Kepala LAPAN: Prioritas Indonesia Bukan ke Bulan

19 Juli 2019 18:46 WIB
clock
Diperbarui 16 November 2019 11:48 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaludin. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaludin. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan.

Daripada ke Bulan, LAPAN memilih program-program antariksa yang bermanfaat langsung ke masyarakat.

Sebagai pimpinan salah satu lembaga negara, Thomas Djamaluddin tergolong sigap dalam membalas pesan WhatsApp wartawan. Alumni Astronomi ITB angkatan 1981 ini langsung menyetujui permohonan wawancara kumparan mengenai program antariksa Indonesia dan setengah abad pendaratan manusia pertama di Bulan tanpa harus repot memasukkan surat permohonan lebih dahulu.
Rabu sore, 17 Juli, Thomas menerima tim kumparan di kantornya, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Rawamangun, Jakarta Timur. Sore itu ia bercerita banyak hal, mulai ketertarikannya pada astronomi hingga prioritas program ruang angkasa Indonesia.
“Program keantariksaan kita saat ini, ya dengan keterbatasan anggaran dan SDM, difokuskan pada penguasaan teknologi yang memberikan manfaat secara langsung,” tuturnya perlahan.
Meski tak menampik adanya keinginan untuk bisa pergi ke Bulan seperti negara-negara lain, Thomas memilih untuk fokus pada penguasaan teknologi satelit dan roket terlebih dulu. Ia menegaskan, kemampuan teknologi Indonesia dibanding negara lain di Asia Tenggara tak kalah.
Ia berkata, “Indonesia sudah dianggap sebagai emerging space country.” Oleh karenanya kerap diundang mewakili negara berkembang untuk menghadiri pertemuan internasional keantariksaan, termasuk oleh NASA yang berniat kembali ke Bulan pada 2024.
Di sela pemaparannya, seraya bercanda Thomas juga mempromosikan film berjudul Iqra: My Universe yang menceritakan tentang cita-cita seorang anak untuk menjadi astronaut. “Iqra 1, Petualangan Meraih Bintang kan sudah (tayang 2017). Nah sekarang Iqra 1, My Universe. Di dalamnya ada saya,” ucapnya diiringi tawa.
Jadi, sejauh apa kemampuan teknologi keantariksaan Indonesia? Apa saja program prioritas lembaga yang dipimpinnya itu? Dan, di tengah peringatan setengah abad manusia menjejak Bulan, apa sesungguhnya makna pendaratan di Bulan itu?
Berikut kutipan percakapan kumparan bersama Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaludin. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan.
Apa makna penting dari pendaratan manusia di Bulan 50 tahun lalu?
Misi ke Bulan itu sesungguhnya dulu dipicu oleh Perang Dingin, persaingan antara Amerika dengan Uni Soviet. Pada waktu itu Uni Soviet sudah meluncurkan astronaut pertamanya Yuri Gagarin (ke ruang angkasa), kemudian Amerika membuat misi ke Bulan. Lebih jauh lagi dibandingkan dengan sekadar mengorbit Bumi (misi Gagarin).
Nah jadi misi ke Bulan, demikian juga eksplorasi antariksa secara umum, satu sisi memang berupaya mencari (jawaban atas) pertanyaan-pertanyaan hakiki manusia terkait dengan asal usul alam semesta, asal usul Bumi dan tata surya, kemudian juga asal usul kehidupan. Itu adalah pertanyaan paling hakiki.
Eksplorasi antariksa juga selalu dikaitkan dengan upaya manusia untuk menunjukkan penguasaan teknologi mereka. Jadi dua hal itu.
Memang betul bahwa Neil Armstrong hanya satu pijakan di Bulan tetapi itu mempunyai banyak arti bagi seluruh umat manusia.
Pertama, dari segi praktisnya, mereka bisa menunjukkan keunggulan teknologi Amerika. Pengetahuan mereka terkait penerbangan atau pengorbit, wahana antariksa, itu sudah bisa mengantarkan wahana mereka dan manusia menjejakkan kaki di Bulan. Dan lebih istimewa lagi bukan sekadar mengirim manusi ke Bulan, tapi kemudian kembali lagi ke Bumi secara selamat.
Hal yang penting juga, mereka mendarat di Bulan dengan misi-misi selanjutnya membawa sampel batuan Bulan. Dan itu menjadi material penelitian yang sangat menarik terkait dengan asal-usul Bulan.
Sebelum ada misi Apollo tersebut, secara teoritik saja (peneliti beranggapan) bahwa komposisi bulan itu sama dengan komposisi kulit Bumi, tidak mengandung inti besi. Setelah datang ke sana, diambil sampel langsung ya dari sana bisa membuktikan material sesungguhnya dari Bulan tersebut.
Jangan dibayangkan bahwa misi ke Bulan itu seperti orang terbang dari Jayakarta ke New York, pake pesawat lalu mesinnya terus nyala terus, tidak akan cukup bahan bakarnya (kalau ke Bulan dengan cara itu). Jadi misi eksplorasi antariksa itu misi bagaimana memanfaatkan gravitasi, kemudian menghitung secara tepat saat di mana roketnya itu kemudian dinyalakan untuk bermanuver mengubah orbit, semula orbit lingkaran menjadi orbit lonjong. Sampai dengan orbit lonjong tertentu kemudian dinyalakan lagi (roketnya), untuk mengubah orbitnya lagi semakin meluas. Polanya seperti itu.
Sekarang misinya bukan lagi ke Bulan tapi ke planet-planet lain.
Kru Apollo 11 LR Edwin E. Aldrin berdiri di dekat Modul Lunar sambil berjalan di Bulan. Foto: AFP/NASA
Sebenarnya apa yang dicari dengan pergi ke ruang angkasa?
Bahasa sederhananya mencari asal usul alam semesta. Yang kedua, menunjukkan kemampuan teknologinya. Karena misi antariksa juga mengandung pesan, mereka ingin menunjukkan kemampuan teknologi. Biasanya program-program antariksa itu juga terkait visi untuk menunjukkan national pride.
Kalau India dan Korea Selatan itu secara eksplisit menyatakan visi keantariksaan mereka salah satunya adalah national pride. Jadi kebanggaan nasional.
Apakah pendaratan manusia pertama ke Bulan itu berdampak ke Indonesia?
Itu memberikan dampak juga bagi kegiatan keantariksaan di Indonesia. Jadi, LAPAN kan berdiri tahun 1963. Misinya itu adalah penguasaan teknologi roket dan penerbangan dirgantara. Makanya logo pertama LAPAN kan roket dan sayap. Roket itu menunjukkan teknologi keantariksaan, kemudian sayap untuk teknologi penerbangan.
Cita-citanya memang ingin meluncurkan wahana antariksa. Ketika keberhasilan dua negara super power itu, Uni Soviet dan Amerika itu juga berpengaruh sebetulnya pada program keantariksaan Indonesia oleh LAPAN.
Kemudian ada gagasan terkait dengan penggunaan satelit itu untuk telekomunikasi. Itu yang kemudian mewujudkan visi keantariksaan. Dengan mengirimkan Satelit Palapa 1 dan pengiriman Satelit Palapa 2. Kemudian disertai dengan misi besar, Indonesia ingin mengirimkan astronaut pertama di Asia kalau tidak salah pada waktu itu.
Astronaut perempuan pertama di Indonesia, Pratiwi Sudarmono (kanan) Foto: Twitter /@aisoffice
Jadi Indonesia juga ada ambisi untuk pergi ke Bulan?
Waktu masih kuliah itu saya dengar ada program persiapan astronaut Indonesia. Kebetulan pembimbing saya, Prof. Bambang Hidayat juga menjadi salah satu tim untuk penyiapan astronaut. Jadi waktu itu terpilih dua orang, salah satunya Ibu Pratiwi (yang menjadi astronaut perempuan pertama di Asia). Itu tahun 1980-an.
Ambisi ada, tapi ada skala prioritas juga. Jadi sebut saja skala prioritas keantariksaan Indonesia itu di dalam Rencana Induk Keantariksaan yang sudah ditetapkan dalam Perpres Nomor 45 Tahun 2017 itu mencita-citakan tahun 2040 Indonesia harus mampu meluncurkan satelit buatan sendiri dengan wahana roket peluncur buatan sendiri dari bumi indonesia.
Apa saja program prioritas LAPAN?
Program keantariksaan kita saat ini, dengan keterbatasan anggaran dan SDM, difokuskan pada penguasaan teknologi yang memberikan manfaat secara langsung. Jadi dengan angaran yang terbatas itu yang kemudian LAPAN memprioritaskan untuk pengembangan satelit dan pengembangan wahana peluncurnya.
Memang banyak usulan mengapa kita tidak mulai lagi untuk mengirimkan astronaut, negara tetangga (Malaysia) saja sudah. Tapi sekarang ini misi pengiriman astronaut itu lebih ke arah kebanggaan nasional saja. Tapi biayanya mahal, kemudian dari segi kemanfaatan untuk pengembangan teknologinya itu kurang optimal.
Tahap pendakian Modul Apollo 11, dengan astronot Neil A. Armstrong dan Edwin E. Aldrin Jr di atas kapal, difoto dari Modul Perintah dan Layanan di orbit bulan, 20 Juli 1969. Foto: NASA via REUTERS/Michael Collins
Dengan keterbatasan itu LAPAN masih sering diajak untuk ikut dalam program global terkait dengan space exploration. Diajak negara-negara maju juga untuk ikut space exploration, termasuk misi ke Bulan juga.
Pada April lalu ada pertemuan di Amerika ketika NASA memaparkan terkait percepatan program AS ke Bulan. DI situ berkumpul mungkin hampir 30 badan antariksa internasional. LAPAN termasuk hadir di sana.
NASA sebenarnya punya misi kembali ke bulan itu 2028 tetapi kemudian Presiden Trump meminta dipercepat jadi 2024. Waktu pertemuan tersebut juga saya dengar dari kolega-kolega yang lain, (misi) itu berat bagi NASA. Jadi dilakukan dengan kolaborasi internasional. Eropa mendukung, Jepang mendukung, dengan program yang diupayakan untuk disinergikan.
Berat di biaya atau apa?
Dari penguasaan teknologinya. Artinya kita tidak bisa mengulang teknologi tahun 1970-an itu dari segi efisiensi. Kalau mengikuti generasi tahun 1970-an biayanya jauh lebih mahal.
LAPAN ikut serta di misi NASA ke Bulan pada 2024?
Hanya dalam koordinasi-koordinasi saja. Saya nyatakan bahwa secara prinsip Indonesia mendukung tapi dengan keterbatasan yang ada, kami masih memprioritaskan teknologi mengorbit Bumi dengan satelit dan wahana peluncurnya.
Foto bumi yang diambil dari pesawat Apollo 11. Foto: AFP/NASA
Alasan pertama karena misi antariksa itu mahal. Banyak negara juga sama mengeluhkan keterbatasan anggaran untuk misi keantariksaan. Satu-satunya negara yang tidak mengeluhkan anggaran untuk misi keantariksaan hanya India. India itu kan salah satu misinya national pride.
Mereka (India) sering menyebut anggaran untuk keantariksaan tidak terbatas. Jadi waktu pertemuan di Singapura tahun lalu, itu juga Jepang juga (ngomong), "Saya baru mendengar ada negara yang menyatakan tidak mengalami masalah dengan anggaran untuk keantariksaan".
Perkembangan teknologi keantariksaan Indonesia sejauh ini seperti apa?
Kalau dilihat dari milestone-nya (pencapaian), pertama ketika Presiden Sukarno membentuk LAPAN (pada 1962) dengan satu cita-cita untuk menguasai keantariksaan. Karena waktu itu Bung Karno mengatakan bangsa yang maju harus menguasai dua teknologi, yaitu teknologi nuklir dan teknologi antariksa. Visi terebut kemudian dituangkan dengan mendirikan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional), lalu mendirikan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional).
Pencapaian yang kedua tahun 1976 ketika Indonesia memutuskan menggunakan satelit. Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan satelit untuk komunikasi setelah Amerika dan Kanada. Itu suatu pencapaian yang penting untuk keantariksaan.
Pencapaian yang ketiga menurut saya ketika dilahirkannya Undang-Undang Keantariksaan pada 2013. Itu merupakan komitmen bangsa Indonesia bahwa Indonesia harus maju di bidang keantariksaan dan itu harus didukung dari segi peraturan perundang-undangannya. Pengesahaan UU Keantariksaan pada 6 Agustus 2013 itu dijadikan Hari Keantariksaan oleh LAPAN.
Kemudian dari segi hasilnya, tahun 2007 dapat dikatakan lompatan penting yang dilakukan oleh LAPAN dengan berhasil membuat satelit sendiri, meluncurkan satelit sendiri, dan itu berfungsi. LAPAN A1.
Itu buah kerja sama dengan TU Berlin (Universitas Teknik Berlin). Jadi LAPAN membiayai dan mengirimkan belasan engineer ke sana untuk dilatih oleh profesor di sana.
Setelah itu mereka kemudian kembali ke Indonesia membangun fasilitas pusat teknologi satelit di Raja Bungur, Bogor. Akhirnya berhasil membuat satelit kedua satelit tahun 2012, hanya lima tahun setelah peluncurannya yang pertama.
Satelit sudah siap, tapi wahana peluncurnya waktu itu ternyata mundur. Jadi baru diluncurkan pada September 2015. Setelah itu bikin satelit yang ketiga.
Menurut saya itu pencapaian penting dengan berhasilnya engineer Indonesia itu membuat satelit sendiri dan menggunakan fasilitas di dalam negeri. Kalau Singapura, bisa membuat (satelit) juta tapi itu menggunakan fasilitas di Inggris dan dibantu.
Kalau kita, sudah bisa membuat satelit dengan kamera dan video yang bisa dikendalikan. Kemudian satelit generasi kedua itu ada misi komunikasi radio amatir, ada misi pemantauan pergerakan kapal dengan Automatic Identification System. Lalu generasi ketiga misinya ditambah agar bisa digunakan untuk vegetasi, pertanian, perkebuna, dan juga misi pengukuran medan magnet Bumi.
Jadi memang misi satelit LAPAN tergolong misi satelit yang kompak ya. Satu tapi ingin segala sesuatu dimasukkan.
Setengah Abad Apollo 11 Pergi ke Bulan Foto: Indra Fauzi/kumparan
Artinya posisi Indonesia dibanding negara Asia Tenggara lain tidak tertinggal?
Indonesia sudah dianggap sebagai emerging space country. Setidaknya kita sudah mempunyai kemampuan pengembangan satelit sendiri, kemudian sudah mempunyai kemampuan pembuatan roket walaupun belum maksimal tapi itu sudah diakui.
Kalau dibandingkan dari segi kemampuan pengembangan teknologinya, Indonesia masih unggul. Singapura bisa membuat satelit dan mengoperasikan satelit, tapi satelitnya dibuat bukan di Singapura sendiri. Thailand juga sudah punya satelit sendiri tapi itu pun kerja sama dengan AirBus. Artinya, ya misinya milik Thailand tapi teknologinya dibuatkan negara lain. Vietnam itu sudah bisa membuat satelit nano, lebih kecil dibandingkan dengan (satelit mikro) yang dibuat oleh LAPAN. Itu juga kerja sama dengan Jepang, fasilitas yang digunakan pun masih fasilitasnya jepang.
Nah kalau kita, memang belajar dari Jerman, tapi kemudian pulang dengan SDM yang sudah dilatih. Kemudian mereka mengembangkan fasilitas sendiri dan berhasil membuat satelit yang kedua dan yang ketiga, dan sekarang akan membuat yang keempat.