Ukraina, Swedia dan Sekjen: Tiga Masalah Besar NATO Jelang KTT

10 Juli 2023 12:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sebuah pesawat pengintai NATO AWACS mendarat di Pangkalan Airlift ke-90 Angkatan Udara Rumania, di Otopeni, Ilfov, Rumania. Foto: Inquam Photos/George Calin via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah pesawat pengintai NATO AWACS mendarat di Pangkalan Airlift ke-90 Angkatan Udara Rumania, di Otopeni, Ilfov, Rumania. Foto: Inquam Photos/George Calin via REUTERS
ADVERTISEMENT
KTT NATO akan digelar selama dua hari di Vilnius, Lithuania, mulai besok pada Selasa (11/7) hingga Rabu (12/7). Dalam pertemuan puncak itu, ke-31 negara anggota dihadapkan sejumlah tantangan berat yang dapat menentukan persatuan NATO di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pembahasan soal langkah terbaru menyikapi konflik antara Rusia dan Ukraina, blok militer Barat ini juga memiliki isu internal yang cukup mendesak.
Isu-isu tersebut yaitu keanggotaan Ukraina, bergabungnya Swedia, hingga siapa sosok tepat memimpin NATO.
Dikutip dari Associated Press, tantangan tersulit yang dihadapi NATO adalah soal keanggotaan Ukraina sebagai anggota terbarunya. Ada dua pihak di dalam badan NATO yang memiliki pandangan berbeda.
Ada yang berpendapat bahwa mengakui Ukraina akan memenuhi janji anggota NATO beberapa tahun lalu sekaligus menjadikannya sebagai langkah guna mencegah agresi Rusia di kawasan Eropa Timur.
Tetapi, sebagian anggota ada pula yang memandangnya sebagai provokasi yang dapat menimbulkan eskalasi konflik antara Rusia dengan Barat — sesuatu yang dapat memicu perang skala global.
ADVERTISEMENT
Bagi Amerika Serikat sendiri, keanggotaan Ukraina ke dalam NATO bukanlah suatu urgensi. Presiden Joe Biden dalam wawancaranya dengan CNN beberapa waktu lalu mengatakan, Ukraina masih belum memenuhi kualifikasi untuk menjadi anggota NATO.
Presiden Joe Biden berbicara selama konferensi pers di NATO setelah bertemu dengan sekutu tentang invasi Rusia ke Ukraina, di Brussels, Kamis, 24 Maret 2022. Foto: Evan Vucci/AP Photo
"Saya rasa Ukraina belum siap untuk menjadi anggota NATO," ujar Biden, pada Minggu (9/7). Menurut pemimpin berusia 80 tahun itu, bergabung dengan NATO artinya mengharuskan negara-negara untuk memenuhi semua kualifikasi — mulai dari demokratisasi hingga berbagai macam isu lainnya.
Oleh karenanya, sambung Biden, saat ini langkah paling tepat yang dapat dilakukan adalah memberikan bantuan keamanan sebaik mungkin kepada Ukraina untuk bisa mempertahankan diri.
Selain itu, kemungkinan masuknya Ukraina ke NATO sebenarnya telah disinggung sejak 2008. Namun, sejak saat itu hanya sedikit tindakan yang dilakukan aliansi militer untuk mencapai tujuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Presiden Volodymyr Zelensky pada gilirannya berulang kali menekankan pentingnya bagi mereka bergabung ke dalam NATO. Apabila masih belum dapat terealisasikan, maka dia menuntut jaminan keamanan dari aliansi militer itu.
"Ini [jika Ukraina bergabung ke NATO] akan menjadi pesan yang penting untuk mengatakan bahwa NATO tidak takut pada Rusia," kata Zelensky dalam wawancaranya dengan ABC.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky saat berpartisipasi dalam konferensi media dengan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg di markas NATO di Brussels, Belgia, Kamis, 16 Desember 2021. Foto: Olivier Matthys/AP Photo
"Ukraina harus mendapatkan jaminan keamanan yang jelas selama tidak berada di dalam NATO. Dan itu adalah poin yang sangat penting. Hanya dalam kondisi seperti ini pertemuan kami akan bermakna. Jika tidak, ini hanyalah politik biasa," tegas dia.
Tantangan terbaru atas solidaritas sesama anggota NATO juga diuji oleh pernyataan Biden pada pekan lalu, yang mengaku penyediaan amunisi bom klaster untuk Ukraina sebagai keputusan yang sulit.
ADVERTISEMENT
Lebih dari dua per tiga anggota aliansi telah melarang senjata jenis ini, lantaran memiliki rekam jejak yang menyebabkan banyaknya jumlah kematian warga sipil.

Keanggotaan Swedia ke NATO

Selain perihal Ukraina, isu lain yang menjadi sorotan adalah keanggotaan Swedia ke dalam NATO. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, telah menjadi salah satu pihak yang paling vokal dalam menentang gagasan tersebut.
Pemimpin salah satu negara anggota NATO itu menuding Barat bersikap terlalu lunak terhadap serangkaian demonstrasi islamofobia yang terjadi di berbagai negara Eropa seperti Swedia dan Belanda.
Demonstrasi menentang Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan tawaran NATO Swedia diatur oleh The Kurdish Democratic Society Center, di Stockholm, Swedia, Sabtu (21/1/2023). Foto: Christine Olsson via REUTERS
Erdogan juga mengecam Swedia telah melindungi kelompok militan Kurdi PKK yang dinilai sebagai teroris dan merupakan otak di balik kudeta Turki pada 2016. Tak hanya Erdogan, Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban menjadi pihak lain yang menolak keanggotaan Swedia di NATO.
ADVERTISEMENT
KTT NATO besok juga dihadapkan pada isu soal dilantik kembalinya Jens Stoltenberg sebagai Sekjen NATO hingga Oktober 2024 mendatang.
Eks Perdana Menteri Norwegia yang telah menjadi Sekjen NATO sejak 2014 itu dipilih lantaran para anggota gagal menyepakati pemimpin baru di tengah bayang-bayang tantangan yang ada.
Adapun Stoltenberg seharusnya sudah turun jabatan pada tahun lalu, tetapi ini adalah masa jabatannya yang keempat periode.
Sebagian besar anggota NATO menginginkan seorang wanita untuk menjadi sekretaris jenderal berikutnya. Selain itu, Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen juga dianggap sebagai kandidat favorit.
Sekjen NATO Jens Stoltenberg Foto: AP Photo/Andreea Alexandru
Namun, Polandia bersikeras untuk hanya memilih kandidat-kandidat dari negara Baltik saja. Sebab, sudah ada dua sekjen dari negara Nordik yang menjabat sebelumnya (Stoltenberg dari Norwegia dan Anders Fogh Rasmussen dari Denmark).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, terdapat negara-negara anggota lain yang skeptis untuk mengakui calon sekjen dari negara Baltik. Hal itu dikarenakan para pemimpinnya cenderung bersikap lebih provokatif dalam pendekatannya dengan Rusia, termasuk sangat mendukung keinginan Ukraina untuk segera bergabung dengan NATO.
Dengan kata lain, para anggota NATO cenderung sulit menemukan sosok pemimpin yang mampu menampung seluruh aspirasi variatif mereka dan mengambil langkah solid untuk menyikapi konflik yang terjadi.