Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Beberapa hari yang lalu, warga Yogyakarta hingga Tuban dihebohkan dengan kemunculan Lintang Kemukus . Peristiwa itu terjadi pada Sabtu malam, 10 Oktober 2020.
ADVERTISEMENT
Fenomena Lintang Kemukus lantas ramai diperbincangkan di media sosial. Serangkaian video dan foto dari fenomena itu langsung beredar luas. Beberapa orang mengaitkannya dengan peristiwa besar atau bencana yang bakal menimpa suatu negeri.
Menanggapi hal itu, Astronom dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Hakim L. Malasan menjelaskan, bahwa Lintang Kemukus tidak termasuk dalam kategori komet , melainkan meteor besar atau biasa disebut sebagai fireball yang terbakar di eksosfer atau bagian antara atmosfer dan luar angkasa. Adapun dalam istilah Jawa, Lintang Kemukus diartikan sebagai komet atau bintang berekor.
"Kalau kami melihatnya dari sisi astronomi, itu bukan komet ya seperti arti dari lintang kemukus, tapi itu lebih salah satu kategori dalam meteor yang biasa disebut sebagai fireball namanya," kata dia ketika dikonfirmasi, Rabu (14/10).
ADVERTISEMENT
Fenomena Lintang Kemukus biasanya tak lama muncul di langit, sementara komet muncul dalam waktu lama bahkan dapat berhari-hari. Dengan begitu, astronomi modern menilai fenomena itu merupakan fireball.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa fenomena Lintang Kemukus biasanya muncul 12 kali dalam satu tahun. Kemunculannya dinilai sering karena Bumi acap kali melintasi bekas ekor komet. Bekas ekor komet yang ter-uap oleh matahari kemudian menimbulkan sisa bongkahan batu dengan ragam ukurannya.
Ia menegaskan bahwa kemunculan Lintang Kemukus tidak terkait dengan akan datangnya bencana sebagaimana yang dipercayai orang Jawa . Hakim menilai mitos yang beredar di masyarakat hanyalah kekayaan budaya Indonesia terutama Jawa yang sudah melekat sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, masyarakat diimbau agar tidak perlu panik dalam menyikapinya.
ADVERTISEMENT
Efek Lintang Kemukus pada Bumi
Adapun efek Lintang Kemukus pada Bumi, Hakim menjelaskan bahwa itu bisa menimbulkan polusi di eksosfer yang berada di batas antara atmosfer dan luar angkasa.
"Kalau dampak ke bumi sih sebenarnya yang paling nyata polusi di eksosfer jadi bertambah karena ada tambahan debu dari hasil pembakaran batuan ruang angkasa itu yang jatuh ke bumi kan," kata dia melalui sambungan telepon, Rabu (14/10).
"Sehingga paling dampaknya ke situ, memang faktanya juga setiap kita melewati ekor komet itu, maka eksosfer kita atau atmosfer kita akan ketambahan materi debu dari sana," lanjut dia.
Selain itu, Lintang Kemukus juga bisa memberi dampak jangka panjang, terutama pada satelit ciptaan manusia yang marak bertebaran di orbit Bumi. “Dalam jangka panjang, (Lintang Kemukus) bisa berpengaruh pada ketahanan satelit buatan manusia yang ada di orbit,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, masyarakat harus tetap tenang karena dampak yang ditimbulkan tidak akan memengaruhi aktivitas manusia. Hal yang sama juga diungkapkan oleh peneliti di Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN).
Bukan tanda bencana
Fenomena kemunculan lintang kemukus atau dikenal komet di dalam kultur masyarakat Jawa sering dikaitkan dengan suatu hal yang tak baik. Namun Hakim mengatakan, para astronom modern tak melihat itu sebagai tanda bencana. Fenomena itu hanya meteor berukuran besar yang meledak di bagian eksosfer.
"Astronomi modern jelas enggak melihat itu (mitos) secara ilmiah punya kaitan, jadi enggak usah khawatir dengan fenomena itu," kata dia melalui sambungan telepon, Rabu (14/10).
Akan tetapi, Hakim menilai jika kepercayaan itu ialah kekayaan budaya Indonesia terutama Jawa yang sudah melekat sejak zaman dahulu. Meskipun dipercayai, dia mengimbau masyarakat tak panik berlebihan dalam menyikapinya.
ADVERTISEMENT
"Memang bahwa mempercayai lintang kemukus sebagai pertanda itu memang merupakan kekayaan kebudayaan kita, jadi bukan sesuatu yang memang juga harus dihilangkan karena memang juga dalam sejarahnya itu melekat dari zaman nenek moyang kita," ucap dia.
"Tapi memang dalam perkembangan sains moderen, kita tak harus sepenuhnya merasa ketakutan ya atau merasa seperti phobia seperti mitos seperti itu," pungkas dia.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: