Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Maulana, 22 tahun, biasa menunda pekerjaan sampai menit-menit terakhir. Apabila pekerjaan sudah harus selesai pukul 07.00 WIB, ia baru akan serius mengerjakan tugasnya pada malam sebelumnya --atau bahkan di dini hari pada tanggal yang sama.
ADVERTISEMENT
“Kadang nggak bisa mikir kalau belum (deket) deadline,” katanya sambil terkekeh.
Baginya, bermain-main dengan tenggat waktu maksimal adalah hal biasa. Meski, tentu saja, hal tersebut diikuti dengan adanya sedikit rasa mengganjal setelah tugas usai dikerjakan.
“Ya biasanya kepikiran, ‘Ini yang buru-buru ngerjainnya aja jadinya begini, kira-kira gimana ya kalau lebih lama disiapinnya?’ gitu,” akunya. “Tapi ya biasanya diliat-liat dulu sih emang. Kalau keliatan, ‘Wah susah nih,’ ya nggak berani deadliner amat.”
Procrastinator --begitulah Maulana menyebut dirinya dan orang-orang sepertinya. Mereka mengklaim, semakin dekat dengan batas waktu, semakin lancar pula otaknya bekerja. Dan orang-orang macam Maul ini tak sendiri.
Berdasarkan penelitian oleh Joseph Ferrari, seorang profesor psikologi dari DePaul University, Amerika Serikat, sebanyak 20 persen dari orang dewasa merupakan penunda-nunda pekerjaan (procrastinator) yang kronis.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, menurut Ferrari, tak semua orang-orang yang menunda pekerjaan termasuk dalam kategori procrastinator. “Yang saya temukan, semua orang mungkin menunda pekerjaan, tapi tak semua yang menunda pekerjaan termasuk procrastinator,” ucapnya, seperti dikutip dari Association for Psychological Science (APS).
Seorang procrastinator sejati memiliki kegagalan dalam mengatur diri sendiri. Para ahli mendefinisikannya sebagai penundaan secara sengaja sebuah kerjaan yang sebenarnya memang seseorang niatkan untuk kerjakan. Bahkan, penundaan secara sengaja itu tetap dilakukan meski ia tahu hal tersebut akan berdampak buruk bagi dirinya.
Dari situ, menurutnya, banyak mitos-mitos soal procrastination yang menyesatkan banyak orang. Seperti, misalnya, bahwa mereka mampu berpikir lebih baik ketika berada di bawah tekanan --atau yang kerap disebut dengan “active procrastination”.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut diungkapkan oleh Tim Pychyl, direktur Procrastination Research Group di Carleton University, Kanada. Ia melihat bahwa konsep “active procrastination” --yang merujuk pada penundaan bekerja sampai menit terakhir-- adalah sesuatu yang menguntungkan merupakan sesuatu yang salah.
“Secara konsep saja itu sudah oksimoron. Sedangkan, apabila melihat data, kami tidak melihat keuntungan itu (menunda-nunda pekerjaan),” ucapnya seperti dilansir NBCNews .
Menurutnya, apa yang disebut dengan “active procrastination” adalah penundaan dengan tujuan (purposeful delay). Orang-orang yang digolongkan dalam “active procrastinator” bekerja di menit-menit akhir, karena mereka yakin mereka bisa melakukannya.
“Itu bukan procrastination. Procrastination itu adalah keadaan ketika Anda tahu Anda harus bekerja sekarang, tapi justru berkata, ‘Ah, aku sedang tidak ingin mengerjakannya, aku akan melakukan hal lain saja,’” jelas Pychyl.
ADVERTISEMENT
Hal itu, menurut Ferrari yang pernah menulis buku Still Procrastinating: The No-Regrets Guide to Getting It Done (2010) , adalah masalah prioritas semata.
“Jika seseorang punya belasan hal yang harus ia kerjakan, tentu saja 10, 11, atau 12 hal lain di antaranya harus menunggu. Pasti, ia akan memulai salah satu hal dulu,” ucap Ferrari.
Dari dua penjelasan itu, terang bahwa Maulana --tokoh yang kita ulas di awal tulisan-- bukanlah seorang procrastinator. Deadliner, mungkin saja --tapi bukan procrastinator.
“Orang-orang yang benar procrastinator tidak hanya membuat daftar prioritas. Mereka akan melakukan satu atau dua hal, dan kemudian mengubah kembali daftar tersebut, mengacaukan urutannya, terus menimbang-nimbang, dan justru tidak menyelesaikan apapun,” jelas Ferrari soal procrastinator sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, Maulana benar dengan sekelumit penyesalannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang merasa hasil pekerjaan lebih baik ketika dikerjakan di menit akhir adalah salah.
“Mereka ini justru lebih buruk hasil pekerjaannya ketimbang non-procrastinator. Tapi (karena waktu pengerjaannya yang singkat) mereka jadi berpikir telah bekerja lebih baik,” ucap Ferrari.
“Di sini, ada mispersepsi, bahwa dengan menunggu sampai menit akhir hasil pekerjaan mereka akan menjadi lebih baik,” jelas Ferrari, mewanti-wanti agar menilai secara cermat sebelum menunda pekerjaan kita.
Di sisi lain, Ferrari juga menjelaskan bahwa procrastination adalah masalah yang cukup serius. Penilaian yang menganggap procrastination hanyalah masalah manajemen waktu belaka dinilainya salah total.
“Orang-orang berpikir bahwa procrastinator adalah para pemalas saja. Tapi itu salah,” jelas Ferrari. Menurutnya, lebih buruk dari itu, procrastination adalah strategi kebiasaan menghindar yang akut.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah bentuk denial (penolakan terhadap diri sendiri) dan penundaan. Ini membuat Anda tidak mampu menunjukkan kemampuan asli Anda.”
Pychyl juga menunjukkan temuan yang mendukung penilaian Ferrari tersebut. Ia melihat, bahwa orang-orang yang mampu memaafkan diri sendiri karena telah menunda-nunda pekerjaan sebelumnya, tidak akan lebih parah dalam menunda pekerjaan selanjutnya. Justru, tingkat penundaan orang tersebut akan berkurang.
“Ketika kita tidak memaafkan diri sendiri karena penundaan sebelumnya, kita akan lanjut menghindari dan bersifat denial terhadap pekerjaan di masa depan,” ucap Pychyl.
Pychyl berargumen bahwa orang-orang yang menunda pekerjaan hanya menghindari untuk tidak terkena perasaan negatif dalam kurun waktu singkat (karena melakukan pekerjaan).
“Dan itu menunjukkan,” lanjutnya, “bahwa procrastination bukanlah masalah manajemen waktu. Ini masalah manajemen emosi.”
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah penting, satu procrastinator ternyata tidak bersimpati lebih pada sesama procrastinator lain. Dalam penelitiannya, Ferrari menemukan kesimpulan ini, “Kalau Anda berharap simpati dari sesama procrastinator, Anda tidak akan mendapatkannya.”
Ferrari menemukan, ada perbedaan bagaimana bos yang procrastinator dan yang non-procrastinator dalam menilai bawahannya yang procrastinator.
“Yang kami temukan justru seorang pimpinan procrastinator lebih ingin memecat bawahannya yang juga procrastinator ketimbang pimpinan lain yang biasa saja.”
Jadi, ketika Anda adalah seorang yang kerap menunda-nunda pekerjaan, jangan berharap banyak pada bos Anda yang punya keadaan yang sama: tak ada simpati, ia justru akan lebih keras kepada Anda.
===================
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline !