Astronaut Indonesia Pratiwi Sudarmono: Pendaratan di Bulan Tak Sia-sia

19 Juli 2019 18:45 WIB
clock
Diperbarui 16 November 2019 11:48 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Taufik Akbar dan Pratiwi Sudarmono, astronaut Indonesia. Foto: Twitter/@aisoffice
zoom-in-whitePerbesar
Taufik Akbar dan Pratiwi Sudarmono, astronaut Indonesia. Foto: Twitter/@aisoffice
Pratiwi Pujilestari Sudarmono bakal menjadi astronaut Indonesia pertama yang terbang ke antariksa andai pesawat ulang-alik Challenger tak meledak pada misinya yang kesepuluh pada 28 Januari 1986—lima bulan sebelum ia dijadwalkan terbang membawa satelit Palapa B3 dari pusat peluncuran roket di Florida, AS. Musibah itu membuat semua misi NASA ke luar angkasa ditangguhkan selama tiga tahun. Padahal, Pratiwi telah repot-repot mengikuti serangkaian seleksi ketat, termasuk mengurus Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) bahkan sertifikat Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yang disyaratkan pemerintah Soeharto kala itu.
Menjelang peringatan setengah abad jejak manusia di Bulan yang jatuh pada 20 Juli, Pratiwi berbagi cerita kepada kumparan tentang misi luar angkasanya 33 tahun silam, sekaligus membantah anggapan sebagian orang bahwa pendaratan di Bulan sia-sia belaka. Ia menegaskan: ilmu pengetahuan yang menyertai langkah manusia menjelajah antariksa selamanya tak akan sirna.
Kini tiga dekade sejak misi luar angkasanya batal, Pratiwi menghabiskan banyak waktu di sebuah ruangan sederhana berukuran 21 meter persegi di bekas gedung STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandshce Artsen)—sekolah kedokteran era kolonial yang kini menjadi Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI—di daerah Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat.
Ruangan mungil itu dijejali empat kursi dan tiga meja, serta tak kedap suara. Dari situ, terdengar suara langkah-langkah kaki orang di ruangan di atasnya. Maklum saja, ruangan Pratiwi dan ruangan di atasnya itu sejatinya bukan ruangan terpisah. Bangunan peninggalan Belanda itu sesungguhnya hanya terdiri dari satu lantai, namun kemudian disekat paksa menjadi dua lantai dengan konstruksi semipermanen.
Saat kumparan bertamu ke ruang kerjanya itu, Rabu (17/7), Pratiwi terlihat sibuk. Ia tengah menelaah kembali penelitiannya soal penyebab tifus dan tuberkulosis. Ihwal penyakit-penyakit itu memang tak baru bagi Pratiwi, sebab ia memang memulai karier ilmiah sebagai penerima beasiswa WHO dengan meneliti bakteri Salmonella typhi penyebab tifus.
Kepakaran di bidang biologi molekuler itu pula yang dulu—salah satunya—membuat Pratiwi lolos dalam misi penerbangan antariksa STS-61-H yang kemudian ditunda sampai akhirnya dibatalkan NASA usai tragedi Challenger.
Sebagai seorang ilmuwan, aktivitas penelitian Pratiwi tak pernah usai. Pun selama proses wawancara dengan kumparan, pintu ruang kerjanya setidaknya dua kali diketuk. Rupanya tanda tangan Pratiwi diperlukan untuk sejumlah urusan. Wajar, sebab ia merupakan profesor mikrobiologi di kampus itu. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Mikrobiologi dan Wakil Dekan di Fakultas Kedokteran UI tempatnya mengabdi tersebut.
Pratiwi Sudarmono, pakar biologi molekuler yang menjadi astronaut. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di usia 67 tahun kini, mengenang misinya 33 tahun lalu yang tak pernah usai, Pratiwi memandangi fotonya berbalut seragam astronout di layar komputernya. Tahun 1986 itu, Pratiwi hampir menyempurnakan latihannya di Badan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration—NASA). Ia dan enam orang lainnya hampir terbang dengan pesawat ulang-alik Columbia dalam misi STS-61-H yang membawa tiga satelit komersial milik Inggris, Indonesia, dan AS—Skynet 4A, Palapa B3, dan Westar 6S. Selain soal satelit, Pratiwi punya misi khusus: meneliti daya tahan tubuh manusia di antariksa.
Ia bukan satu-satunya wakil Indonesia. Bersamanya adalah Taufik Akbar, seorang teknisi PT Telkom yang berperan sebagai awak cadangan. Namun apa boleh buat, layar surut sebelum berkembang. Meledaknya Challenger membuat semua misi antariksa NASA ditiadakan sepanjang proses investigasi.
Walau demikian, sekali astronaut tetap astronaut. Status Pratiwi sebagai astronaut tak berubah meski ia urung menjejak antariksa. Masa pelatihan sebagai astronaut juga menjadi pengalaman berharga seumur hidup baginya. Semula, tak pernah Pratiwi terpikir bisa berkompetisi bahkan lolos seleksi NASA.
“Sesudah di sana (tempat pelatihan astronaut), kita akan paham bahwa dirgantara itu luas sekali. Meskipun sekarang kita tahu lebih banyak (tentang luar angkasa) karena teknologinya sudah jadi (lebih canggih), antariksa tetap begitu besarnya. Lihat saja (gambar pertama) black hole yang kemarin itu, butuh ratusan bahkan miliaran tahun untuk sampai ke situ. Bayangkan misal ada satu miliar black hole. Luar biasa,” ujarnya menyinggung foto perdana black hole yang dirilis pada 10 April 2019 dan menghebohkan dunia.
Foto black hole yang pertam kali berhasil diabadikan manusia. Foto: Event Horizon Telescope (EHT)
Sebagai peneliti, Pratiwi punya perspektif tegas terkait luar angkasa. Baginya, langkah demi langkah manusia mengembara di antariksa bukannya tak punya faedah. Tahapan ilmu pengetahuan yang direngkuh manusia selalu punya sisi positif, tak mungkin tidak.
“Banyak orang bilang bahwa pendaratan di Bulan itu tidak ada gunanya, bahwa itu misi yang begitu mahal itu sia-sia. Tetapi pengetahuan yang menyertai manusia hingga bisa sampai ke angkasa itu enggak bisa hilang,” ucap perempuan kelahiran Bandung tahun 1952 itu.
Berikut perbincangan wartawan kumparan Tio Ridwan dan Fadli Rizal dengan Pratiwi Sudarmono, astronaut perempuan Indonesia:
Anda dan Taufik Akbar (kru cadangan) menjadi satu-satunya—atau dua-duanya—astronaut di Indonesia. Bagimana Anda memandang misi Indonesia dalam misi STS-61-H 33 tahun silam?
Keikutsertaan Indonesia dalam program luar angkasa sebenarnya dimulai sejak Indonesia membeli Satelit Palapa. Indonesia membeli untuk kebutuhan yang sangat strategis saat itu—untuk komunikasi di Indonesia dalam rangka pemilu pada zaman itu.
Sebelumnya kita sudah beli (satelit), sudah punya tahun 1979. Setelah itu kita membeli yang kedua. Nah, saat beli yang kedua itu gagal pergi ke orbitnya, lalu ditawarilah oleh NASA untuk membantu meluncurkan.
Jadi pada waktu itu sudah ada program luar angkasa NASA yang menggunakan pesawat ulang-alik. Pada umumnya pesawat itu diluncurkan oleh wahana peluncur—pakai roket saja, jadi enggak pakai orang. Meluncur seperti ditembakkan.
Tapi karena mereka (AS) kemudian sudah sampai pada teknologi pesawat ulang-alik, maka lalu Indonesia ditawari (ikut serta). Itulah dimulainya program keikutsertaan Indonesia di luar angkasa.
Program itu sangat strategis. Pada waktu itu juga mulai dipikirkan apakah kira-kira Indonesia di masa depan membutuhkan satelit, membutuhkan ruang geostasiun dari orbit? Karena mahal sekali biaya (meluncurkan satelit), berarti Indonesia juga harus bisa meluncurkan sendiri. Sehingga pada waktu itu dikasih misi (pembuatan satelit) ke LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).
Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Foto: Pixabay
Apakah kita memerlukan teknologi luar angkasa? Menurut saya dari sudut peneliti, dalam upaya manusia untuk memahami kedirgantaraan termasuk fenomena luar angkasa, Indonesia punya keunggulan komparatif karena terletak di khatulistiwa.
Jadi kalau meluncurkan sesuatu ke luar angkasa, semakin ke khatulistiwa itu tekanannya semakin kecil. Kalau enggak (di khatulistiwa), kekuatan meluncurkannya itu semakin besar karena efek gravitasi Bumi. Itu sebabnya (stasiun peluncuran roket) di Amerika itu ditempatkan di bagian selatan, di Florida. Di Jepang juga begitu, ditaruh di Nagashima, sebelah selatan.
Jadi, dari tempat meluncurkan satelit saja, kita sesungguhnya sudah unggul, sebab Indonesia ada di hemisfer selatan.
Hemisfer adalah belahan Bumi menurut garis khatulistiwa. Sedangkan khatulistiwa adalah garis khayal yang melintang mengelilingi Bumi, dan membagi Bumi menjadi dua belahan yang sama antara utara dan selatan.
Bagaimana perkembagan Indonesia soal antariksa dibanding negara-negara Asia lain dalam pandangan Anda?
Mungkin dibanding sama India dan China, Indonesia lebih dulu menguasai (bidang ini). Di antara negara-negara dunia ketiga, kita yang pertama punya satelit. Dulu beberapa negara seperti Singapura dan Thailand malah numpang punya kita. Sekarang, sebenarnya kita sudah punya banyak, tapi seperti Palapa Ring itu kita beli doang.
(Perkembangan Indonesia) berhenti di situ, karena kita nggak ada wahana untuk belajar. Kita bisa memakai (satelit), tapi teknologi untuk membikinnya itu kita ketinggalan. Sekarang, China misalnya sudah pergi ke Bulan untuk melihat bagian lain Bulan yang belum dieksplorasi Amerika.
Pendaratan di Bulan itu mungkin menjadi milestone bahwa manusia bisa menginjakkan kaki di ruang angkasa, meski sampai sekarang belum ada lagi (benda langit selain Bulan yang dipijak manusia).
Astronaut AS Buzz Aldrin menginjak Bulan pada 20 Juli 1969. Foto: NASA via REUTERS/Neil Armstrong
Kalau tidak ikut (mempelajari luar angkasa), kita akan ketinggalan dan memang (sekarang sudah) ketinggalan. Apakah kita rugi? Barangkali iya. Andai kata kita kuasai pengetahuan itu, barangkali lebih hemat menaikkan satelit dari wilayah Indonesia daripada di India atau China. Tapi kita anggap waktu itu (bidang astronomi ini) tidak prioritas, dan sampai sekarang bukan prioitas.
Menurut Anda, seberapa penting pendaratan manusia di Bulan 50 tahun lalu?
Meskipun banyak orang bilang bahwa pendaratan di Bulan tidak ada gunanya, bahwa misi yang begitu mahal itu sia-sia, tetapi pengetahuan yang menyertai manusia hingga bisa sampai di situ nggak bisa hilang.
Apakah Indonesia perlu punya astronaut?
Sangat perlu.
Misi Anda dan Taufik Akbar dibatalkan karena tragedi meledaknya Challenger pada 28 Januari 1986. Anda seharusnya terbang bulan Juni tahun itu, ya?
Iya. Harusnya misi Christa dan kawan-kawan berlangsung Oktober 1985. Enggak tau kenapa mundur ke Januari 1986 (jadwal Pratiwi dkk mengangkasa), dan saya dipindah (mundur) ke akhir Juni 1986.
Sharon Christa McAuliffe adalah guru AS. Ia satu di antara tujuh astronaut yang menjadi korban tragedi Challenger.
Challenger sudah sembilan kali terbang. Selain itu ada (pesawat ualng-alik) Columbia, Enterprise, Atlantis. (Tiap kali penerbangan) roketnya jatuh ke laut, kemudian diambil. Itu (ada bagian di roket Challenger) yang ternyata aus, jadi bocor. Bagian itu tidak terpantau komputer saat itu. Waktu diputar lagi, ternyata sambungannya ada lekuknya sedikit, sehingga ada kebocoran bahan bakar yang menyebabkan semburan api liar.
Berdasarkan hasil investigasi, segel cincin-0 di kanan Solid Rocket Booster (SRB) gagal lepas, sebagai dampak suhu dingin ekstrem yang mengurangi keelastisan karet.
Challenger STS-51-L sebelum meledak. Foto: Getty Images
Setelah tragedi Challenger, Anda menyimpan rasa takut ke luar angkasa?
Enggak takut sih, cuma rasanya gimana ya... saya enggak nyangka juga soalnya. Saya enggak menyangka bahwa (pesawat) itu bisa meledak. Kami kala itu masih muda semua, semuanya optimis. Enggak ada yang berpikir negatif.
Banyak yang bilang Challenger meledak itu karena nama pesawatnya yang seolah “tak sopan” (challenger = penantang). Anda percaya itu?
Ya enggak juga. Kalau saya, karena saya sekolah di kedokteran, jadi semua berbasis bukti.
Bagaimana Anda bisa sampai terpilih jadi astronaut waktu itu?
Saya aslinya dokter dan kerja di Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Waktu itu pemerintah Indonesia berpikir, “Pasti setuju kan (ikut serta program antariksa), orang diundang (AS).” Terus waktu itu yang ketuai program itu Pak BJ Habibie, penyelenggaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang ketika itu diketuai Pak Doddy Achdiat Tisna Amidjaja. Dia pernah jadi Rektor ITB.
Jadi ada dua (proses seleksi)—seleksi orang dan seleksi program penelitian. Saya ikut yang seleksi program penelitian. Saya diminta sama UI. Di Depok waktu itu. (Katanya), “Ikut, masukkan (proposal). Mosok universitas segini gedenya, nomor satu di Indonesia, (enggak ikut. Kampus) yang lain juga masukin.”
Saya waktu itu baru pulang dari Jepang, selesai kuliah doktoral. Jadi saya masukkan proposal riset ke Indonesian Space Experiment. Di INSPEX itu banyak sekali bahan penelitian dari seluruh Indonesia. Akhirnya, ada lima penelitian INSPEX itu yang disetujui oleh NASA, di antaranya penelitian saya.
Kemudian (Ketua LIPI) Pak Doddy tuh berpikir-pikir, “Gimana ya? Siapa yang mau ngerjain (penelitian ini)? Masa dikerjain tentara-tentara?” (Kan mesti) mengambil darah segala macam. Akhirnya saya diperintah untuk mendaftar (ke NASA).
Saya akhirnya dimasukkan daftar, kemudian diuji. Dia (Doddy) bilang, “Kalau enggak mampu, ya nanti kita cari cara lain. Tapi enggak usah mikir itu sekarang,” Jadi saya kayak orang pengangguran, ikut daftar.
Astronaut Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar. Foto: Twitter/@aisoffice
Padahal baru pulang dari Jepang, ya? Lulusan S3, doktor.
Haduh, ibu saya melotot abis. Keluarga saya lebih-lebih lagi. Selesai mendaftar, dari 200-an pendaftar terseleksi menjadi empat. Indonesia yang memilih, bukan Amerika. Di sini ditambahin Pendidikan Pancasila dan pengetahuan tentang Indonesia (dalam proses seleksi). Keluarlah nama saya dan Taufik Akbar. Lalu di NASA, diseleksi pakai ranking—siapa yang ke-1, 2, 3, 4.
Ketika itu, bagaimana pemberitaan di Indonesia bahwa negeri ini punya astronaut?
Besar banget (di pemberitaan). Kaget aja orang-orang. Soalnya kan semua nggak ada kabarnya. Dari 207 pendaftar itu sebagian besar anak-anak, dipikirnya kayak mainan, nggak serius. Menurut saya, publikasi (pendaftaran) juga kurang besar.
Kalau di Amerika itu, saya rasa 3000-an orang mendaftar kalau ada seleksi (astronaut). Di sini cuma 200 dan itu nama saya paling akhir—nomor 207.
Jadi Anda pendaftar terakhir?
Iya, pendaftar terakhir ke-207. Dengan persyaratan seleksi antara lain harus ada izin dan sebagainya itu. Macam-macam. Ya biasalah Indonesia zaman Soeharto, pakai Surat Keterangan Kelakuan Baik. Juga ikut P4 untuk sertifikat P4. Selain ya tes IQ, tes Bahasa Inggris, dan tes-tes lain yang menjadi persyaratan untuk menjadi astronaut.
P4, yang akronim dari Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, menjadi standar Orde Baru agar masyarakat menjalankan nilai-nilai Pancasila sesuai pedoman pemerintah.
Jadi orang Indonesia ke luar angkasa juga butuh sertifikat P4 ya waktu itu?
Iya, makanya... [tertawa]
Satu roket meluncur dari landasan NASA. Foto: REUTERS/Mike Blake
Relevansi penelitian Anda dengan pergi ke luar angkasa itu apa?
Karena manusia berminat untuk mempunyai koloni di luar angkasa. Jadi apa yang terjadi di sana (luar angkasa) dengan badan kita. Banyak sekali ternyata—aneh-aneh. Hal seperti itu harus diberesin sebelum manusia (benar-benar) menaruh orang di luar angkasa. Bagaimana daya tahan dan badan (manusia di antariksa), itu penelitian saya.
Makanya saya di sana (NASA) dari tahun 1985 sampai 1987 itu enggak nganggur. Selesai di Space Biology Lab lalu ke Johnson Space Center. Saya pulang-pergi (AS-Indonesia), nggak full dua tahun di sana karena banyak urusan juga. Tapi dua tahun itu lebih banyak di AS.
Seandainya jadi ke luar angkasa, Anda dan kru akan mengorbit berapa lama?
Rencananya tujuh hari.
Dalam waktu sesingkat itu apakah cukup untuk meneliti mikrobiologi?
Kan rencananya sebagian akan ditinggal di sana. Di International Space Station (ISS) itu. Penelitiannya enggak bisa sekali saja, tapi rangkaian panjang. Intinya: bagaimana kita punya informasi sebagak-banyaknya tentang manusia itu bisa hidup di luar angkasa.
Makannya (di luar angkasa) apa, masukin makanannya bagaimana, (dapat) energinya bagaimana. Otot (manusia) di sana itu kan mengecil karena enggak dipakai, enggak ada tekanan (gravitasi). Otot jantung juga jadi tipis. Jadi bagaimana?
Tidak ada daya dukung yang diperlukan untuk manusia, ya?
Bukan hanya fisik manusia yang enggak bisa (kalau hidup di antariksa), psikis juga enggak bisa. Ada cerita bahwa beberapa (astronaut) menjadi kehilangan motivasi hidup. Padahal dibunyiin suara ombak, suara angin, suara gerak di rumah, jalan raya, keluarganya.
Karena di sana (luar angkasa) seperti masuk ruangan yang nggak ada suara sama sekali. Itu bagian dari tes mental (menjadi astronaut)—sanggup atau enggak?
Berapa lama tes mental menghadapi kehampaan seperti itu?
Paling setengah jam. Itu saja orang-orang banyak yang nggak sanggup. Beberapa menit sudah histeris minta keluar (ruangan). Karena enggak ada suara sama sekali, bikin ngeri. Suara jantung kita sampai terdengar. Benar-benar hampa, menyebabkan (perasaan) kita juga hampa.
Anda sanggup berapa lama waktu itu?
Saya tidur (di dalam), hahaha… Capek datang dari Indonesia, jet lag, jadi tidur saja.
Astronaut Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar. Foto: Twitter/@aisoffice
Apakah batalnya misi Anda mengubah diri Anda?
Saya kayanya begitu-begitu saja. Yang jelas, tambahan pengalaman saya menjadi astronaut Indonesia itu luar biasa. Bayangin, saya kan cuma dokter yang kerja di laboratorium, bukan dokter yang memeriksa orang, (lalu bisa jadi astronaut).
Sesudah di sana (pusat pelatihan NASA), kita tahu dirgantara itu luas sekali. Meskipun sekarang kita tahu lebih banyak (tentang luar angkasa) karena teknologinya sudah jadi (lebih canggih), antariksa tetap begitu besarnya. Lihat saja (gambar pertama) black hole yang kemarin itu, butuh ratusan bahkan miliaran tahun untuk sampai ke situ. Bayangkan misal ada satu miliar black hole.
Biaya program astronaut kemudian dipangkas menjelang krisis moneter ya?
Iya. Latihan jadi astronaut itu nggak gratis. Mahal biayanya.
Belakangan ada proyek antariksa komersial seperti Axe Apollo Space Academy, meski akhirnya batal. Bagaimana Anda melihat program komersial itu?
Motivasi semacam itu sangat baik. Sebetulnya itu membuka inspirasi atau wawasan. Kalau tidak pernah terpapar (pengetahuan baru), bagaimana caranya anak-anak itu paling tidak bisa memahami (suatu ilmu), lalu menyukai, kemudian mendalaminya.