Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Ila, lagi apa? Sehat, nggak? Jiwa kamu sehat nggak?”
Laila menatap layar ponsel sambil mengernyit. Kalimat tanya macam apa itu? Kenapa suaminya melontarkan pertanyaan janggal seperti itu? Tapi demi sopan santun seorang istri yang senantiasa sibuk, ia membalas singkat, “Baru beres rapat, dan sehat-sehat sajalah...”
Beberapa detik kemudian, ia meragukan jawabannya. Soalnya, emosi jiwanya kerap tak stabil. Kadang naik, kadang turun. Seperti roller coaster. Apalagi kalau banyak urusan belum rampung. Ditambah anak buahnya di kantor—dan anaknya sendiri di rumah—berulah. Wah, itu kombinasi maut untuk meledakkan amarah seketika.
Namun Laila merasa naik-turun suasana hatinya masih dalam ambang wajar. Malah, kalau sedang merasa sedih atau tertekan atau marah, ia bisa luar biasa produktif mengarang cerita fiksi, lalu hatinya berangsur tenang sendiri. Laila menduga, kebiasaannya menulis juga berperan sebagai terapi jiwa. Ah, tapi itu sekadar dugaan. Ia bukan psikolog yang ahli menganalisa isi jiwa manusia, termasuk mental diri sendiri.
“Omong-omong, kenapa sih nanya aneh begitu,” ketik Laila di WhatsApp, berkirim pesan lanjutan ke suaminya, nyaris merasa tersinggung kalau-kalau dikira “gila” oleh suami sendiri.
“Hari ini kan World Mental Health Day,” jawab sang suami, tak lama kemudian.
Laila menyahut, “Halaah… kirain ada apa.”
Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh tiap tanggal 10 Oktober memang menjadi pengingat bagi banyak orang untuk tidak meremehkan kondisi jiwa mereka. Tak terkecuali Laila, satu di antara kaum urban yang sehari-hari tenggelam dalam urusan pekerjaan tak berujung, hingga terkadang merasa burnout—physycally or mentally collapse caused by overwork or stress.
Pagi ini saja, di tengah kesibukan mengecek pekerjaan kantor, ia harus menyambi mempersiapkan diri untuk ujian bahasa di sore hari, plus mengajari anaknya berhitung. Kepala Laila sampai terasa panas karena harus mengerjakan banyak hal dalam satu waktu.
Namun rasa panas itu perlahan lenyap ketika ia membaca laporan soal “distimia”—penyakit mental yang menyerang konstan selama sekurangnya dua tahun. Sepanjang dua tahun itu, penderita distimia sama sekali tak bisa merasakan suasana hati gembira. Mereka terus murung, sedih tanpa alasan, dan kerap dilanda insomnia.
Distimia membuat pengidapnya seolah hidup tanpa jiwa. Semua terasa hampa, tanpa makna.
Bisa dibilang, distimia bersaudara dengan depresi—gangguan jiwa yang ditandai perasaan muram, sedih, dan tertekan.
Bedanya, suasana hati penderita depresi bisa naik-turun ekstrem, sementara mood pengidap distimia konsisten berada di titik rendah. Oleh karena durasi distimia lebih panjang, ia dianggap sebagai depresi kronis. Itu pula kenapa distimia disebut sebagai persistent depressive disorder.
Laila merasa empatinya tumbuh untuk para pengidap distimia. Ah, benang kusut di pikirannya belum apa-apa dibanding penderitaan mereka. Ia sepenuhnya paham, kesehatan mental tak bisa disepelekan, meski selama ini orang cenderung menomor-sekiankannya karena kondisi jiwa yang tak kasatmata.
Usai membaca ulasan soal distimia, Laila menutup laptop dan mulai memasukkan beberapa potong baju dan sweter ke dalam koper. Besok, ia hendak staycation di daerah pegunungan bersama keluarga kecilnya. Well, pekerjaan boleh menumpuk, libur akhir pekan tak boleh terhambat. Ia tak mau burnout, apalagi sampai jadi Laila majnun.
***
Simak selengkapnya kisah para penderita distimia di Liputan Khusus kumparan: Waspada Distimia