Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sedikitnya selusin pejabat Iran tumbang karena virus corona, dan seperdelapan anggota parlemen mereka terinfeksi. Tak cuma itu, 54.000 narapidana dibebaskan agar penjara-penjara di Iran tak menjelma lokasi penyebaran COVID-19.
Iran hari ini ialah ironi dan tragedi. Corona melibas nyaris segala yang tersisa di sana. Ia meninggalkan jasad-jasad bergelimpangan, serta tubuh-tubuh renta-muda yang terbatuk-batuk di jalanan—dan mencemari udara dengan virus yang entah akan menginfeksi berapa banyak orang lagi di seantero negeri.
Di atas kertas, sampai 9 Maret 2020, angka kematian di Iran tertulis 194 orang, dengan jumlah kasus infeksi terus merangkak naik ke angka 7.000. Itu dalam catatan pemerintah mereka. Catatan lain mencantumkan statistik kematian lebih tinggi. Kalangan oposisi Iran juga menyebut jumlah warga terinfeksi jauh lebih banyak dari rilis pemerintah.
Intaian maut yang begitu dekat bisa membuat siapa pun—atau negara mana pun—dilanda kegilaan. Iran tak terkecuali. Ia sampai membebaskan 54.000 orang narapidana dari penjara demi menghindari penyebaran virus corona dalam sel-sel tahanan. Para napi yang “beruntung” itu ialah mereka yang hasil pemeriksaan medisnya negatif corona, dan mengantongi vonis tak lebih dari lima tahun kurungan.
Ketakutan otoritas Iran bukan tanpa alasan. Coronavirus COVID-19 menyerang tanpa pandang bulu, baik tua maupun muda, ulama maupun kriminal, pejabat maupun rakyat. Iran menjadi negara dengan aparat pemerintahan yang paling banyak terjangkit corona. Sedikitnya selusin petinggi negeri itu—anggota kabinet sampai anggota parlemen—tumbang karena corona.
Di antara mereka, ironisnya, ialah Wakil Menteri Kesehatan Iraj Harirchi yang ikut berbicara dalam konpers berisi bantahan atas dugaan kematian massal di Iran akibat corona. Sepanjang konferensi pers, Harirchi terbatuk-batuk dan sibuk menyeka keningnya yang berkeringat. Sehari kemudian, ia diumumkan positif mengidap COVID-19 .
Akhir Februari itu, Harirchi menampik informasi yang menyebut 50 orang tewas akibat corona di Qom—kota suci penganut Syiah yang menjadi awal penularan sekaligus pusat penyebaran corona di Iran. Ia berkata bakal mengundurkan diri jika kabar tersebut terbukti benar.
Harirchi bukan satu-satunya pejabat “di garis depan perang melawan corona” yang menjadi korban virus itu. Direktur Universitas Ilmu Kedokteran Qom Mohamad Reza Ghadir yang mengepalai penanganan wabah corona di kota itu, juga dinyatakan positif COVID-19.
Qom memang jadi episentrum corona. Kementerian Kesehatan Iran menyatakan, mayoritas kasus kematian dan infeksi berasal dari orang-orang yang mengunjungi Qom. Namun, ujar Ghadir seperti dilansir The New York Times, pejabat-pejabat Qom menerima perintah untuk tidak mempublikasikan data apa pun terkait wabah corona di kota mereka.
Jutaan orang mengunjungi Qom setiap tahunnya, dan ribuan peziarah mendatangi Kuil Fatima Masumeh yang dianggap salah satu tempat pemujaan paling penting di Iran. Meski Kementerian Kesehatan telah meminta para pemimpin Syiah untuk membatasi peziarah di kuil itu, kerumunan orang masih terlihat.
Para peziarah menyentuh dinding kuil. Beberapa di antaranya mencium dan menjilati pintu serta marmer makam di dalam kuil. Mereka mengabaikan peringatan pemerintah untuk menghindari menyentuh dan mencium permukaan apa pun di kuil, karena yakin Qom adalah “tempat penyembuhan”.
Anggota parlemen Abdul Karim Hosseinzadeh mendesak pemerintah Iran untuk mengkarantina Qom . “Jenazah menumpuk di Qom,” cuitnya via Twitter seperti dikutip Iran Wire.
Seruan menutup Qom ditolak mentah-mentah oleh Korps Garda Revolusi Islam—kekuatan berpengaruh di Iran. Kepala Unit Intelijen Garda Revolusi, Hossein Taeb, menyebut Qom sebagai “kehormatan Islam”. Kota itu punya posisi penting dalam religiositas Syiah. Mengisolasi Qom, menurut Taeb, hanya akan membuat Iran makin dicemooh Barat.
Di sisi lain, sebuah video yang diunggah jurnalis Iran, Mohamad Ahwaze, memperlihatkan puluhan jenazah korban corona berderet di kamar mayat sebuah rumah sakit di Qom. Video itu direkam oleh seorang pekerja medis yang kemudian ditangkap aparat Iran dengan alasan mengambil gambar tanpa izin.
“.... banyak kematian, dan tidak ada tempat untuk kuburan orang-orang yang mati karena corona. Pemerintah Iran menutupi malapetaka dahsyat ini, dan mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan!” kata Ahwaze lewat akun Twitter-nya.
Seorang dokter di Qom yang tak mau namanya diungkap bercerita, corona telah beredar berhari-hari sebelum kasus infeksinya diumumkan secara resmi. “Kami menerima banyak pasien dengan gejala serupa. Mereka diberi obat flu dan dipulangkan,” katanya kepada Reuters.
Seluruh rumah sakit di Qom, Teheran, dan Rasht kelebihan kapasitas. Tiga kota yang berstatus ibu kota provinsi itu paling terdampak corona.
“Rumah sakit penuh dengan orang-orang terinfeksi. Kami memerlukan lebih banyak rumah sakit. Korban tewas akan bertambah,” ujar seorang dokter di Teheran yang juga tak mau identitasnya diungkap.
Presiden Iran Hassan Rouhani pada akhir Februari menyebut coronavirus sebagai “penumpang sial yang tak diundang”. Ia mengakui corona telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Iran, dan berupaya meyakinkan rakyat bahwa wabah bakal berlalu.
“Penyakit ini adalah penyakit menular global. Kita akan mengalahkan corona,” ujar Rouhani.
Sebelumnya, ia dan para petinggi Iran berulang kali menampik kekhawatiran masyarakat soal corona, dan mengatakan pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kemungkinan krisis akibat virus tersebut.
Sikap itu tak pelak membuat beberapa pihak menuduh penguasa Iran sengaja menyembunyikan wabah di awal kemunculannya demi mengamankan partisipasi publik dalam pemilihan anggota parlemen yang berlangsung 21 Februari, juga demi kepentingan aksi demonstrasi yang diorganisir pemerintah pada bulan yang sama.
Kedua tudingan itu ditampik oleh Ali Rabiei, juru bicara pemerintah Iran.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan Iran bahwa mereka menghadapi wabah yang lebih buruk dari yang disangka.
Banyak pejabat Iran semula mungkin tak mengira corona bisa sampai ke pintu mereka. Ketika virus itu merebak di Tiongkok, Iran bahkan mengirim sejuta masker ke mitra dagang pentingnya itu.
Radio Farda melaporkan, Kedutaan Iran di Tiongkok mengatakan “mengagumi tekad pemerintah dan rakyat China dalam perang melawan corona.”
Tak sampai sebulan kemudian, corona mulai meluluhlantakkan Iran.
“Jika anak-anak saya tidak mati karena virus ini, mereka akan mati karena kelaparan. Bisnis konstruksi kini mati dan saya pengangguran,” kata Ali Hosseini, pekerja konstruksi di Qom.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei—yang baru kehilangan salah satu penasihatnya karena coronavirus —meminta rakyatnya untuk memegang teguh iman di masa krisis, dan mengikut arahan petugas medis.
“Bencana ini bukan masalah besar. Ada petaka yang lebih besar di masa lalu. Saya tidak ingin meremehkan perkara ini, tapi janganlah kita melebih-lebihkannya,” kata Khamenei seperti dilansir Mehr News.
Tentunya, imbuh Khamenei, “Doa dapat menyelesaikan banyak masalah.”