya belum ada, tapi ada potensinya dan belum digali. Itu [sumbernya] banyak, sebagian dari ekonomi ilegal. Cuma memang harus kreatif menggalinya. Poinnya adalah rezim fiskal kita harus kreatif.
Sejumlah ekonom dan kelompok pengusaha pesimistis dengan target Prabowo pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Sebab Presiden Jokowi yang pernah menargetkan 7% hingga 10 tahun tidak tercapai. Bagaimana strategi Prabowo mencapai target itu?
Memang pertumbuhan [ekonomi] kita stuck (terjebak -red) di 5 persen. Dalam sejarah kita sejak tahun 1960 sampai sekarang, itu hanya 5 kali pertumbuhan ekonomi bisa di atas 8 persen. Sehingga saya katakan, peluang untuk tumbuh di atas 8 persen itu 8 persen juga peluangnya. Tapi bukan tidak mungkin dicapai. Cuma memang perlu langkah berat.
Ketika kita menghadapi situasi berat seperti itu, kita melihat pemimpinnya. Prabowo adalah tipe pemimpin, tipe komandan, tipe panglima, yang kadang oke, semua orang bilang tidak bisa, tapi dia buktikan bisa. Operasi Mapenduma adalah buktinya. Waktu itu hampir semuanya bilang tidak bisa. Dia bilang tidak ada kata tidak bisa, jalankan, dan ternyata bisa. Jadi ada kemauan kuat dari pemimpin.
Operasi Mapenduma merupakan operasi militer pembebasan 9 anggota Ekspedisi Lorentz ‘95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Operasi tersebut dipimpin Brigjen Prabowo Subianto.
Kita sudah tahu sektor-sektor yang multiplier pertumbuhan dan tenaga kerjanya paling tinggi. [Seperti industri] makanan minuman tinggi sekali, ritel, properti, TPT harus kita hidupkan lagi, karena lapangan kerjanya tinggi.
Sektor andalan ekspor harus didorong. Hilirisasi kita sudah di nikel. Hilirisasi harus kita dorong ke hilirisasi yang menyentuh rakyat lebih banyak. Seperti misalkan rumput laut, kelapa. Pertanian Pak Prabowo sangat concern. Tapi pertanian tidak akan bisa tumbuh kalau produksinya tidak naik. Cara produksi naik cuma dua, tanahnya ditambah dan pola tanamnya dipersering atau produktivitasnya dinaikkan.
Luas panen bisa kita tambah dengan rotasi tanaman yang lebih sering. Kalau biasanya 1 kali tanam jadi 2 kali, 2 kali jadi 3 kali. Tapi untuk bisa menambah rotasi tanaman airnya harus tersedia, gak bisa hanya mengandalkan air hujan. Jadi irigasi harus dibangun. Air harus dipastikan ada.
Kemudian tanahnya harus ditambah, tapi tambah tanah di Jawa kan gak mungkin. Ya harus diganti, gantinya di mana? Ya di luar Jawa.
Bagaimana dengan nasib industri manufaktur yang dapat menyerap banyak tenaga kerja (padat karya) namun justru kontribusinya terus turun (deindustrialisasi)?
Betul. Cuma saya agak kurang setuju dengan istilah deindustrialisasi. Saya lebih suka menyebutnya sebagai turunnya kontribusi [industri] dan seluruh dunia mengalami.
Bagaimana merevitalisasinya? Pertama aturan-aturannya, regulasinya kita kurangi. Kemudian lingkungannya kita ciptakan, karena sekarang agak kurang bagus. Ibarat akuarium, lingkungannya toxic buat ikannya. Lingkungan bisnis kita agak toksik. Ya [industri] gak bisa berkembang, malah mungkin mati.
Kedua, konsistensi kebijakan harus kita jamin. Kemudian baru berbagai insentif kita pikirkan. Kalau regulasi bisa kita pangkas, kebijakan bisa kita konsistenkan, industri akan jalan sendiri.
Jadi industri perlu insentif karena bisnis mereka terganggu. Terganggu ini itu, mereka banyak keluar biaya yang aneh-aneh. Misalkan biaya untuk pembebasan tanah itu tingginya tidak karuan, banyak gangguan. Karena mereka banyak seperti itu [gangguan] otomatis cost price-nya jadi tinggi sehingga akan sulit bersaing. Ketika cost price tinggi, sulit bersaing, otomatis mereka perlu subsidi dari negara, perlu diberi insentif. Kalau yang ini bisa kita bersihkan, mereka [industri] gak perlu dikasih insentif.
Saya optimistis dengan kemampuan bangsa kita. Karena sudah ada buktinya yang gak diganggu-ganggu malah berkembang. Contohnya [industri] mi instan ketika gak diganggu-ganggu berkembang kok.
Kemudian negara harus mengembangkan misalkan insentif untuk industri hijau melalui carbon trading. Insentif di sini bukan berarti negara menyuntik [dana], akan tetapi negara menyediakan ekosistem bagi carbon trading sehingga mereka-mereka (industri) yang bergeser ke kelestarian akan bisa memperoleh market, menjadi instrumen pasar.