Tragedi 98, PBHI Minta Masyarakat Tak Pilih Pelanggar HAM di Pemilu 2024

26 Juli 2023 18:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional menggelar diskusi publik soal pelanggaran HAM di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7/2023).  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional menggelar diskusi publik soal pelanggaran HAM di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7/2023). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional mengajak masyarakat untuk tidak melupakan begitu saja tragedi kerusuhan yang terjadi pada era 1990-an silam.
ADVERTISEMENT
Melalui diskusi publik yang digelar di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7/2023), PBHI juga mengimbau korban dan masyarakat sipil untuk tidak memilih pelaku pelanggaran HAM pada Pemilu 2024 nanti.
Hal itu diungkapkan Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani. Menurut Julius, pelaku kejahatan di masa lalu tidak pantas menjadi pemimpin Indonesia karena dikhawatirkan kejadian serupa akan terulang.
Padahal menurut dia, tragedi berdarah sebelumnya pada kerusuhan 27 Juli 1996 atau kudatuli dan kerusuhan Mei 1998 belum menemukan titik terang penyelesaian masalah.
"Langkah kampanye ini juga akan kami dorong bagi para pemilih masyarakat sipil agar dia bisa membuka mata dan telinga, agar tidak memberikan suaranya kepada para pelanggar HAM. Karena kakek neneknya terancam menjadi korban dan cucu cicitnya masih dalam potensi keterancaman," ujar Julius.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional menggelar diskusi publik soal pelanggaran HAM di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7/2023). Foto: Dok. Istimewa
Julius menegaskan hingga kini belum ada penyelesaian atau penuntasan kasus kerusuhan 1998 yang tergolong pada pelanggaran HAM berat tersebut. Sehingga, ini tidak boleh ditinggalkan atau dilupakan hingga persoalan ini terungkap.
ADVERTISEMENT
"Ini bagian juga dari gerakan sosial dan politik dari kelompok masyarakat sipil bahwa nasib kami masih di ujung tanduk selama pelaku HAM berat ini masih berada dalam kekuasaan dan berpotensi makin berkuasa lagi dalam kontestasi Pemilu 2024," ungkap Julius.
Bahkan, pihak PBHI sudah berkoordinasi dengan para keluarga korban untuk menagih komitmen dan tanggung jawab dari Komnas HAM untuk mengusut tuntas siapa dalang dan pelaku yang terlibat di dalamnya.
"Dan tindakan yang paling berat adalah mulai dari korban kekerasan, penyiksaan, penculikan. Kami Minta Komnas HAM bersikap tegas," lanjut Julius.
Julius sempat menyinggung politik impunitas pada Pemilu 2024. Dia menilai jika masyarakat tetap memberikan ruang bagi pelanggar HAM berat tersebut memiliki kekuasaan dan pengaruh, tidak dipungkiri tragedi serupa akan terulang kembali di masa yang akan mendatang.
ADVERTISEMENT
"Politik impunitas ini tidak hanya kami bunyikan pada pemilu 2024, tetapi pada 10 tahun lalu, 2014. Kerusuhan Mei 98 ada Wiranto, dan penculikan paksa ada Prabowo, dan lain-lain. Kami tegaskan selama ada itu belum clean and clear dari para pelaku pelanggar HAM, itu bisa dimaknai sebagai politik impunitas," jelasnya.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional menggelar diskusi publik soal pelanggaran HAM di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7/2023). Foto: Dok. Istimewa
"Politik impunitas itu ada, orang-orang pelanggar HAM masih ada. Masuknya mereka ke dalam kekuasaan untuk mempertahankan kekuasannya dan kemudian melanjutkan tindakan-tindakan kebiadaban yang merupakan HAM berat seperti masa lalu tetapi (terjadi) di masa ini," lanjut Julius.
Dalam kesempatan itu, Paian Siahaan selaku ayah dari Ucok Munandar, korban penculikan 1998, juga turut bersuara. Paian mengatakan, status penghilangan paksa anaknya sampai saat ini masih belum menemukan titik terang.
ADVERTISEMENT
"Saya orang tua Ucok Siahaan salah satu korban penculikan 1998. Secara jelas setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan, anak saya dinyatakan korban penculikan pelanggaran HAM di masa lalu," kata Paian.
Paian sangat sakit hati jika seseorang menyatakan kasus penghilangan paksa itu sudah selesai dan tidak perlu diungkit lagi.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional menggelar diskusi publik soal pelanggaran HAM di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Rabu (26/7/2023). Foto: Dok. Istimewa
Pasalnya, sudah lebih dari 25 tahun Paian berjuang untuk mencari kejelasan status hukum yang menimpa anaknya. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai hal tersebut.
"Dasarnya apa Budiman (Budiman Sudjatmiko) menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat itu telah selesai, kami kan masih ada, masih berjuang. Kami mohon agar pernyataan ini dapat tersebarluaskan, jangan kami dikorbankan, ini menyakitkan buat kami yang telah berjuang," pungkas Paian.
ADVERTISEMENT
Di akhir acara dilakukan deklarasi korban dan masyarakat sipil melawan lupa dari perwakilan PBHI Nasional, Imparsial, Kontras, IKOHI, Amnesti Internasional Indonesia, Centra Initiative, Setara Institute, HRWG, Forum De Facto, Maria Sanu (ibu kandung Stefanus, korban tragedi kerusuhan 1998), serta Paian Siahaan (ayah kandung Ucok Munandar, korban penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998).
Sementara itu, Petrus Hariyanto (korban penyiksaan dan tragedi 27 Juli 1996) hadir dengan pesan singkatnya melalui video yang ditayangkan saat acara.
(LAN)