Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Salam, pria 64 tahun yang tinggal di Tanah Merah Bawah, Plumpang , Jakarta Utara , mencium bau menyengat di kediamannya, Jumat malam, 3 Maret 2023. Bau itu muncul setelah suara seperti gledek terdengar menyambar kencang di tengah guyuran hujan yang tak putus sedari sore.
Salam keluar rumah. Ia tertegun. Kabul tebal menyelimuti lingkungannya. Tak sampai setengah jam kemudian, ledakan terdengar. Suasana jadi begitu mengerikan.
“Api keluar, mengikuti arah kabut. Api ngikuti asap itu,” kata Salam kepada kumparan di Plumpang, Rabu (8/3).
Tanah Merah seketika kacau. Ledakan dengan cepat menyulut kepanikan warga. Meski sudah berpuluh tahun hidup berdampingan dengan Terminal Bahan Bakar Minyak Pertamina di Plumpang, mereka tak pernah siap menghadapi kejadian hari itu.
Api menyambar-nyambar, dan orang-orang berjatuhan pingsan. Dalam hitungan jam, Tanah Merah berubah layaknya neraka. Api berkobar di langit, membakar pohon-pohon dan kabel-kabel di permukiman. Warga berlarian berdesakan cari selamat ke arah utara.
“Kami jalan kayak diikuti api. Jarak 5 meter enggak kelihatan, tertutup putih asap kabut,” kata Salam.
Syukurlah, Salam dan istrinya—yang menderita stroke—berhasil menyelamatkan diri dari petaka itu. Istrinya yang hanya bisa duduk di kursi roda didorong warga lain, sedangkan Salam berjuang mengatasi sesak napasnya.
Anak Salam, Aci Mulyanti, mengalami luka bakar parah karena berkeras kembali ke rumah untuk menyelamatkan surat berharga meski telah dilarang Salam. Pakaian yang Aci kenakan hangus terbakar. Beruntung nyawanya selamat setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP).
Lima hari kemudian, Salam kembali ke tempat tinggalnya. Rumah yang ia bangun dan tempati sejak 1978 telah porak-poranda. Salam pun kini mengontrak di rumah lain yang tak jauh dari kediamannya.
Seingat Salam, dulu tangki-tangki Pertamina tak sedekat itu dengan rumah warga. Tahun 1978, bahkan ada lapangan bola di antara permukiman dan Depo. Salam sering main bola di lapangan itu.
Tahun-tahun kemudian berlalu, dan tangki-tangki itu perlahan bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan BBM. Pihak Depo yang semula menyekat wilayahnya dengan kawat berduri lantas mengganti batas itu dengan tembok.
Meski begitu, jarak tangki dengan rumah warga kian dekat. Pada beberapa titik, tembok Depo bersinggungan langsung dengan permukiman warga. Hal ini diperparah dengan rumah-rumah warga yang juga bertambah. Penduduk baru korban gusuran ikut datang ke Tanah Merah.
Permukiman warga di Tanah Merah sebetulnya telah lama terbentuk. Cikal bakalnya, menurut arsip Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB), bahkan telah ada sejak abad ke-18, persisnya sekitar tahun 1780.
Hunian di Tanah Merah bermula dari Kampung Tugu yang berjarak 2 kilometer dari sana. Rumah-rumah warga saat itu mengikuti aliran Kali Betik, bermula dari Gereja Tugu atau Kerk in Toegoe ke lokasi Tanah Merah kini.
Pada era Kolonial Belanda, hunian warga semakin menyebar. Terbentuklah beberapa permukiman seperti Kampung Mangga dan kampung Kloempang (Plumpang) di sisi utara Tanah Merah. Di kawasan yang dahulu rawa-rawa itu, Belanda juga membangun Bendungan Melayu untuk melindungi permukiman.
Berdasarkan peta tahun 1943 yang dimiliki FKTMB, kawasan Tanah Merah ketika itu merupakan area tanah garap berupa persawahan bekas urukan atau sedimentasi lahan dari Rawa Gelam.
Perubahan signifikan terjadi di Tanah Merah setelah Indonesia merdeka. Regulasi baru, termasuk UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, membuat lahan-lahan di sana dapat dimanfaatkan. Lahan di kawasan Bendungan Melayu, Rawa Gelam, atau sekitar Tanah Merah yang saat itu berstatus tanah garap, diubah menjadi tanah negara.
Pada 27 Juli 1969, Pertamina mulai memanfaatkan lahan tersebut. Mereka mengantongi izin Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang mengeluarkan Surat Izin Penggunaan Tanah kepada Pertamina bernomor No. Ad. 7/4/29/68.
Pertamina diberi izin membangun depo pada tanah seluas 14 hektare. Pada 1975, di tengah proses pembangunan depo, Pertamina mengajukan Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan tersebut kepada Menteri Dalam Negeri. Permintaan itu dikabulkan. Keputusan Mendagri No. SK 190/HGB/DA/76 memberikan HGB selama 20 tahun kepada Pertamina atas tanah seluas sekitar 150 hektare yang berada di area Kelurahan Rawa Badak, Kelapa Gading, dan Koja.
Dari berbagai sumber yang dihimpun kumparan, saat HGB itu terbit, warga telah mengokupansi sekitar 83 hektare tanah di kawasan yang telah ditetapkan itu.
Dan di sinilah konflik antara Pertamina dan warga Tanah Merah bermula.
Bermukim di Plumpang: Menetap atau Menumpang?
Dari tahun ke tahun, warga makin banyak berdatangan dan bermukim di Tanah Merah.
“Pada tahun 1978, saya membeli tanah seluas 80 meter dari mertua saya. Saya bikin rumah di RT 06 dan tinggal di situ,” kata Salam.
Masyarakat lalu mengisi area-area yang masih kosong. Penduduk di sekitar Depo Plumpang kian padat. Pada 4 Desember 1986, Pemda berupaya menertibkan bangunan dan permukiman Tanah Merah. Langkah itu diikuti pembentukan Tim Penyelesaian Tanah Pertamina di Kelurahan Rawa Badak, Tugu Selatan, dan Kelapa Gading Barat pada 30 Agustus 1990.
Wali Kota Jakarta Utara juga menerbitkan Instruksi Nomor 79 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Penyuluhan dan Inventarisasi Penduduk dan Bangunan yang berdiri di atas Tanah Merah. Berikutnya, terbit surat dari Gubernur DKI Jakarta No. 4143/073.3 pada 17 Oktober 1991 tentang penetapan pesangon atas bangunan rumah milik warga Tanah Merah sebesar Rp 37.000 per meter persegi.
Terbitnya keputusan tersebut membuat Wali Kota Jakarta Utara memerintah pembongkaran bangunan rumah milik warga penggarap di Tanah Merah. Namun, upaya tersebut dilawan warga. Mereka mengajukan gugatan kepada PTUN agar penggusuran ditangguhkan.
Warga menang. PTUN menetapkan surat nomor 013/G/1992/PR/PTUN-JKT yang berisi perintah kepada Wali Kota Jakarta Utara untuk menangguhkan pembongkaran bangunan rumah yang dihuni warga penggarap.
Bara di Tanah Merah terus menyala. Sepanjang tahun 1992 saja, Pemerintah Kota Jakarta Utara terus melakukan upaya pembongkaran di Tanah Merah.
Dua puluh tahun kemudian, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengupayakan jalan tengah di Tanah Merah. Ia membentuk tim teknis yang bertugas menginventarisir, mencari solusi, memonitor, dan mengevaluasi pelaksanaan program penyelesaian masalah Tanah Merah.
Namun, 11 bulan kemudian, Fauzi Bowo purnatugas. Gubernur DKI Jakarta yang menggantikannya, Joko Widodo, kemudian memberikan KTP bagi warga Tanah Merah sesuai janji kampanyenya. Inilah yang hingga kini menjadi pegangan warga Tanah Merah.
“Jokowi meresmikan dan menerbitkan RT-RW sesuai domisili. Artinya, secara administratif kami sudah dilaksanakan (sah),” kata Muktar, Bendahara FKTMB, kepada kumparan.
Sepanjang Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta, warga Tanah Merah gembira. Namun, status warga kembali terancam oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kemudian menggantikan Jokowi yang terpilih menjadi presiden.
Ahok menghentikan air PAM yang mengaliri Tanah Merah. Ia menyatakan, tanah yang dihuni warga Tanah Merah tak jelas statusnya. Ahok hendak menertibkan kawasan itu.
Sebaliknya, Anies Baswedan yang merupakan rival Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017 berniat untuk menata Tanah Merah. Hal itu kemudian ia realisasikan ketika terpilih.
“Saat Anies jadi Gubernur, dia keluarkan Kepgub 878 Tahun 2018 tentang penataan kampung. Infrastruktur terbangun (di Tanah Merah). Bahkan kami sudah ada PAM. Kami juga punya IMB kawasan,” ucap Muktar.
Kampung di Tanah Merah yang semula kumuh jadi lebih tertata. Pemda membangun saluran air dan mengecor jalan. Setelahnya, warga terus mendapat celah untuk menegaskan status mereka di Tanah Merah.
Pada 2018, Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 86 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Warga tertarik dan segara mendaftarkan PTSL mereka.
“Secara aturan, kami sudah di PTSL-kan. Sudah ada persil-persilnya. Jadi mau itu tanah negara atau BUMN, sudah kami PTSL-kan. Enggak mungkin BPN mem-PTSL tanah orang kan?” kata Muktar.
Muktar yang tinggal di Tanah Merah sejak 1978 merasa Pertamina tak berupaya berembuk dengan warga soal lahan. Tidak pula mengedukasi warga soal bahaya tinggal di dekat tangki bahan bakar.
Saat ini Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta tengah mengidentifikasi masalah guna menemukan solusi bagi kawasan tersebut. Menurut Kepala Kanwil BPN Wartomo, situasi pemetaan status tanah di wilayah Tanah Merah tengah diperbaharui.
Dalam situs bhumi.atrbpn.go.id yang diakses Senin (13/3), bidang tanah yang kini ditempati Depo Pertamina Plumpang bertipe HGB, sedangkan permukiman warga di sisi utara dan timur yang bersebelahan dengan depo tipe haknya masih kosong atau belum terdaftar.
Adapun permukiman warga di timur laut depo statusnya beragam. Ada yang masih kosong atau belum terdaftar, ada pula yang sudah memiliki HGB, hak pakai, atau hak milik.
Perkara permukiman warga di sekitar depo sejak dulu memang selalu menjadi batu sandungan Pertamina. Usul pemindahan permukiman warga bukanlah kewenangan Pertamina untuk menimbangnya. Yang kini dapat dilakukan Pertamina adalah membenahi Depo Plumpang.
Nantinya, bila Depo Plumpang telah berbenah, depo tersebut diharapkan akan menjadi percontohan bagi objek vital nasional lain.
Ahli tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, menekankan bahwa pemerintah wajib menjelaskan kepada masyarakat tentang bahaya bermukim di dekat depo Pertamina, bukannya membiarkan sengketa antara warga dan Pertamina mengambang sehingga menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Nirwono menjelaskan, pembangunan depo BBM di Plumpang yang berjarak 5 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok sesungguhnya sudah sesuai dengan Rencana Induk Djakarta 1965–1985 ketika area di sekitar depo kala itu masih berupa lahan kosong dan rawa.
Bahkan, dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985–2005, keberadaan Depo Plumpang dipertahankan dan dilindungi sebagai fasilitas penting nasional. Oleh sebab itu, Nirwono mendesak perlunya penataan ulang kawasan Plumpang.