Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Timbal sama berbahayanya dengan merkuri. Salah satu logam berat bernama lain Plumbum (Pb) ini bisa menghambat pertumbuhan anak dan perkembangan otak. Tapi kandungan logam beracun ini masih banyak ditemukan dalam cat kayu dan besi berwarna-warni. Standar keamanan hanya jadi acuan, bukan kewajiban yang harus diterapkan. Sementara informasi kepada masyarakat minim diberikan.
Taman bermain anak selalu penuh dengan warna cerah. Perosotan berwarna kuning, ayunan berwarna hijau, jungkat-jungkit berwarna merah atau jingga. Kecemerlangan warnanya jadi rona senada dengan tawa bahagia anak-anak yang kerap bermain di sana.
Tapi siapa kira, kilap warna-warni itu diam-diam menyimpan bahaya jika cat enamel yang digunakan mengandung timbal. Kandungan timbal pada cat membuat warna cat lebih pekat menyala dan cepat kering. Padahal jenis logam berat bernama lain Plumbum (Pb) ini tak jauh berbeda seperti merkuri yang menjadi racun dalam tubuh, apalagi bagi anak yang masih kecil dan rapuh.
Meski tak berdampak langsung, paparan timbal dalam jangka panjang terhadap anak bisa menyebabkan keterbelakangan mental, gangguan saraf, penurunan IQ, hingga mengganggu metabolisme tubuh. Sebab ia bisa menyerang sistem saraf pusat dan otak, ginjal, darah, juga tulang.
Topik tersebut sempat meramaikan jagat maya di pekan terakhir Oktober 2019. Gara-gara Nexus3 atau BaliFokus, lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengadvokasi lingkungan hidup bebas racun, merilis hasil penelitian yang menyebut bahwa 69 persen peralatan taman bermain di Jakarta mengandung timbal lebih dari 90 ppm (part per million)—ambang batas aman kandungan timbal menurut standar WHO.
“Tingginya kadar timbal yang terdeteksi pada cat peralatan bermain di luar ruangan sangat mengkhawatirkan dan tidak dapat diterima dari aspek kesehatan… Kondisi cat yang terkelupas akan bercampur dengan debu dan tanah, yang dapat masuk ke dalam tubuh anak-anak melalui perilaku tangan-ke-mulut,” kata Yuyun Ismawati, Penasihat Senior Yayasan Nexus3, dalam rilisnya .
Penelitian hasil kerja sama dengan IPEN, jaringan global pegiat lingkungan bebas racun, ini dilakukan di 32 taman bermain di Jakarta, 20 taman publik dan 12 taman di area mal atau apartemen. Menggunakan alat analisis X-Ray Fluorescence (XRF), Nexus3 menemukan kandungan timbal tertinggi rata-rata terdapat pada warna kuning atau merah dengan angka lebih dari 4.000 ppm, 44 kali lipat lebih tinggi dari batas aman yang ditetapkan secara internasional.
Penelitian kandungan tinggi timbal dalam cat kayu dan besi ini bukan satu-satunya, bukan pula yang pertama. Di Indonesia, BaliFokus/Nexus3 setidaknya telah meneliti kandungan timbal sejak 2013.
Pada tahun itu penelitian dilakukan terhadap 78 sampel cat enamel yang biasa digunakan pada kayu dan besi, termasuk alat bermain anak di luar ruangan. Hasilnya menunjukkan 77 persen sampel cat mengandung timbal lebih dari 90 ppm, 26 di antaranya bahkan bertimbal lebih dari 10.000 ppm.
Dua tahun berikutnya uji coba kembali dilakukan, kali ini terhadap 121 sampel cat yang dijual bebas di Denpasar dan Jabodetabek. Hasilnya tak jauh berbeda, 94 sampel cat mengandung timbal lebih dari 90 ppm. Kandungan tertinggi mencapai 102.000 ppm terdapat dalam warna-warna terang seperti kuning, jingga, merah, dan hijau.
Padahal saat itu telah diterbitkan SNI ISO 8124-3:2010 untuk Mainan Anak menyebut bahwa kandungan timbal dalam peralatan bermain anak tidak diperbolehkan lebih dari 90 ppm. Sementara SNI 8011:2014 untuk cat dekoratif menyebut bahwa kandungan timbal pada cat tak boleh lebih dari 600 ppm.
“Di Indonesia standarnya kan SNI dan SNI (cat dekoratif) itu masih menghalalkan angka aman timbal di 600 ppm. Sementara standar WHO udah harus kurang dari 90 ppm, dan hasil temuan kami ada yang 4.000 ppm, jauh dong,” ujar peneliti Nexus3, Yune Aribowo, saat berbincang bersama kumparan di Laulau Cafe, Jakarta Selatan, pada Selasa (26/10).
Tapi pemenuhan standar nasional itu pun tak bersifat wajib, melainkan sukarela. “Ada 2 cara, pertama produsen melakukan sertifikasi SNI atas inisiatif sendiri lalu dilaporkan ke KLHK supaya bisa masuk e-katalog green label KLHK, kedua sertifikasi atas perintah dari pemerintah tapi kalau tak dilakukan tak ada sanksi apapun,” kata Yune.
Peneliti Nexus3 lainnya, Sonia Buftheim, mengatakan bahwa tiadanya kewajiban untuk memenuhi standar nasional itu seolah jadi kekosongan hukum. Ia menilai beragam hasil penelitian terkait kandungan timbal pada cat kayu dan besi di Indonesia direspon begitu lambat.
“Kita penginnya ada regulasi kan. Tapi selama 6 tahun itu responsnya kurang progresif. Cuma dijawab, ‘oh oke’,” ucap Sonia yang ditemui kumparan secara terpisah di Kebagusan City, Jakarta Selatan, pada Rabu (27/10).
Padahal, menurut Sonia, dengan menerapkan standar internasional kandungan timbal di bawah 90 ppm bisa menjadi keuntungan bagi produsen. “Mereka bisa ekspor karena di negara-negara lain, bahkan Filipina, strict 90 ppm standarnya.”
Secara global, cat mengandung timbal di atas 90 ppm memang telah dilarang di berbagai negara. Perancis, Belgia, dan Austria telah menolak timbal bahkan sejak 1909. Sebelum memasuki tahun 1940, semua negeri di Eropa telah melarang kandungan tinggi timbal dalam cat.
Setelah 38 tahun, Amerika Serikat menyusul menolak cat bertimbal tinggi pada 1978. Alasan utamanya tak lain dan tak bukan adalah risiko kesehatan dan hak ekologis berupa lingkungan bebas racun bagi warganya. Kewajiban memenuhi batas maksimal kadar timbal 90 ppm untuk produk-produk taman bermain di Amerika Serikat diatur dalam Undang-undang Peningkatan Keamanan Keselamatan Produk Konsumen.
Di Asia Tenggara, kandungan cat bertimbal lebih dari 90 ppm memang masih banyak ditemukan. Salah satu negara yang telah secara tegas melarang penggunaan timbali lebih dari 90 ppm adalah Filipina setelah pemerintahnya mengeluarkan surat edaran larangan pada 2016.
Persoalan risiko kesehatan kandungan timbal yang tinggi dalam cat besi dan kayu telah berulang kali disampaikan. Setiap usai penelitian, kata Sonia, timnya selalu berdiskusi dengan pihak produsen cat dan juga Kementerian Perindustrian.
“Tapi biasanya mentok di Kemenperin. Mereka bilang industri masih butuh. Padahal kita udah nunjukin ada kok perusahaan lokal yang bisa bebas timbal,” ucap Sonia.
Menanggapi hal tersebut pejabat di Direktorat Industri Kimia Hilir Kementerian Perindustrian, Irwansyah, menyebut bahwa kementerian berencana menurunkan standar kandungan timbal untuk cat dekoratif dari 600 ppm menjadi 90 ppm.
“Tapi kalau bicara SNI wajib, kan ada persiapan dulu dari lab ujinya, dari infrastrukturnya… Kita maunya aturan itu memang baik untuk masyarakat kita, menjaga kesehatan manusia, lingkungan. Kementerian mendukung pada dasarnya. Tapi kita juga harus melihat kemampuan dari industri kita,” paparnya ketika dihubungi kumparan pada Rabu malam.
Menurut Irwansyah, pemerintah tidak bisa tergesa-gesa untuk mewajibkan semua produsen cat menekan kadar timbal dalam produknya. Ia mengatakan sebagian perusahaan besar cat telah siap, namun tetap dibutuhkan kajian menyeluruh. “Tapi kembali lagi bahan baku untuk pengganti agar timbalnya rendah kan memang agak mahal,” ucap Irwansyah.
Menurut peneliti LIPI, Agus Haryono, telah banyak bahan lain pengganti timbal yang lebih ramah lingkungan. “Material organik untuk pewarna kan banyak, misalnya azo. Meskipun ada beberapa jenis azo yang mulai dilarang karena berbahaya bagi kesehatan. Senyawa azo dinitroanilina diketahui bersifat mutagenik, senyawa azo benzidina bersifat karsinogenik. Tetapi senyawa azo yang lain masih boleh digunakan sebagai pewarna untuk berbagai aplikasi,” ucap Agus kepada kumparan di kantornya, LIPI, Jakarta Selatan.
Pilihan lain dari senyawa anorganik seperti metal oxide, seperti contohnya besi oksida yang dapat menghasilkan warna kuning, jingga, hingga merah. Harga pewarna organik memang sekitar 5 sampai 10 persen lebih mahal dari timbal. Namun ia menyakini harganya akan menurun jika permintaan sudah meningkat.
Ia juga pernah melakukan sosialiasi untuk mendorong pengurangan kadar timbal dalam cat. “Sudah sering sih kita diskusi dengan Kemenperin, dengan industri, untuk sosialisasi pengganti timbal. Sejak tahun 2012-2013 industri tahu sudah ada pengganti timbal,” katanya. “Cuman karena tidak ada keharusan, sehingga yang diimpor tetap timbal.”
Sementara menanti lahirnya peraturan yang lebih pro hak ekologis dan melindungi kesehatan konsumen, persoalan yang dihadapi warga sebagai konsumen saat ini adalah hak atas informasi kandungan pada cat kayu dan besi.
“Masalahnya lagi, konsumen tidak punya keluluasaan untuk tahu, ini bebas timbal atau nggak. Konsumen awam nggak tahu soal timbal. Di kaleng itu biasanya cuma muncul cara mengecat yang baik. Produsen jarang yang cantumin produknya mengandung apa aja,” ucap Sonia.
Hal tersebut membuat konsumen tidak mengetahui apakah ada pilihan cat bebas timbal atau tidak. Bagi Sonia, selain regulasi, target penelitian yang dilakukannya selama enam tahun terakhir ini adalah awareness, kesadaran masyarakat terkait risiko kesehatan dari cat bertimbal. Ia berharap konsumen bisa mendorong produsen-produsen cat untuk mendeklarasikan produknya bebas timbal.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Agus. Deputi bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI itu berharap meski belum diwajibkan, produsen bisa mencantumkan apakah produknya bebas timbal atau tidak. “Produk plastik saja sudah mulai banyak yang mencantumkan 'tidak mengandung bpa', misalnya. Sehingga orang bisa memilih demi kesehatan keluarganya.”
Bukankah memperoleh informasi produk yang aman dan lingkungan bebas racun adalah hak kita semua?