Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Nama Keraton Agung Sejagat (KAS) dan Sunda Empire tengah naik daun berkat kelakuan dan pernyataan yang menuai kontroversi. Bagaimana tidak, kerajaan dan kelompok baru ini mengklaim sebagai penguasa seluruh dunia, menjadi pemilik tanah semua negara, dan mengaku keturunan orang-orang terpandang masa lampau. Kontroversi ini jelas mengundang pertanyaan soal psikologi mereka.
ADVERTISEMENT
Toto Santoso Hadiningrat dan Fanny Aminadia yang mengkultuskan dirinya sebagai raja dan ratu Keraton Agung Sejagat, misalnya, keduanya sepakat bahwa mereka adalah rantai Mataram Agung dan keturunan Majapahit. Itu dideklarasikan langsung oleh mereka dalam sidang keraton yang ditutup dengan konferensi pers pada 11-12 Januari 2020, dan justru menjadi awal malapetaka kerjaannya.
Sedangkan Sunda Empire lebih gagah lagi. Nasri Banks sebagai Perdana Menteri Sunda Empire memaparkan bahwa kelompoknya telah berdiri sejak zaman Alexander The Great.
Petinggi Sunda Empire lain, Ki Ageng Ranggasasana, mengatakan bahwa Sunda Empire merupakan lembaga tingkat dunia yang memiliki tujuan untuk menyejahterakan dan mewujudkan perdamaian dunia. Menurut dia, Sunda Empire beranggotakan negara dan pemerintahan di dunia.
Bagaimanapun, narasi yang dikeluarkan Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire berhasil membuat sebagian besar masyarakat Indonesia geleng kepala. Pertanyaannya, bagaimana proses seseorang bisa mengklaim dirinya sebagai utusan dewa atau keturunan raja?
ADVERTISEMENT
Menurut psikolog Bimo Wikantiyoso, yang juga mahasiswa S3 psikologi di Universitas Atma Jaya, fenomena yang terjadi kali ini sebenarnya bukan hal yang aneh dan memang lazim terjadi. Ada beberapa faktor atau tahap sebelum seseorang menasbihkan dirinya sebagai manusia berbeda, entah keturunan Majapahit atau utusan Nyi Roro Kidul.
Pendekatan pertama, kemungkinan orang-orang semacam ini mengalami gangguan waham atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan fakta. Seseorang yang mengalami waham bisa memiliki keyakinan yang sangat besar dengan apa yang terjadi pada dirinya, kendati tidak ada landasan fakta.
Dari waham tersebut terjadi delusi visual atau delusi auditori. Delusi visual muncul ketika seseorang melihat sesuatu yang tidak orang lain lihat. Sedangkan delusi auditori terjadi ketika seseorang mendengar sesuatu yang tidak orang lain dengar.
ADVERTISEMENT
Dari hal klinis inilah, kata Bimo, kemungkinan besar orang-orang tersebut punya gangguan waham yang manifestasinya muncul dalam sebuah ide bahwa dia seseorang yang sangat spesial, entah itu titisan Dewa Matahari, utusan Ratu Selatan, dan lain sebagainya.
“Kemungkinan besar orang-orang ini mendengar suara-suara itu. Dalam hal ini, itu mungkin halusinasi auditorisnya yang bermain. Masalahnya, kita belum tahu karena belum ada pemeriksaan psikologi klinis untuk kasus-kasus ini. Tapi kalau dari segi klinis, kemungkinan itu sangat mungkin terjadi,” ujar Bimo saat dihubungi kumparanSAINS, Selasa (21/1).
Kedua adalah pendekatan pembelajaran. Orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai utusan atau titisan dewa biasanya bisa menceritakan kisahnya dengan sangat rapi. Mereka akan merasa mendapatkan penghargaan ketika orang lain percaya dengan ceritanya. Entah itu dengan respons mengangguk, senyum, atau bertanya kepadanya. Dari situ, seseorang berpikir bahwa cerita yang dibangun mulai memiliki nilai di mata orang lain.
ADVERTISEMENT
“Orang-orang jadi penasaran. Ya sudah ceritanya dibangun terus. Apakah itu salah atau benar? Saya tidak bisa mengatakan itu, yang saya lihat ada umpan balik dari masyarakat yang mengiyakan atau mengizinkan dia berperilaku seperti itu,” ujar Bimo.
Dari situ, muncul keyakinan penuh dari orang tersebut, hingga ia berani menegaskan bahwa dirinya adalah keturunan raja atau utusan dewa. Di situ pula orang mulai mencari koloni, memengaruhi orang lain, dan mengajak mereka untuk berkubang di bawah delusinya.
Dalam hal ini, menurut Suprapto, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), masyarakat dalam strata apapun bisa terpedaya oleh kelompok semacam Keraton Agung Sejagat atau Sunda Empire .
Bahkan secara sosial, individu berpendidikan tinggi dan berekonomi mapan tak terjamin bebas dari bujuk rayu orang seperti Toto Santoso.“Mereka yang bisa diajak dalam kelompok-kelompok tersebut adalah yang secara psikologis tidak dewasa. Emotional quality-nya rendah meskipun (memiliki) IQ tinggi,” kata Suprapto.
ADVERTISEMENT
Kemunculan Keraton Agung Sejagat juga wujud dari teori struktur sosial bahwa manusia akan selalu berusaha mencapai ambang batas, di mana untuk mencapai itu semua dibutuhkan harta dan takhta. Pada titik ini, jika cara wajar ditempuh, itu artinya mereka belajar dan bekerja. Namun bila tidak, maka cara-cara menyimpang bermunculan.