Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Yusril soal Nama Jalan Kemal Ataturk: Tak Usah Resiprokal, Bikin Pusing Sendiri
21 Oktober 2021 13:33 WIB
ยท
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Munculnya nama tokoh pendiri Turki, Mustafa Kemal Ataturk , menjadi nama jalan di Jakarta memicu polemik. Hal ini terkait resiprosikal karena Turki mengizinkan jalan di dekat KBRI Ankara diganti dengan nama Jalan Sukarno.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Turki belum mengusulkan secara resmi nama tokoh yang akan dipakai sebagai nama jalan di Jakarta. Namun, nama Mustafa Kemal Ataturk yang paling mencuat.
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyoroti prinsip resiprokal atau tukar nama jalan antara Indonesia dengan Turki. Dia menilai hal tersebut wajar.
"Karena Pemerintah kita yang lebih dulu meminta Pemerintah Turki mengganti nama sebuah jalan yang 'berbau' Belanda dengan nama Jalan Sukarno, maka wajar saja jika secara resiprokal, Turki meminta hal yang sama. Orang Turki nampaknya tidak mempersoalkan pergantian nama jalan dengan nama Jalan Sukarno," ucap Yusril dalam rilisnya, Kamis (21/10).
Tetapi, kata Yusril, di Indonesia nama Jalan Attaturk yang diminta Pemerintah Turki membuat pusing banyak orang. Bahkan, kini berkembang banyak rumor pemerintah akan memberi nama banyak jalan dengan nama tokoh-tokoh kiri dan komunis: Jalan Stalin, Kruschev, Jalan Mao Zedong, atau Jalan Ho Chi Minh.
ADVERTISEMENT
Sejarah Mustafa Kemal
Yusril mengurai sejarah Mustafa Kemal Pasya atau Kemal Ataturk sebagai tokoh kontroversial. Bukan saja di Turki pada zamannya, tetapi juga di Indonesia dan banyak negeri muslim yang lain.
Kemal adalah pemimpin militer Turki yang mengambil alih kekuasaan kekhalifahan di negaranya dan membubarkannya. Dia membentuk sebuah Republik bercorak sekuler. Kekhalifahan Turki yang berdiri sejak zaman Usmaniyah dan dianggap simbol pemerintahan Islam, dia bubarkan. Kemal 'memisahkan' antara agama (Islam) dengan negara.
"Ketika Kemal mengambil alih kekuasaan, Kekhalifahan Turki memang sedang redup. Turki yang bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia I mengalami kekalahan. Turki yang mulai lemah, baik dari segi militer maupun ekonomi, dipaksa mengikuti kehendak Inggris dan sekutunya. Sementara Khalifah Turki tetap hidup glamor dan bermewah-mewah dalam suasana negara sedang terpuruk. Pembangunan Istana super mewah Tokhapi di Istanbul, dilakukan di zaman Turki sedang terpuruk itu," cerita Yusril.
ADVERTISEMENT
Kehidupan Sultan dan bangsawan Turki itu menuai kritik di dunia Islam sendiri karena dianggap jauh dari nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir dalam polemiknya dengan Sukarno menjelang RI merdeka, mengatakan dalam suasana seperti itu tidak perlu lagi adanya pemisahan antara Islam dengan negara, sebab dalam kenyataannya Islam memang sudah 'terpisah' dengan negara seperti ditunjukkan oleh perilaku pengusaha Kekhalifahan Turki itu.
"Implikasi politik dari apa yang terjadi di Turki zaman itu gaungnya terasa di negeri kita. Kelompok Nasionalis sekuler merasa senang dengan kehadiran Ataturk. Sebaliknya para tokoh 'Nasionalis Islam' berada dalam kecemasan. Tahun-tahun 1920-an itu di negara kita sedang terjadi polemik ideologis yang luas tentang Islam dan Nasionalisme dan masalah hubungan agama dengan negara," beber Yusril.
ADVERTISEMENT
Polemik antara Sukarno dan Mohammad Natsir tentang hubungan agama pada dekade terakhir kolonialisme Belanda di negeri kita, dilatarbelakangi oleh kebangkitan nasionalisme dan sekularisme di Turki. Perdebatan dalam sidang BPUPKI ketika merumuskan โde filosofische grondslagโ (dasar falsafah negara) yang berujung kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta, juga bertalian dengan hubungan antara Islam dengan negara pada sebuah negara modern.
"Sebab, ketegangan pemikiran antara Islam dan Sekularisme dengan berbagai variannya, mulai dari yang moderat dan menerima Pancasila sampai yang ingin mendirikan kembali 'negara khilafah', hingga kini tetap berlangsung di negeri kita. Walau intensitasnya, tentu tidak sekeras menjelang kemerdekaan tahun 1945, menjelang Pemilu 1955 dan sidang Konstituante 1957 serta di masa awal Orde Baru tahun 1967," pungkasnya.
ADVERTISEMENT