Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
YLBHI Minta Polri Berbenah, Singgung Ratusan Korban Kasus Penyiksaan
1 Juli 2024 19:39 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Polisi diminta berbenah di momen HUT ke-78 Bhayangkara. Catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), masih banyak pekerjaan rumah di tubuh institusi Polri.
ADVERTISEMENT
YLBHI menilai, agenda reformasi Polri saat ini hanya tertinggal di atas kertas dan gagal dalam implementasinya. Kegagalan utama adalah tidak berhasil menjadi lembaga yang menghormati hak asasi manusia dan demokrasi.
"Polri sebagai alat negara diharapkan menjamin perlindungan HAM dan mengayomi warga kini justru menjadi 'alat kekuasaan' yang represif, brutal, arogan dan menjadi pelanggar hukum dan HAM demi melancarkan akumulasi modal maupun politik," kata YLBHI dalam siaran pers, Senin (1/7).
YLBHI menyoroti tema HUT Bhayangkara 2024 “Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi Ekonomi Yang Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas.”
Tema yang diusung, menurut YLBHI, menunjukkan visi kepolisian yang semakin menjauh dari cita kepolisian sebagai penegak hukum dan pengayom warga yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menunjukkan keberpihakannya kepada kekuasaan dan modal.
ADVERTISEMENT
"Dukungan terhadap percepatan transformasi ekonomi yang inklusif tersebut ternyata dimaksudkan untuk lebih ramah kepada para investor/pemodal di satu sisi, sekaligus brutal terhadap rakyat yang mempertahankan sumberdaya kehidupannya," kata YLBHI.
Data YLBHI
Hal itu bukan tanpa sebab, data YLBHI-LBH, sepanjang tahun 2019 - Mei 2024 setidaknya terdapat 95 kasus kriminalisasi yang menjerat ratusan korban dari latar belakang petani, buruh, akademisi, jurnalis, hingga mahasiswa.
Kemudian di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 - 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan kepolisian yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor.
"Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian atau dikomandoi oleh aparat kepolisian," kata YLBHI.
ADVERTISEMENT
"Tak pelak, Kepolisian menjadi lembaga dominan yang paling banyak dilaporkan sebagai pelanggar HAM di Komnas HAM dan pelaku malaadministrasi di Ombudsman RI dalam satu dekade terakhir," sambungnya.
YLBHI juga menyinggung soal soal "bisnis keamanan" yang dilakukan aparat untuk melindungi kepentingan privat seperti perkebunan kelapa sawit maupun tambang–baik legal maupun ilegal.
"Keterlibatannya mulai dari aktif sebagai pengaman wilayah hingga pemodal. Keterlibatan bisnis polisi juga meluas ke sektor narkoba seperti halnya ditunjukkan dalam kasus Teddy Minahasa," kata YLBHI.
"Sedangkan di sektor politik, aparat kepolisian terlibat dalam politik praktis pemilu seperti halnya dengan mengkampanyekan secara aktif salah satu calon presiden tertentu dalam Pemilu 2024 lalu. Bahkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kendati masih aktif menduduki jabatan kepolisian," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Polri yang diharapkan dapat menjadi tempat pengaduan masyarakat jika mereka mengalami kekerasan dan membutuhkan perlindungan justru sulit diharapkan.
Seperti halnya praktik kekerasan, kasus penyiksaan, pembubaran serikat, maupun pelaporan kekerasan seksual yang dihadapi korban sulit mendapatkan keadilan.
Sulitnya Penerapan UU TPKS oleh Polisi
YLBHI juga merefleksikan sulitnya penerapan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) karena minimnya pemahaman keadilan gender aparat kepolisian.
Tak jarang, banyak kepolisian yang justru masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai rujukan hukum penanganan kasus kekerasan seksual. Kondisi tersebut menghasilkan mangkraknya pelaporan kasus dan hilangnya akses korban mendapatkan keadilan.
"Parahnya, kita terus mendengar aparat kepolisian menjadi pelaku kejahatan namun kerap kali mendapatkan keistimewaan hukum bahkan kebal hukum. Tidak berjalannya pengawasan di internal maupun eksternal kepolisian membuat Kepolisian mendapatkan impunitas," kata YLBHI.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Polri
Kemudian, YLBHI juga mengomentari munculnya wacana revisi UU Polri, yang dinilainya revisi kilat dan tertutup melalui pengajuan inisiatif DPR.
"Di dalam draf revisi tersebut, Polri akan diberikan kewenangan ekstra untuk menjadi lembaga superbody dengan pemberian hak hukum untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber (Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q))," kata YLBHI.
"Pasal ini memberikan kewenangan untuk mematikan jaringan internet kepada Polri. RUU Polri juga memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki Polri sampai melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen (Pasal 16A)," lanjut YLBHI.
"Polri juga diberi wewenang lebih untuk melakukan penyadapan (Pasal 14 ayat (1)) tanpa adanya dasar hukum undang-undang penyadapan. Yang mengkhawatirkan, tidak ada mekanisme pengawasan yang diatur untuk memastikan kewenangan-kewenangan tersebut dijalankan sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Atas hal tersebut, YLBHI mendesak agar:
ADVERTISEMENT
Desakan itu disampaikan oleh LBH-YLBHI (LBH Papua, LBH Banda Aceh, LBH Pekanbaru, LBH Medan, LBH Palembang, LBH Padang, LBH Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Samarinda, LBH Palangka Raya, LBH Kalimantan Barat, LBH Manado, LBH Makassar).