Ribuan Kota di AS Terancam Jadi ‘Kota Hantu’ pada Tahun 2100, Kenapa?

17 Januari 2024 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Taxi di New York. Foto: Mikayel Bartikyan/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Taxi di New York. Foto: Mikayel Bartikyan/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Pada 2100, Bumi mungkin akan terlihat sangat berbeda dengan keadaan saat ini, termasuk kota yang kita huni. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal, baik karena dampak yang terjadi secara alami akibat perubahan iklim maupun keadaan berbeda karena dibuat oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Kota-kota di sejumlah wilayah di dunia juga akan terasa sangat berbeda dan beberapa di antaranya diprediksi akan menghilang. Studi baru yang diterbitkan di jurnal Nature Cities, menunjukkan bahwa setengah dari 30.000 kota di Amerika Serikat bakal mengalami depopulasi (penurunan populasi) dengan kehilangan antara 12 hingga 23 persen penduduknya pada akhir abad ini.
Menurut analisis tersebut, kota-kota di masa depan bakal cenderung mirip dengan komunitas yang terpecah, makin sedikit, dan menyebar sehingga kota-kota tersebut terancam menjadi ‘kota hantu’ seiring dengan perpindahan penduduk di dalam dan antar-kota. Kecuali jika pemerintah daerah dapat merespons dan beradaptasi dengan perubahan kebutuhan penduduknya.
“Implikasi dari penurunan populasi secara besar-besaran ini akan membawa tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mungkin mengarah pada gangguan layanan dasar seperti transportasi umum, air bersih, listrik dan akses internet seiring dengan menyusutnya kota dan bertambahnya populasi,” papar para peneliti.
ADVERTISEMENT
Penurunan populasi di wilayah tertentu dapat mengganggu perekonomian warga, seperti menyebabkan toko kelontong tutup sehingga membuat sumber daya makanan menipis. Infrastruktur yang terbengkalai di kota-kota yang semakin sedikit juga dapat mengakibatkan masyarakat tidak memiliki air bersih, seperti yang terjadi Jackson, Mississippi, pada 2021.
Ilustrasi kota hantu Jerome di Arizona, Amerika Serikat. Foto: weltreisendertj/Shutterstock
Dampak potensial dari penurunan kota-kota ini dipelajari oleh Uttara Sutradhar, mahasiswa pascasarjana di bidang teknik sipil University of Illinois di Chicago, AS, bersama dua rekannya, Lauryn Spearing dan Sybil Derrible.
Dalam studi ini, Sutradhar dan rekannya memperluas analisis mereka dengan meneliti kota-kota di 50 negara bagian, AS, mendasarkan proyeksi mereka pada tren populasi dari data sensus AS dari tiga periode waktu selama 20 tahun, dan dua kumpulan data yang menggabungkan lima kemungkinan skenario iklim di masa depan.
ADVERTISEMENT
Analisis mereka juga tidak terbatas pada kota-kota besar di Amerika saja. Peneliti mendefinisikan kota seperti yang didefinisikan oleh Biro Sensus AS: “kumpulan orang di sebuah tempat yang biasa kita sebut sebagai distrik, desa, dan kota kecil, termasuk kota metropolitan besar”.
“Sebagian besar penelitian berfokus pada kota-kota besar, namun hal ini tidak memberi kita perkiraan mengenai skala masalahnya,” kata Sutradhar, dikutip dari Scientific American.
Hasil analisis mereka menunjukkan, saat ini 43 persen kota-kota di AS kehilangan banyak penduduk. Mereka memproyeksikan angka kehilangan penduduk ini akan meningkat seiring berjalannya waktu. Berdasarkan model skenario iklim, hingga 64 persen kota bisa mengalami penurunan penduduk pada 2100 mendatang.
Seorang pria memegang poster saat unjuk rasa yang menyerukan pemerintah AS untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim dan menolak penggunaan bahan bakar fosil di New York City. Foto: REUTERS/Eduardo Munoz
Wilayah Timur Laut dan Barat Tengah kemungkinan akan menjadi kota dengan jumlah penduduk paling sedikit, dan juga akan menyaksikan sebagian besar kota mengalami kehilangan populasi pada 2100.
ADVERTISEMENT
Namun, perkiraan tren penurunan populasi selama beberapa dekade ke depan ini pada dasarnya tidak pasti, dan analisisnya tidak mengeksplorasi faktor ekonomi atau sosial yang mendorong proyeksi tren tersebut.
Studi ini juga tidak termasuk migrasi di Amerika, ketika perubahan iklim telah memaksa populasi untuk pindah karena tempat-tempat tersebut menjadi kurang layak huni dengan cuaca panas ekstrem atau banjir yang berulang kali terjadi.
“Terlepas dari kompleksitas tersebut, yang pasti adalah bahwa diperlukan perubahan budaya yang penting dalam komunitas perencanaan dan rekayasa, jauh dari perencanaan konvensional yang berbasis pertumbuhan untuk mengakomodasi perubahan demografis yang drastis,” papar peneliti.
Studi juga menemukan bahwa secara global, jumlah penduduk berusia di bawah 5 tahun bisa melebihi dua banding satu pada akhir abad ini. Diperkirakan 183 dari 195 negara mungkin juga mengalami kemunduran populasi.
ADVERTISEMENT