Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Balitbang Kementerian Pertanian mengaku menemukan obat COVID-19 berbahan minyak kayu putih. Tapi kesahihan obat ini masih diragukan oleh peneliti dan dokter.
Upaya ilmuwan untuk menemukan obat dan antivirus SARS-CoV-2 adalah sebuah jalan panjang, dan Fadjry Djufri tak tinggal diam. Sejak awal Maret lalu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian ini mencermati berbagai referensi soal potensi tanaman herbal menghadapi virus. Ragam literatur dan penelitian lantas menuntunnya pada kayu putih.
Djufry tak sendirian mencari senjata melawan corona. Berbagai balai di bawah lembaganya seperti Balai Besar Veteriner, Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, serta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah dikerahkan untuk menyusun rekomendasi bahan aktif potensial dari komoditas pertanian.
Setelah dua bulan bekerja, penelitian mereka berujung pada satu kesimpulan: tanaman eucalyptus—minyak kayu putih—berpotensi sebagai antivirus yang paling prospektif dari seluruh tanaman herbal.
“Ternyata dari data yang kami peroleh, Eucalyptus sp. yang kami uji bisa membunuh 80-100 persen virus, mulai dari avian influenza hingga virus corona. Setelah hasilnya bagus, kami lanjut ke penggunaan nanoteknologi agar kualitas produknya lebih bagus," jelas Fadjry dalam situs Badan Litbang Pertanian Kementan, Senin (11/5).
Eukaliptus memiliki kandungan senyawa aktif 1,8-cineole (eukaliptol ). Senyawa ini dipercaya memiliki kandungan antivirus, antiinflamasi, dan antimikroba. Djufry mengaku sudah melakukan penambatan molekul (molecular docking) dan uji in vitro (dalam lingkungan buatan) di Laboratorium Balitbangtan.
Hasil penelitian menyimpulkan minyak asiri Eucalyptus citriodora bisa menjadi antivirus terhadap virus avian influenza (flu burung) subtipe H5N1, serta virus gama dan beta corona. Kepala Balitbangtan Fadjry mengklaim, senyawa yang terkandung di dalam tanaman eukaliptus mampu menyembuhkan penyakit akibat virus SARS-CoV-2.
Riset soal manfaat minyak asiri menghadapi COVID-19 pernah ditulis oleh peneliti Departemen Bioteknologi dan Pengetahuan Lyallpur Khalsa College Jalandhar, Arun Dev Sharma dan Inderjeet Kaur, dalam jurnal berjudul Eucalyptol (1,8-cineole) from Eucalyptus Essential Oil a Potential Inhibitor of COVID-19 Corona Virus Infection by Molecular Docking Studies.
Kedua peneliti itu menjelaskan bahwa senyawa eukaliptol berkhasiat untuk menghambat infeksi COVID-19 dan memberikan proteksi terhadap paru-paru. Selama ini, senyawa 1,8-cineole memiliki kandungan antioksidan yang bisa berperan dalam proses penyembuhan penyakit pernapasan seperti asma.
“Eucalyptol memiliki afinitas (pembentukan ikatan kimia pada senyawa) yang tinggi,” tulis jurnal tersebut.
Namun bagian akhir dari jurnal itu menuliskan bahwa riset ini baru pada tahap awal dan belum dikaji lebih lanjut. Sementara untuk memvalidasi eukaliptus mampu menyembuhkan orang yang terpapar virus corona, harus dilakukan studi lanjutan dengan mengujinya menggunakan model pengujian in vitro dan in vivo.
Kasubbag Humas Balitbangtan, Intan Yudia Nirmala, menjelaskan bahwa saat ini lembaganya belum menguji klinis eukaliptus. Nantinya, mereka akan menggandeng pihak-pihak terkait seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dokter, dan apoteker jika uji itu diperlukan.
“Riset masih secara in vitro dan masih terus dilakukan sesuai tujuan pengembangan. Nantinya (akan dilihat) apakah perlu uji in vivo (pada makhluk hidup) dan uji klinis lainnya," kata Intan kepada kumparan melalui jawaban tertulis, Jumat (29/5).
Hingga saat ini, pengembangan produk oleh Balitbangtan menghasilkan lima produk antivirus corona dari tanaman eukaliptus, yakni minyak aromaterapi, balsam, roll-on, inhaler, dan kalung aromaterapi.
Meski belum ada uji klinis, Kementan telah mendaftarkan hak paten untuk tiga produknya ke Kementerian Hukum dan HAM. Ketiganya adalah Formula Aromatik Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus dengan nomor pendaftaran P00202003578, Ramuan Inhaler Antivirus Berbasis Eucalyptus dan Proses Pembuatan dengan nomor P00202003574, serta Ramuan Serbuk Nanoenkapsulat Antivirus Berbasis Eucalyptus dengan nomor P00202003580.
Adapun cara kerja ketiga produk tersebut dalam menangkal virus corona ialah dengan membunuhnya sebelum ia masuk ke tubuh manusia—ketika virus menempel di tenggorokan sebelum masuk ke paru-paru.
Fadjry sendiri mengatakan, produk diffuser oil mampu membasmi virus saat masih di udara. “Hasil pengujian kami, (produk) dalam bentuk inhaler bisa membunuh virus yang di tenggorokan dan saluran napas. Kalau diffuser oil bisa mematikan virus di udara.”
Kementan juga menggandeng PT Eagle Indo Pharma (Cap Lang) untuk mengembangkan dan memproduksi agar produk bisa tersedia lebih cepat di pasaran.
“Sehingga dapat digunakan masyarakat sebagai pencegahan pandemi virus corona,” ujar Fadjry pada penandatangan perjanjian Lisensi Formula Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus antara Balitbangtan dan Cap Lang di Bogor, Senin (18/5).
Menurutnya, sejak proses uji coba, produk eukaliptus itu telah mendapatkan respons positif dari berbagai pihak. Ia menyebut banyak orang sudah menanyakan ketersediaan produk tersebut. Saat acara launching, Kementan pun memberikan lebih dari 1.000 paket kepada mitra yang hadir.
Namun kontroversi atas keampuhan produk yang dilabeli antivirus itu muncul dari kalangan ilmuwan. Dokter spesialis emergency Tri Maharani menyebut produk tersebut tidak bisa diklaim sebagai antivirus corona. Ia mempertanyakan jurnal rujukan dan keterbukaan riset Kementan yang mengklaim eukaliptus bisa menangkal corona.
Menurut Maha, sapaan Maharani, setidaknya butuh waktu cukup lama untuk melakukan riset sains dalam menemukan antivirus. Apalagi di seluruh dunia belum ada satu pun negara yang menyebut eukaliptus bisa menjadi antivirus COVID-19.
Tahapan yang harus dilalui Kementan dalam proses menemukan antivirus, ujarnya, ialah melakukan uji klinis terhadap hewan, uji toksikologi racun, dan terakhir mengujinya terhadap manusia. Rangkaian pengujian tersebut wajib dilakukan agar tak ada efek samping ketika produk sudah digunakan oleh masyarakat.
“Karena menyemprotkan eukaliptus ke inhalasi (pemberian obat langsung dalam bentuk uap menuju alat pernapasan hidung ke paru-paru) itu kan pasti ada side effect-nya,” kata Maha kepada kumparan lewat sambungan telepon, Kamis (28/5).
“Kita itu memasukan obat ke tubuh manusia, ke sel-sel manusia. Kalau itu tidak menjadi racun, oke. Nah, kalau dia jadi racun, ya tidak oke meskipun dia punya efek mematikan ke si virus,” imbuhnya.
Maha sangsi dengan metode Kementan. Ia menganggap klaim Kementan bahwa eukaliptus adalah antivirus corona tidak berdasarkan sains yang didasari riset ilmiah, uji ilmiah, dan uji toksin. Ia pun berharap Kementan mampu mempertanggungjawabkan inovasinya secara ilmiah agar tidak muncul keraguan.
“Dengan uji ilmiah pada hewan, diketahui bagaimana efeknya kepada manusia. Juga harus uji toksikologi untuk menguji dia racun atau bukan. Terakhir, harus diuji pada manusia—hasilnya harus sama di tempat berbeda, dan kalau bisa harus lebih dari 10 kali pengujian,” jelasnya.
Maha menilai soal eukaliptus ini tak jauh berbeda dengan ketika pemerintah meminta masyarakat mengkonsumsi empon-empon untuk meningkatkan imunitas tubuh. Bagi Maha, sejauh ini tantangan terbesar para dokter di tengah pandemi corona adalah memberikan edukasi kepada masyarakat agar tak mudah percaya terhadap tanaman herbal.
Senada, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengingatkan obat berbahan alam atau suplemen tidak boleh overclaim dalam penyebutan manfaatnya. Ia mengatakan, sebaiknya Kementan mengenali mekanisme zat atau senyawa apa yang bisa membunuh virus corona, sebab eukaliptus tergolong obat alam multicompound yang merupakan ekstrak dari berbagai bahan yang berasal dari alam seperti daun, akar, atau biji.
Pun, menurut Amin, sebaiknya Kementan melakukan uji klinis di laboratorium secara khusus untuk menentukan komponen, dosis, dan konsentrasi senyawa untuk membunuh virus yang sudah ia klaim. Amin mengingatkan, kalau peneliti memakai virus lain sebagai objek penelitian, dia wajib menyampaikannya dalam laporan yang dibuat.
“Kalau saya tak salah tangkap, produk antivirus itu masih dianggap dapat membunuh virus corona. Jadi masih belum terbukti. Menurut aturan BPOM, sebagai obat bahan alam atau suplemen itu tidak boleh mengklaim manfaat yang belum teruji,” katanya, Rabu (20/5).
Keraguan atas klaim Kementan menguat karena—menurut Amin—Indonesia saat ini belum memiliki isolat virus SARS-CoV-2 murni. Padahal tanpa menguji langsung senyawa atau zat ke virus SARS-CoV-2, klaim antivirus bisa dipastikan gugur.
Maha maupun Amin berharap BPOM mampu menjadi penilai terakhir soal apakah eukaliptus hasil inovasi Kementan berhak bebas dipasarkan. Menurut Maha, BPOM harus membuat pengujian yang betul-betul ditujukan untuk obat antivirus corona agar tak ada korban di kemudian hari.
Lebih lanjut, BPOM harus menyatakan bahwa produk antivirus Kementan bukanlah barang beracun dan sudah melalui rangkaian uji ilmiah yang benar.
“Jadi BPOM ini menjadi badan penguji apakah sah atau tidak obat itu bisa beredar. Eukaliptus ini di seluruh dunia belum ada yang pakai (sebagai obat COVID-19). Bangsa ini harus hati-hati,” ujar Maha.
kumparan mencoba menghubungi Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM Maya Gustina Andarini untuk mengetahui proses izin edar produk eukaliptus milik Kementan. Namun sampai berita ini diterbitkan, sejumlah pertanyaan dari kumparan belum mendapatkan jawaban dari BPOM.
* * *
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
* * *
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.