Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
APM Bicara Dampak PPN 12 Persen dan Opsen BBNKB Terhadap Industri Otomotif
3 Desember 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ditambah opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), berupa kewenangan pemerintah daerah untuk menambah pungutan pajak, yang aturannya mengacu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yang diundangkan 5 Januari 2022 dan berlaku tiga tahun setelahnya.
Semuanya satu suara, bahwa kebijakan tersebut merupakan tantangan serius bagi pertumbuhan dan perkembangan industri otomotif Indonesia, yang pada tahun depan diharapkan mengalami pemulihan setelah pasar turun pada 2023 ini.
Sales & Marketing and Aftersales Director PT Honda Prospect Motor (HPM) Yusak Billy mengatakan, pajak adalah salah satu komponen yang memengaruhi harga. Apabila jadi dikerek, tentu membuat harga jual juga naik.
"Dengan adanya kenaikan pajak ini berpotensi dapat membuat daya beli berkurang, impaknya juga ke penjualan otomotif," terangnya saat ditemui kumparan belum lama ini.
ADVERTISEMENT
"Kami yakin dan percaya pemerintah pasti paham ini dan seiring dengan pemulihan ekonomi dan ada rencana stimulus kami harap kepentingan antara pemegang merek dan pemerintah sama-sama bisa mengatasi lemahnya pasar kalau pajaknya akan naik," imbuh Billy.
Senada dengan itu, 4W Marketing Director PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Harold Donnel mengaku tengah mempelajari proyeksi pasar apabila kebijakan tersebut benar-benar diterapkan.
"Misalnya kami naikkan Rp 2 juta atau sampai Rp 4 juta, efek konsumennya seperti apa. Secara hitungan matematis dan psychological behavior, berpengaruh. Dalam hitungan teoritis saja kan ada yang namanya psychological pricing, harga Rp 199 juta beda sama Rp 200 juta. Ada harga psikologis, nah itu hanya beda Rp 2 juta. Challenge-nya lebih besar,” katanya.
Sementara Director of Sales & Marketing Vision PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI) Irwan Kuncoro mengatakan rencana kenaikan PPN bukan kabar baik, terlebih saat pasar otomotif nasional dilanda penurunan.
ADVERTISEMENT
"Kenaikan PPN tentunya berdampak, kita lihat dulu, sekarang saja market juga turun, belum bisa kita prediksi. Itu (opsen BBNKB) lebih tinggi lagi ya, Gaikindo juga sudah merespons bahwa pasar sedang turun, kalau harga naik tentunya berdampak negatif," katanya.
Adapun bagi industri, kenaikan PPN dapat mengakibatkan membengkaknya harga komponen dan biaya produksi, sehingga efek dominonya melebar ke rantai pasok hingga konsumen sebagai end user.
"Bagi perusahaan yang lokal kontennya tinggi justru paling terpukul, karena setiap end product (raw material menjadi setengah jadi, atau subkomponen menjadi komponen) kena PPN," terangnya Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azzam.
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo ) Kukuh Kumara bilang realisasi kenaikan PPN 12 persen dan opsen BBNKB secara bersamaan pada tahun depan berpotensi membuat penjualan mobil baru turun lebih makin dalam, bahkan mendekati kondisi penjualan saat pandemi.
ADVERTISEMENT
Menurut simulasi dan hitungan Gaikindo, kenaikan 1 persen dari opsen dapat berdampak pada penjualan sebesar 10 persen. Lebih besar lagi kenaikannya, maka makin berat dampaknya.
"Kalau kenaikan 2 persen atau sebagainya lebih dalam lagi penurunannya dalam kondisi industri kita sedang tidak baik-baik saja sejak tahun lalu. Kalau kenaikannya lebih dari 5 persen, turunnya sampai 23 persen, dalam kenyataannya kenaikannya lebih dari 5 persen, ini di luar PPN 12 persen," ungkapnya.
Tahun ini --di mana PPN 11 persen berlaku dan tanpa opsen--, pasar otomotif nasional mengalami kontraksi, salah satu penyebabnya karena melemahnya daya beli kendaraan baru. Gaikindo pun akhirnya merevisi target penjualan dari semula 1,1 juta unit menjadi 850 ribu unit.
ADVERTISEMENT
"Kalau ada opsen pajak dan PPN 12 persen, bisa jadi akan mendekati atau sama dengan kondisi saat pandemi yaitu sekitar 500 ribu unit, dampaknya lagi tentu ada penurunan produksi," terangnya.
"Yang kita khawatirkan penurunan produksi itu ujung-ujungnya tenaga kerja. Kita tidak ingin ke sana, kita tidak ingin kondisi Thailand terjadi di Indonesia, padahal ada 1,5 juta pekerja di sana," tuntasnya.