Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tukang Pasang Spanduk Caleg: Tahun Pemilu Tahunnya Duit
11 Maret 2019 12:38 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
Mamat tak mau namanya disebar ke publik. Amat berisiko buatnya, dia bilang. Mamat bukanlah penjahat kelas kakap yang kini diburu petugas keamanan; bukan pula petinggi partai yang ingin menyebarkan aib lawan politiknya; bukan juga koruptor yang mau menjadi whistleblower dengan syarat identitas disembunyikan.
Mamat—begitu nama samarannya—adalah tukang pasang spanduk calon legislatif yang gambarnya kerap Anda lihat di pinggir-pinggir jalan.
“Tahun pemilu buat saya tahunnya duit,” katanya. Ia ketiban rejeki nomplok. Selain menjadi pemasang spanduk caleg, ia juga menjadi koordinator kelurahan. Tugasnya? Tak lain menjadi pintu masuk buat caleg yang hendak bersosialisasi ke masyarakat di kelurahannya.
Alurnya:
Lalu, sebelum si Caleg sempat berkata-kata, Mamat akan menjelaskan dana Rp 7 juta itu dibutuhkannya untuk berbagai hal. Misalnya: ongkos sewa tempat; ongkos sewa dan pasang tenda; ongkos sound system; uang transport RT dan RW; sampai biaya sewa ustazah yang memberikan ceramah.
“Makin banyak yang dateng, makin gede lagi,” katanya. Tak perlu dijelaskan lagi, Mamat dapat uang capek cukup besar dari nominal tersebut.
Di sebuah tempat di Jakarta Selatan, Kamis (7/3) lalu, kumparan berbincang panjang lebar dengan Mamat mengenai modelnya mencari nafkah. Ia menceritakan ongkos yang ia dapat untuk pemasangan satu spanduk; soal caleg yang tak membayar jasa pemasangan; dan kenakalannya ‘merusak’ spanduk agar ia dapat upah pasang lagi.
Berikut obrolan lengkapnya:
Kalau sedang musim pemilu begini ramai orderan ya?
Kalau buat saya sih tahun pemilu tahunnya duit. Itu kalau buat pribadi saya. Cuma kadang-kadang gara-gara ini saya juga meninggalkan pekerjaan saya dulu, saya agak push ke sini dulu (membantu) caleg yang butuh kita sajalah.
Pemilu kali ini bagaimana peghasilannya?
Kalau yang ini sih memang paling gede. Karena kan beda sama yang tahun-tahun sebelumnya, ini kan capres, DPR RI, DPRD, sama DPD.
Makanya saya bilang, kalau tahun pemilu buat saya ya tahunnya duit. Jadi pesta beneran. Tapi yang tahun ini yang bener-bener wah dari yang sebelumnya. Sekarang saja total ada empat caleg saya pegang.
Jasa yang anda tawarkan apa saja? Pasang spanduk?
Palingan dia minta data, sosialisasi. Biasanya dia (caleg) minta dibantu cari data massa yang mau mendukung dia. Udah kasih data segala macam kita serahin ke timnya, baru kita mengajukan, ‘Apakah Bapak/Ibu caleg mau sosialisasi ke lingkungan ini?’ Ini lebih banyak yang mau.
Misalnya caleg itu mau sosialisasi untuk memperkenalkan siapa dia ke masyarakat. Nah, pas sosialisasi kan otomatis ada spanduk dia. Dari situlah baru bikin spanduk. Kita sih enggak (minta) berapa tapi adalah upah, ya sekitar hampir 1,5 juta.
Itu Rp 1,5 juta pemasangan spanduk saja?
Itu untuk acara sosialisasi doang. Misalnya, di lingkungan sini dia dateng. Nah saya tuan rumahnya, otomatis saya harus pasang tenda, sound system, segala macam.
Kita juga harus manggil ketua RT, RW, itu beda-beda. Misalnya ada ustazah, RT, RW. Tergantung berapa RT yang dateng, makin banyak (makin gede lagi).
Belum lama nih calon anggota DPD [salah satu partai] saya di [salah satu kelurahan di Jakarta Selatan], satu orang RT diamplopin Rp 500 ribu. Nah, untuk biaya tempat itu Rp 500 ribu, biaya sound system Rp 300 ribu, sama biaya panitianya Rp 500 ribu.
Karena sekali dateng ada empat RT, 4 kali 500 ribu udah Rp 2 juta. Nah, bisa dibilang keseluruhan kalau untuk satu acara hampir sekitar Rp 7 juta. Termasuk sama (upah) saya, kan saya korkel (koordinator kelurahan).
Sebagai korkel, di satu acara bisa dapat untung berapa?
Kan kita kerja dulu, kadang-kadang enggak langsung dibayar. Kemaren itu habis acara koordinator saksi, dua kegiatan, dikasih amplop tim saya bertiga ada Rp 1,5 juta juta dibagi tiga.
Kalau pilgub kemarin itu akhirnya dapat Rp 12 juta. Itu palingan 2,5 bulan. Saya sama tim saya kalau ngajak orang kita enggak mau motong-motong hak orang. Kadang korkelnya ada yang motong, diambil gocap (Rp 50 ribu).
Kalau saya mainnya di kuota. Saya delapan (orang), saya tulis 10. Kan enggak (ada yang) tersakiti, jatahnya enggak diambil. Misalnya dua amplop lebih itu ya saya bagi juga bertiga. Itu biar orang ikut dan seneng. Kerja sampai setengah 11 malam, kan kasian yang punya anak, istri. Masih dipotong juga kan kacau.
Acara pertemuan itu seberapa sering?
Seminggu kemarin tiga kali dari dua calon. Yang satu calon dua kegiatan. Dalam satu minggu begitu.
Mamat kemudian bercerita, ia hanyalah satu simpul di rantai panjang tim pemenangan seorang caleg. Biasanya, kata dia, per dapil dibagi menjadi jumlah kecamatan yang ada pada dapil tersebut. Misalnya, untuk Dapil 6 DKI Jakarta, akan ada empat koordinator kecamatan (korcam): satu untuk Kecamatan Pasar Rebo, Kecamatan Makasar, Kecamatan Ciracas dan Kecamatan Cipayung.
Lalu, di bawah per kecamatan dibagi menjadi beberapa koordinator kelurahan (korkel). Jumlahnya tergantung berapa kelurahan. Di bawah korkel, ada korwe (koordinator RW). Terakhir, ada pula koordinator TPS. Mamat berada di posisi korkel, yang menurutnya paling banyak berperan dalam pemenangan caleg. “Yang paling tinggi itu korcam,” katanya.
Di luar sosialisasi, pemasangan spanduk berapa sih?
Tergantung. Misal kita per wilayah dikasih berapa spanduk. Biasanya kita sih dikasih 10-20 spanduk. Terus kita pasang target, minimal 10 hari. Nah 10 hari itu kadang-kadang kita dikasih Rp 500 ribu. Nanti misal pekerjaan sudah selesai, ditambahin buat uang transport dan segala macam biasanya sekitar Rp 250 ribu lah.
Itu untuk sendiri atau dibagi dengan tim?
Sama tim, palingan yang ngerjain dua orang atau bertiga. Karena pastikan yang panjang itu masang berdua yang satu foto. Udah selesai kita laporan.
Pernah nggak dibayar?
Ada nih saya satu caleg, saya belum dibayar. Makanya saya update begini, 'Udah kenyang saya sama bahasa koordinasi, tapi enggak pernah terealisasi.' Saya WA gitu ke calegnya langsung.
Setelah spanduk saya pasang segala macam, (timsesnya) alasan segala macam, enggak terealisasi, belum dibayar sampai sekarang. Saya memasang jam 01.48 sampe jam 02.30 WIB. Untungnya saya enggak pasang semua, kalau saya pasang semua, saya yang makan hati.
Anda paling banyak masang berapa spanduk dari satu paslon?
Satu orang 10 spanduk. Cuma, saya ambil lima, saya pasang empat. Ternyata kan belum ada pembayaran juga tuh.
Upah untuk kerja seperti ini yang menentukan siapa?
Dari mereka. Dan mereka pun pasti sudah nanya ke yang lain juga, berapa sih biaya masang spanduk. Untuk semua pasti dipukul rata, ada yang Rp 100 ribu. Sekarang dipukul rata Rp 100 ribu per spanduk. Kalau baliho udah jutaan.
Pernah pasang baliho?
Ini rencananya dari [salah satu partai] caleg cewek mau pasang di pertigaan, tapi masih belum. Rp 20 juta ada kalau itu. Itu untuk baliho ukuran sekitar tingginya 10 meter.
Mahal karena banyak izin ya?
Iya, itu kan kita harus izin RW, RT, segala macam. Kalau yang tinggi itu pasti warga juga tahu, ‘Ini pasti ada duitnya.’ Kalau yang kecil-kecil panjang mah enggak ada izin.
Dalam pemasangan ada strateginya atau tidak? Misal di tempat bagus? Atau asal saja dipasang?
Balik lagi, yang benar-benar memperhatikan kita ya kenapa enggak? Kita kan take and give. Kita kasih tempat yang bagus biar dia seneng juga: pasang di perempatan, pertigaan, biar kelihatan orang lalu lalang.
Kalau misalnya cuek bebek ya asal pasang saja. Kembali lagi ke calegnya. Kalau calegnya memperhatikan ya kasih yang bagus.
Ada juga, misal, sudah dipasang, ada yang dicopotin, ada yang sobek kepalanya di-cutter, ada yang diambil. Tapi, yang penting, selama sudah dipasang, difoto, sudah nyampe ke caleg, sudah!
Masalah dia rusak atau apa ya bukan urusan kita. Paling nanti dia (caleg) bilang, ‘Tolong pasangin lagi.’ Nah, itu ada duitnya lagi. Kadang-kadang juga kita juga ancurin tuh, biar kita pasang lagi, dapet lagi duit. Makanya harus pinter-pinter.