Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
***
Sabtu, 9 Juli 2022, Samuel Hutabarat berulang tahun. Namun, ia menerima kado pahit: peti berisi berisi jenazah anak keduanya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Lebih pahit lagi karena “kado” itu tak boleh dibuka.
Petugas yang mengantarkan jenazah Yosua ke keluarganya di Desa Suka Makmur, Muaro Jambi, itu antara lain Pemeriksa Utama Divisi Propam Polri Kombes Leonardo Simatupang dan Kabid Propam Polda Jambi Kombes Alfonso Doly Gilbert Sinaga.
Kepada keluarga, Kombes Leo mengabarkan Brigadir Yosua tewas sehari sebelumnya, Jumat, 8 Juli, dalam baku tembak dengan rekannya sesama polisi di rumah dinas atasan mereka: Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo .
Yosua merupakan salah satu ajudan Sambo. Ia sudah 2,5 tahun bekerja untuk Sambo dan dianggap banyak orang sebagai salah satu orang kepercayaan keluarga itu.
Kombes Leo menyodorkan surat penyerahan jenazah kepada keluarga. Namun, Samuel enggan menandatanganinya kecuali ia dan keluarga diizinkan melihat jenazah Yosua.
Awalnya, pihak kepolisian kukuh tak memperbolehkan. Namun karena pertimbangan tertentu, Samuel akhirnya mendapat izin untuk membuka peti jenazah Yosua.
“Tapi dengan catatan Pak, peti mati itu jangan dibuka keseluruhan. Separuhlah... Dan jangan dibuka bajunya, soalnya itu sudah diautopsi. Banyak orang enggak tahan melihat jahitannya,” ujar Kombes Leo, berpesan kepada Samuel.
Samuel tak mempermasalahkan hal itu. Yang penting, kata dia, “Saya lihat [langsung] luka tembaknya.”
Setelah kata sepakat didapat, Samuel dan bere-bere atau para ponakannya lantas membuka baut-baut peti menggunakan sarung tangan. Tapi, saat peti berhasil dibuka, Samuel malah stres. Ia melihat wajah anaknya penuh luka.
Lipsus kumparan edisi 18 Juli menceritakan momen ketika Samuel menunjuk satu per satu letak luka pada tubuh anaknya yang terlihat olehnya: di hidung, mulut, sekitar mata kanan, lubang di dada kanan, daan luka serpihan di beberapa bagian tubuh lain.
Tambahan, menurutnya, rahang Yosua bengkak dan mudah bergeser ke samping. Samuel jadi curiga: mengapa kondisi jenazah anaknya “sekacau” itu?
“Ini bukan tembak-menembak. Ini berantem dengan kawannya yang mana, nih? Ini penganiayaan,” kata Samuel, meyakini.
Itulah pertama kali keluarga menduga Yosua bukan sekadar tewas karena baku embak.
“Banyaklah kami berasumsi [ada penganiayaan]. Orang melihat mukanya [Yosua] juga ngeri,” ujar Samuel.
Asumsi penganiayaan terhadap Yosua menjadi salah satu sebab keluarga Yosua menunjuk Kamaruddin Simanjuntak dan Johnson Panjaitan sebagai kuasa hukum pada 13 Juli.
Keluarga yakin betul bahwa Yosua tewas bukan tewas karena baku tembak seperti keterangan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan dan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto.
“Tembak-menembak kan mengakibatkan luka bekas peluru, tetapi kalau luka bekas senjata tajam, luka lebar, memar, dan sebagainya, ini bukan tembak-menembak. Harus diuji ahli forensik,” kata Kamaruddin kepada kumparan, 17 Juli.
Kamaruddin kemudian merinci luka-luka lain pada tubuh Yosua. Rincian itu telah diulas dalam Lipsus kumparan jilid I mengenai kasus kematian Yosua.
Kamaruddin kepada kumparan menunjukkan foto-foto jasad Yosua yang memperlihatkan luka sayatan di leher, sayatan di belakang kepala, luka di pundak, lubang di tangan diduga luka peluru, patah di jari manis dan kelingking, luka tusuk diduga dari senjata tajam di bawah betis, lebam di perut kiri-kanan diduga bekas penganiayaan, bengkak di telinga, serta robekan di kulit belakang telinga diduga bekas jahitan.
“Ada bekas senjata tajam—mungkin badik atau apa, belum jelas. Masih memerlukan investigasi: siapa yang menyayat-nyayat? Siapa yang melukai [Yosua]?” kata Kamaruddin kala itu.
Temuan keluarga Yosua yang berbeda dengan keterangan polisi membuat Kamaruddin melaporkan kasus kematian Yosua ke Bareskrim Polri atas dugaan pembunuhan berencana.
Klarifikasi Pertama: Bukan Baku Tembak
Laporan dugaan pembunuhan berencana oleh keluarga Yosua menjadi pijakan bagi Bareskrim Polri untuk menguak kejanggalan kasus kematian Yosua.
Dalam konferensi pers oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit, Irwasum Komjen Agung Budhi Maryoto, dan Kabareskrim Agus Andrianto, terungkaplah bahwa Yosua memang bukan tewas dalam baku tembak.
“Timsus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah penembakan terhadap Saudara J (Yosua) yang membuat Saudara J meninggal dunia, yang dilakukan RE (Bharada Richard Elizier) atas perintah FS (Irjen Ferdy Sambo),” kata Kapolri, Selasa (9/8).
Ia menjelaskan bahwa Sambo membuat peristiwa itu seperti tembak-menembak. Caranya dengan menembak ke dinding berkali-kali dengan pistol HS-9 milik Yosua, sehingga timbul kesan bahwa tembakan di dinding itu dibuat oleh Yosua.
Tim Khusus masih mendalami apakah Sambo juga ikut menembak Yosua, selain memberi perintah.
Namun, jika Yosua tewas ditembak, lantas dari mana asal luka-luka sayat yang ada di tubuhnya, seperti dilihat oleh pihak keluarga?
Klarifikasi Kedua: Yosua Tidak Disiksa
Sumber kumparan di lingkaran dalam penyelidikan yang menyaksikan jenazah Yosua sebelum diautopsi, menyatakan bahwa kondisi tubuh sang Brigadir terlihat bersih saat itu. Tak ada sama sekali tanda-tanda bekas penyiksaan.
“Rahang pun tidak bergeser,” ujarnya.
Sementara itu, tim kumparan juga melihat foto-foto jenazah Yosua di ruang autopsi dari sumber lain. Dalam salah satu foto, tampak tubuh Yosua dimiringkan. Tak ada luka bekas peluru tembus di belakang punggungnya.
Tak ada pula bekas memar di punggung Yosua. Yang ada hanya lebam berwarna biru tipis. Amat tipis.
Di bawah ketiak, samping perut kanan dan kiri Yosua, juga tidak terlihat lebam. Hal ini berbeda dengan foto yang diambil pihak keluarga pada Minggu (10/7), saat mereka membuka peti untuk menambahkan formalin ke jasad Yosua agar jenazahnya lebih awet berhubung waktu pemakaman tidak disegerakan.
Di foto versi keluarga, tampak lebam di bawah ketiak jenazah Yosua.
Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FKUI Ade Firmansyah menyatakan, apabila jenazah sudah mengalami pengawetan, maka sekadar pengamatan dan pendapat seseorang atas jasad itu, amat mungkin menimbulkan bias.
“Yang sahih adalah melihat bagaimana kondisi [jenazah] saat awal pemeriksaan. Itu kondisi yang sebenarnya,” kata Ade pada 21 Juli.
Jenazah Yosua diawetkan dua kali. Pertama, di RS Polri pada 8 Juli—hari Yosua tewas. Surat embalming ditandatangani oleh Kepala Instalasi Forensik RS Polri Arief Wahyono. Kedua, pada 10 Juli oleh dua petugas dari RSUD Sungai Bahar, Muaro Jambi.
Lipsus kumparan edisi 25 Juli telah memuat konfirmasi Arief Wahyono sebagai penanda tangan sertifikat pengawetan jenazah Yosua. Namun, Arief mengatakan tak tahu siapa yang mengautopsi jasad Yosua.
Menurut Ade Firmansyah, luka sayat pada jenazah yang diautopsi tak selalu menunjukkan penganiayaan. Sebab, dokter forensik bisa saja melakukan eksplorasi pada beberapa bagian tubuh jasad untuk mengetahui alur peluru atau kerusakan organ akibat kekerasan.
Dengan kata lain, ujar Ade, saat membedah mayat, dokter forensik lazim melakukan sayatan di tempat lain. Tak hanya pada bagian depan tubuh, melainkan pada bagian lain untuk mencari kemungkinan kelainan yang terjadi akibat kekerasan.
Dalam kedokteran forensik, tutur Ade, perlu tingkat pembuktian beyond reasonable doubt. Ia yakin hal ini juga diterapkan pada kasus Yosua. Jadi, sekalipun disebut bahwa Yosua tewas karena luka tembak, autopsi dilakukan untuk membuktikannya.
Saat melihat foto-foto autopsi, kumparan juga melihat pembuktian alur peluru pada jari-jari Yosua dicek menggunakan semacam besi kecil panjang berwarna perak yang berujung runcing.
Alat itu ditusukkan mengikuti alur luka yang ada pada jari-jari jenazah Yosua. Alat itu pun ditusukkan untuk membuktikan alur peluru dari bawah ke samping mata Yosua.
Metode menusukkan alat besi seperti sonde ini juga dilakukan saat tim dokter dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia mengautopsi ulang jenazah Yosua pada 27 Juli. Hal ini diungkapkan Kamaruddin berdasarkan kesaksian dokter keluarga Yosua yang turut dalam proses autopsi ulang.
“Di belakang kepala itu terdampak luka tembak, masuk tembus ke hidung. Awalnya [luka tembak masuk itu] disonde, apakah tembus mata kanan, bawah, depan [yang terdapat luka sayatan],” kata Kamaruddin membacakan hasil observasi dokter perwakilan keluarga.
Metode sonde ini juga ditusukkan lewat bibir bawah Yosua yang mengalami sayatan. Sonde ditusuk ke arah leher bagian kanan yang terdapat lubang diduga alur peluru.
Pada foto pada saat autopsi pertama, terlihat isi kepala bagian belakang Yosua dikeluarkan. Kulit wajah Yosua pun dilepas dari tengkoraknya. Singkatnya, kepala Yosua dibongkar.
Hasilnya, di belakang kepalanya memang terdapat lubang seperti bekas luka tembak yang kemudian ketika disonde, tembus ke hidung.
Sementara luka sayat pada kaki Yosua, ujar sumber kumparan, disebabkan oleh proses pemberian formalin saat mengawetkan jenazah.
Pada akhirnya, menurutnya, tak heran jasad Yosua penuh luka sayatan meski kematiannya diakibatkan oleh penembakan. Sebab luka-luka sayat atau robekan itu sangat mungkin timbul dari proses autopsi dan pemberian formalin.
Jadi, ujarnya, “Jenazah memang tidak rusak saat autopsi.”
Yosua langsung mati ditembak tanpa disiksa. Simak menit-menit penembakan Yosua pada laporan berikut: