Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Vietnam akhir-akhir ini sedang menjadi bahan perbincangan, khususnya di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Mulai dari ungkapan kekesalan Presiden Jokowi awal yang diutarakan September lalu.
Sebab dari 33 perusahaan yang keluar dari China, 23 di antaranya lebih memilih Vietnam, kemudian 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, Kamboja. Tidak ada yang (pindah) ke Indonesia.
“Tahun 2017, ini contoh lagi. Ada 73 perusahaan Jepang memilih relokasi. Tapi relokasinya ke mana? Coba kita lihat, 43 ke Vietnam, 11 ke Thailand, dan berikutnya 10 ke Indonesia,” ucap Jokowi pada rapat terbatas membahas antisipasi perkembangan perekonomian global.
Kondisi tersebut sedikit menjelaskan, kalau Vietnam rupanya sedang menarik bagi para investor, termasuk pemain-pemain otomotif dunia. Seperti kabar terakhir, ada Mitsubishi yang mengguyur investasi untuk merakit MPV populer mereka Xpander.
Di mana sebelumnya, sudah ada Toyota, Kia, Honda dan beberapa pabrikan otomotif lainnya, yang lebih dahulu menghuni Negeri Komunis tersebut.
Sebenarnya, apa yang membuat perusahaan-perusahaan otomotif tersebut tertarik masuk ke Vietnam?
Mudahnya mendapat lahan
Duta Besar RI untuk Vietnam Ibnu Hadi mengatakan, pemerintah Vietnam memberikan kelonggaran pembelian lahan untuk investor, terlebih bila penanaman model tersebut untuk sektor bisnis prioritas.
“Seperti misalnya contoh mau investasi hotel, ditanya nanti kamu mau berapa luas tanahnya 55 hektare, nih saya kasih tanah. Nah harganya itu kadang-kadang hanya harga administrasi saja, dan bisa seperti itu, cukup banyak di provinsi-provinsi sekarang,” ucapnya
Biaya produksi dan upah buruh rendah
Hal menarik lainnya, yaitu murahnya biaya produksi --harga tanah, upah buruh, air, listrik-- ketika menjalankan bisnis di Vietnam. Ibnu menyebutkan, soal upah buruhnya saja, per bulan ongkosnya bisa hanya 90-120 dolar AS, atau sekitar 1,6 jutaan.
“Namun itu tergantung area, semakin remote semakin murah. Namun kalau kalau di Hanoi itu sekarang sudah 210 dolar AS kalau tak salah rate upah minimumnya atau Rp 3 juta, masih di bawah Jakarta. Iya memang rata-rata di bawah kita,” kata Ibnu.
Hal ini yang juga diakui oleh, Teguh Trihono, General Manager External Affairs Division PT Toyota-Motor Manufacturing Indonesia Indonesia (TMMIN), ketika ditanyakan kumparan.
“Karena memang menarik kan, kalau berbicara insentif dan fasilitasnya ya menarik, jadi orang melirik pasti, ya kalau kita lihat dari pembelajaran itu kan,” ucapnya.
Mudahnya perizinan
Vietnam sadar, birokrasi perizinan yang berbelit-belit tentu akan membuat para pengusaha berpikir panjang untuk berinvestasi. Karena itu mereka menerapkan sistem yang mudah, dan juga cepat.
“Izin dikeluarkan oleh provinsi masing-masing, tapi bukan berarti terus berbeda-beda ya, di mana ketentuan dan regulasinya ditentukan oleh pusat. Semuanya daerah punya format sama dan seragam, serta tempo hari yang sama,” ucapnya.
Ada dua izin yang perlu dikantongi perusahaan yang akan beroperasi di Vietnam. Pertama investment certificate atau investment permite, sebagai surat sakti yang memberikan jalan perusahaan untuk mendapat tenaga kerja, masterlist, barang capital, dan bahan baku ada di situ.
Kedua, business certificate, di mana itu terkait dengan aktivitas dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari.
“Soal waktunya, untuk yang pertama itu 3 hari, sementara business certificate itu 7 hari. Dan itu prosesnya bersamaan, tidak one by one,” ucapnya.
Ibnu memberikan salah satu contoh adalah investor dari Indonesia seperti Astra Visteon --produsen suku cadang motor. Ketika dia mengurus izin, cukup melalui kawasan industri saja tak perlu ke pusat atau seperti ke BKPM di Indonesia.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chaves, juga sempat mengutarakan proses di Indonesia lebih berisiko dan rumit. Butuh waktu paling cepat satu tahun, atau malah lebih lama.
“Sementara di Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Taiwan, lebih ada kepastian bagi industri sehingga waktunya lebih cepat. Produsen mesin cuci asal Korea Selatan, memindahkan pabriknya dari China ke Vietnam dan Thailand hanya dalam 2 bulan,” ungkap Rodrigo.
Kebijakan
Lebih lanjut lagi, khusus untuk industri otomotif Vietnam berencana memberlakukan beberapa kebijakan, yang bisa saja menarik para produsen untuk masuk ke negara tersebut.
Seperti salah satunya adalah rencana mengimplementasi kebijakan Special Consumption Tax (SCT). Duta Besar RI untuk Vietnam Ibnu Hadi mengungkapkan, ide pengenaan SCT lantaran produk yang dibuat di dalam negeri Vietnam mengalami penurunan penjualan. Karena kalah bersaing dengan produk impor.
Jadi, parameter penghitungan pajak SCT yang sebelumnya mengacu pada besaran cc mesin, akan direvisi berdasarkan tingkat kandungan lokal dalam negeri (TKDN) Vietnam. Sehingga semakin tinggi TKDN-nya, harga mobil bisa lebih murah.
“Aturan tersebut kurang lebih seperti LCGC yang ada di Indonesia. Jadi (SCT) itu sifatnya membantu program dalam negeri Vietnam, dengan memberikan pengurangan pajak,” tutur Ibnu.
Pertumbuhan ekonomi dan potensi pasar otomotif
Ketua umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Johannes Nangoi, menyebut Vietnam cukup menarik karena ekonominya berkembang.
“Sampai saat ini memang belum begitu besar --pasar otomotif, tapi kalau melihat income per kapitanya naik terus, harusnya bisa membaik. Sekaligus pajaknya yang diperingan bisa membuat investor masuk,” ucapnya.
Melansir Just-auto.com, pertumbuhan ekonomi Vietnam diperkirakan meningkat menjadi 7,3 persen pada kuartal ketiga dari 6,7 persen kuartal kedua, yang didorong oleh pertumbuhan manufaktur dan investasi yang kuat.
Penjualan mobil pada Januari-September 2019 ini menurut Vietnam Automotive Manufacturers Association (VAMA), meningkat sampai 18 persen menjadi 219.205 unit. Padahal sebelumnya hanya 186.415 unit pada periode yang sama tahun lalu.
Ini didorong oleh kenaikan lebih dari 29 persen pada penjualan kendaraan penumpang, menjadi 163.485 unit.
Asia Times menyebut, Vietnam memiliki 98 juta konsumen potensial, di mana GDP per kapita Vietnam per tahun 2.600 dolar AS. Namun, untuk penduduk di Ho Chi Minh dan Hanoi bisa mendekati 6.000 dolar AS.
Ekonom umumnya melihat, angka 3.000 dolar AS per kapita per tahun, merupakan titik balik dari meledaknya konsumen di pasar negara berkembang.
"Saya pikir Vietnam berada pada titik kritis untuk konsumsi mobil. Kepemilikan mobil sangat rendah di Vietnam, sekitar 20 mobil untuk setiap 1.000 orang. Hanya masalah waktu sebelum Vietnam tinggal landas,” ucap Thuy Le dari VinFast.