Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.0
Ekspedisi Memburu Biang Tsunami Selat Sunda
31 Desember 2018 14:37 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
ADVERTISEMENT
Jejak kerusakan akibat empasan tsunami terlihat di sepanjang Jalan Raya Anyer, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (26/12). Jelang magrib, mobil yang kami tumpangi melintasi reruntuhan bangunan, pohon-pohon tumbang, dan kendaraan-kendaraan yang berserakan.
ADVERTISEMENT
Empat hari sebelumnya, Sabtu malam (22/12), Pantai Anyer yang tenang itu dihantam tsunami. Tak ada peringatan datang lebih dulu.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak menerima sinyal pemicu tsunami, dan Badan Geologi tak melihat gelagat aneh Gunung Anak Krakatau,
Pendeknya, tsunami menyelinap senyap, dan sekejap menyeret ratusan orang ke dalam gulung gelombangnya.
Sore itu, raungan Gunung Anak Krakatau menguasai langit. Tiap dentuman selalu diiringi kilatan petir.
Mendengar gelegar dan melihat halilintar itu dari kejauhan, kami sepenuhnya sadar: gunung di Selat Sunda itu garang bukan main.
Kini, Anak Krakatau dianggap bertanggung jawab atas tsunami yang menghantam pesisir Banten dan Lampung, termasuk Pantai Anyer yang kami lalui.
Saat itu, kami—sejumlah wartawan kumparan—memacu mobil untuk bergabung bersama tim peneliti yang akan melakukan riset dan pengumpulan data tsunami di lapangan.
Nah, itu mereka. Abdul Muhari yang peneliti tsunami Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, Fumihiko Imamura yang menjabat Direktur International Research Institute of Disaster Science di Universitas Tohoku, dan Taro Arikawa yang juga peneliti tsunami dari Universitas Chuo, Jepang.
ADVERTISEMENT
Ketiganya ragu Gunung Anak Krakatau adalah satu-satunya biang kerok Tsunami Selat Sunda.
Meski pangkal tsunami berasal dari area Gunung Anak Krakatau, belum ada penjelasan pasti tentang bagaimana tsunami itu terjadi. Jadi, mereka ingin mencari tahu dengan turun langsung ke lapangan.
Tim peneliti ini akan menyusuri jejak tsunami Selat Sunda di 10 lokasi. Mereka ingin mendapatkan keterangan saksi mata, dan menghitung numerik ketinggian gelombang serta laju tsunami.
Pengetahuan soal itu, menurut Abdul Muhari yang biasa disapa Aam, berguna untuk membantu menentukan emergency response dan daerah prioritas ketika tsunami menerjang lagi.
Dari 10 titik yang akan dikunjungi, lima titik pertama berada di sepanjang pesisir barat Banten, dan lima titik lainnya di seputar Gunung Anak Krakatau. Jadi, perjalanan akan melalui darat, laut, dan udara.
Keesokannya, Kamis (27/12), kami tak langsung ikut berkeliling bersama tim peneliti. Kami berpisah jalur dulu untuk mencari tahu, kenapa penanggulangan bencana di pesisir Banten itu tak berjalan selayaknya.
ADVERTISEMENT
Jawabannya terpampang sepanjang jalan. Di sana, berbagai sisa petunjuk arah jalur evakuasi tsunami, teronggok begitu saja. Jangankan melihat tanda itu, sebagian warga setempat sudah tak sanggup lagi berlari ketika tsunami tiba.
Ketiadaan rasa waspada, ditambah ketiadaan sirene atau peringatan dini di pesisir Banten, membuat orang-orang dengan mudah digulung ombak raksasa.
Di Desa Wanasalam, Labuan, Pandeglang, sebuah bangunan tiga lantai seluas 2.456 meter persegi berdiri kosong melompong. Ia seharusnya jadi tempat perlindungan ketika sirene peringatan tsunami berbunyi.
Namun alih-alih melindungi, shelter itu justru bisa bikin celaka. Ia terlihat rapuh, tak memenuhi standar bangunan layak. Dindingnya dipenuhi coretan, lantainya becek, dan lampunya tak berfungsi.
Kondisi bangunan seperti ini sudah tentu membuat orang malas datang. Mereka akan berpikir dua kali untuk cari selamat di gedung tak jelas ini.
ADVERTISEMENT
Kombinasi fasilitas buruk dan ketiadaan peringatan tsunami, jadi catatan penting dalam perjalanan ini.
Hari berikutnya, Jumat (28/12), kami merapah Tanjung Lesung di Kecamatan Panimbang, lalu Kecamatan Sumur, Kecamatan Labuan, Kecamatan Anyer, sampai kota Cirebon.
Iring-iringan mobil kami juga singgah di Pantai Tanjung Jaya, Pandeglang. Di tempat itu, sejauh mata memandang, tak ada bangunan berdiri tegak.
Di sana sini, tampak sisa-sisa bangunan warung semipermanen porak poranda. Tak satu tiang pun berdiri, termasuk tiang-tiang listrik dari beton yang telah roboh.
Sesudah memarkir mobil di pinggir jalan, tim peneliti keluar dengan menenteng sejumlah peralatan. Mereka dengan sigap menuju ke sejumlah titik untuk melakukan pengamatan.
Kami berlari-lari ke bibir pantai mengikuti gerak gesit mereka. Para peneliti itu melangkah begitu lincah, seolah punya stamina ganda untuk bekerja.
ADVERTISEMENT
Di tepi laut, mereka menyisir lokasi selangkah demi selangkah, memperhatikan kehancuran-kehancuran di situ secara rinci.
Imamura meneliti sisi pantai. Ia menemukan koral yang ia yakini terseret gelombang tsunami dari dasar laut.
ADVERTISEMENT
Koral yang tercabut dari dasar laut, menurutnya, menunjukkan seberapa kuat tsunami menyapu daratan.
Sementara Taro Arikawa mengamati serabut-serabut dan rumput yang menyangkut di pohon-pohon pisang, dedaunan, dan semak-semak.
Ia mengatakan, pada tumbuhan-tumbuhan itu terlihat perbedaan antara daun-daun yang terkena tsunami dan tidak.
Agak menjorok ke darat, Aam mencermati pohon-pohon yang malang melintang. Arah jatuh pohon-pohon dan tiang listrik ke sisi laut, menandakan tarikan gelombang balik ke laut jauh lebih kuat dibanding ketika ia datang.
ADVERTISEMENT
Petunjuk-petunjuk dari pepohonan itu memberi data soal sejauh, setinggi, dan sekuat apa gelombang tsunami menerjang daratan.
Setelah beberapa kali mendongak untuk melihat patahan-patahan dahan yang bisa jadi petunjuk soal ketinggian tsunami, Aam tiba-tiba berseru memanggil Imamura dan Arikawa.
“Sensei,” teriak Aam sembari melambaikan tangan, “What do you think about this?”
Aam menunjukkan temuannya, dan meminta pendapat kedua peneliti Jepang itu. Mereka kemudian saling tatap dan bergumam berbarengan, sambil mengamati lebih detail.
Imamura seperti tak percaya dengan amatan itu, namun mengangguk, “Yes, I think so.”
ADVERTISEMENT
Aam, Imamura, dan Arikawa berkali-kali saling memanggil untuk mencocokkan temuan dan perhitungan mereka. Setiap kali pula mereka tampak tak puas dan kembali melakukan pengamatan.
Penelitian di Pantai Tanjung Jaya ini memberikan hasil cukup mengejutkan: gelombang tsunami di tempat itu mencapai 8,5 meter, lebih tinggi dari angka yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (tiga meter).
Itu baru di Tanjung Jaya. Belum di lokasi lain. Diskusi dan perhitungan terus menyusul dilakukan sepanjang perjalanan. Pembahasan bahkan mencakup robohnya pohon pisang di satu titik observasi, apakah ia tumbang karena tsunami atau hujan belaka.
Sesampai di Pantai Tanjung Lesung tempat band Seventeen tersapu tsunami , terlihat banyak bangunan permanen luluh lantak.
Imamura mendekati bangunan dua lantai seluas 50 meter persegi. Tembok depan bangunan itu hancur, tapi tembok belakang masih berdiri.
ADVERTISEMENT
Reruntuhan bangunan itu kemudian kami kitari. Kami naik tangga yang hampir roboh menuju lantai dua.
Sembari melangkah hati-hati, Imamura memaparkan teorinya soal skenario masuknya air ke dalam bangunan itu hingga meruntuhkan tembok depan. Ucapannya disetujui para peneliti lain.
Hasil olah data di Tanjung Lesung sama mengagetkan seperti di Tanjung Jaya: ketinggian tsunami mencapai 8,5 meter, 10 meter, 12,5 meter, hingga 13,6 meter.
Perhitungan tersebut jauh melebihi perhitungan awal model algoritma BMKG yang menyebutkan tinggi gelombang tsunami maksimal mencapai 2-3 meter di darat.
ADVERTISEMENT
“Tinggi gelombang 10 hingga 13 meter itu sangat besar walaupun hanya lokal,” kata Imamura.
Sementara para peneliti masih terperangah dengan temuan mereka, saya dihinggapi bayangan menakutkan, bagaimana bila gelombang setinggi 13 meter itu muncul tiba-tiba di hadapan kami?
Beberapa rekan saya yang tak datang ke lokasi bencana pun, bahkan bermimpi buruk dihampiri tsunami saking kami setiap hari mempelajari soal ini lewat segala medium—jurnal ilmiah, video amatir, film dokumenter, hasil wawancara, foto, buku, dan apa pun sumber yang bisa kami jangkau.
“Saya kira kekuatan Tsunami Krakatau lebih besar dari Palu,” ujar Imamura.
Gelombang Tsunami Palu dua bulan sebelumnya, 28 September 2018, memiliki titik tertinggi 11,3 meter. Tak sampai 13 meter.
Hipotesis Imamura dan kawan-kawan itu harus dibuktikan dengan menyambangi langsung kompleks Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
Di situlah masalahnya, sebab gunung garang itu masih berbahaya untuk didekati.
Maka kami pulang ke Jakarta dengan tanda tanya tersisa: apakah benar sumber tsunami lebih “besar” dari yang diperkirakan?
Semoga amuk Anak Krakatau mereda agar para peneliti dapat merampungkan tugasnya melakukan observasi di sumber lokasi tsunami. Demi kepentingan—dan keselamatan—orang banyak.