Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Awal Januari 2019, China berhasil mengirimkan robot ruang angkasa ke Bulan. Sementara India akan meluncurkan misi eksplorasi Bulan bernama Chandrayaan-2 pada 22 Juli tahun ini. Tak ketinggalan, Rusia berencana mengirimkan kosmonautnya ke Bulan pada 2030.
AS pun tak mau mengendurkan dominasinya. Negara Adidaya yang mengirimkan manusia pertama ke Bulan 50 tahun lalu itu bahkan berniat kembali ke sana pada 2028. Tapi Donald Trump tak sabar. Sang Presiden menghendaki astronautnya kembali menginjak Bulan pada 2024, sebelum masa pemerintahannya habis—itu pun kalau dia terpilih lagi. Kini, memperingati setengah abad manusia menjejak Bulan, mengapa anak-cucu Adam ini kembali berambisi pergi ke Bulan?
Misi AS kembali ke Bulan itu bernama Artemis atau Dewi Bulan, diambil dari nama kembar perempuan Apollo—sang Dewa Matahari dalam mitologi Yunani kuno. Setengah abad lalu, Apollo telah berhasil mengantarkan astronaut AS Neil Armstrong dan Buzz Aldrin ke Bulan di percobaan kesembilan dengan menggunakan Apollo 11. Kini Artemis diharapkan bisa membawa serta astronaut perempuan ke sana dan tinggal lebih lama di satelit alami milik Bumi itu.
Artemis tentu mengemban tugas lebih, yakni terkait pembangunan stasiun ruang angkasa (Lunar Orbital Platform Gateway) yang memungkinkan manusia tinggal lebih lama di Bulan hingga 90 hari atau tiga bulan penuh. Rencana pendaratan di Bulan dilakukan sebagai persiapan sebelum perjalanan dilanjutkan menuju target berikutnya, Mars.
Dengan misi sebesar itu, Artemis diburu waktu. Semula, jadwal kembalinya astronaut AS ke Bulan adalah tahun 2028, tapi Trump enggan proyek yang ditandatanganinya pada akhir 2017 itu terlaksana setelah ia lengser. Maka ia meminta paling tidak pendaratan di Bulan bisa terlaksana pada 2024, sebelum periode kedua pemerintahannya berakhir—jika ia terpilih lagi.
Menurut James Bridenstine, mantan pilot Angkatan Laut AS yang ditunjuk Trump mengepalai NASA, percepatan tenggat waktu kembali ke Bulan adalah upaya mengurangi risiko dampak perubahan politik terhadap program tersebut. “Kurasa akan sangat menyedihkan jika kita tidak bisa kembali lagi ke Bulan setelah (pendaratan Apollo 17 terakhir) tahun 1972,” ucapnya.
Sementara Wakil Presiden AS Mike Pence berkata lebih keras lagi. “Jika NASA tidak mampu mengirimkan kembali astronaut Amerika Serikat ke Bulan dalam lima tahun, maka kita perlu mengubah organisasinya, bukan misinya,” ucapnya pada Maret 2019 dikutip dari Washington Post.
Proyek besar ini sejalan dengan slogan kampanye Donald Trump yang ternama, Make America Great Again. Dalam cuitannya, Trump mengatakan bahwa ia akan mengembalikan kejayaan NASA. Ia kemudian menambah anggaran ruang angkasa hingga USD 1,6 miliar.
“So that we can return to Space in a BIG WAY!” tulis Trump dalam cuitannya.
Dengan tenggat waktu yang mendesak, proyek Artemis memang membutuhkan anggaran besar. Ini satu hal yang membuat banyak orang meragukan keberhasilan proyek ambisius Trump tersebut. Menurut Casey Dreier, penasihat Planetary Society—lembaga advokasi nonprofit ruang angkasa, memperkirakan NASA setidaknya membutuhkan USD 4-5 miliar anggaran per tahun.
“Jika mereka hanya mengusulkan total sekitar USD 8 miliar dalam lima tahun, jumlah tersebut tak akan mampu membawa kita kembali ke Bulan pada 2024,” ucap Dreier seperti ditulis The Atlantic.
Demi memenuhi target waktu dan anggaran, NASA menggandeng setidaknya 11 perusahaan swasta ruang angkasa. Salah satunya adalah SpaceX milik Elon Musk, pebisnis AS yang berambisi membangun hunian ruang angkasa dan wisata ke Bulan, serta perusahaan roket Blue Origin milik Jeff Bezos, pendiri Amazon.
Ambisi ke Bulan memang bukan kali ini saja terjadi.
Setengah abad lalu, Amerika Serikat pernah berhasil mengirimkan dua orang astronautnya menginjakkan kaki di Bulan selama kurang lebih 2,5 jam. Sepanjang tiga tahun setelah keberhasilan Apollo 11 pada 20 Juli 1969 itu, Negeri Paman Sam mengirimkan total 12 astronaut ke Bulan dalam enam kali peluncuran. Misi terakhir yakni Apollo 17 berlangsung pada 7-19 Desember 1972.
Mimpi pergi ke Bulan pada dekade 1960-an bukan cuma didorong oleh rasa ingin tahu manusia akan ruang angkasa, tapi juga adu gengsi, pengaruh, dan unjuk kemampuan teknologi di tengah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Setelah Uni Soviet berhasil mengirimkan kosmonautnya, Yuri Gagarin, menjadi manusia pertama yang terbang ke luar angkasa selama 108 menit menggunakan roket Vostok 1 pada 12 April 1961, Amerika tidak mau kalah.
Satu bulan kemudian, 25 Mei 1961, Presiden AS saat itu, John F. Kennedy, mengatakan bahwa Amerika tidak boleh kalah dalam pertarungan antara tirani (menyindir ideologi Uni Soviet saat itu) dan kebebasan (liberalisme yang dipercaya AS).
Dalam pidato berjudul Special Message to the Congress on Urgent National Needs, Kennedy berkata, “Saya percaya negara ini mampu mengirimkan manusia ke Bulan sebelum dekade ini berakhir, dan mengembalikannya ke Bumi dengan selamat.”
Tahun berikutnya, ia menegaskan bahwa tak ada negara yang diharapkan mampu memimpin negeri lainnya jika hanya berpangku tangan sementara eksplorasi ruang angkasa terjadi di depan mata. “Kita memilih Bulan bukan karena pergi ke sana itu mudah. Justru karena sulit, karena tujuannya untuk menunjukkan kekuatan dan kemampuan terbaik kita.”
Program Apollo pun berlangsung sejak 1961 hingga 1972 dengan mempekerjakan lebih dari 400 ribu pekerja dari berbagai bidang keahlian dan menghabiskan kurang lebih USD 25,4 miliar (sekitar USD 153 miliar atau Rp 2.142 triliun jika dikonversikan ke nilai saat ini).
Sebelum keberhasilan pertamanya pada 1969, program Apollo sempat mengalami pukulan besar ketika Apollo 1 mengalami kebakaran dan membunuh tiga awaknya di dalam kabin.
Hari itu Jumat, 27 Januari 1967. Gus Grissom, Ed White, dan Roger B. Chafee tengah melakukan geladi bersih mempersiapkan peluncuran pertama menuju Bulan. Grissom sang komandan memasuki modul utama lebih dulu dan duduk paling kiri. Disusul kemudian Chaffe di sebelah kanan. Sementara Ed White bertugas menjadi pilot di kursi tengah.
Semua telah berada dalam kabin beserta tabung oksigen dengan sabuk pengaman terkunci. Namun Grissom menangkap sesuatu yang tidak beres. Ia mencium aroma asam mentega susu. Tetapi kemudian bau tersebut diabaikan dan mesin pun mulai dinyalakan.
Masalah ternyata tak usai. Persoalan berikutnya yang muncul adalah masalah pada jaringan komunikasi antara ruang kabin dan ruang kontrol. “Ya Tuhan, bagaimana kita akan sampai ke Bulan jika kita tidak bisa berkomunikasi (dengan jarak) antara 2-3 bangunan saja,” seru Grissom saat itu seperti diceritakan Gerry Griffin, petugas navigasi dan sistem kontrol misi Apollo.
Tak lama kemudian Griffin mendengar teriakan soal api. “Api, aku mencium bau api,” teriak sebuah suara, entah Chaffee atau White. “Api di kokpit,” terdengar suara selanjutnya. Adanya tabung oksigen membuat api dengan cepat meledak dan menghanguskan ketiganya tanpa sempat meluncur ke angkasa.
Penyebab kebakaran tidak pernah diketahui secara pasti, tapi kemungkinan besar berasal dari gesekan kabel-kabel berjuntai yang terkena oksigen murni yang mudah terbakar.
Tragedi terbakarnya Apollo 1 menjadi guncangan besar untuk NASA dan para astronautnya. Namun ditekan oleh rumor perkembangan misi ke Bulan milik Uni Soviet, mereka kembali berpacu.
Selain memperbaiki beberapa perangkat, NASA juga mengganti oksigen murni yang mudah terbakar dengan campuran oksigen-nitrogen. Tiga percobaan berikutnya yang disebut Apollo 4, Apollo 5, dan Apollo 6 pun dilakukan tanpa awak terlebih dulu.
Baru pada peluncuran Apollo 7, NASA mampu mengantarkan tiga astronautnya menuju orbit Bumi pada 21 Oktober 1968. Tiga bulan berikutnya, Apollo 8 yang dipimpin oleh Frank Borman berhasil mengorbit Bulan.
Hingga akhirnya misi manusia ke Bulan berhasil tercapai pada 20 Juli 1969. Sejarah mencatat Neil Armstrong sebagai manusia pertama yang menginjakkan kaki di Bulan, disusul Buzz Aldrin 20 menit kemudian.
“Houston, Tranquillity Base here. The Eagle (The Lunar Module) has landed,” ucap Armstrong di Bulan, 384.400 kilometer dari Bumi. Ia kemudian berkata, “That's one small step for a man, one giant leap for mankind.”
Selain meninggalkan jejak kaki, Armstrong dan Aldrin juga menancapkan bendera Amerika Serikat, meninggalkan peralatan eksperimen, reflektor laser untuk mengukur jarak, hingga kotoran.
Sementara seorang awak lainnya, Michael Collins yang bertugas menjadi pilot command module bernama Columbia, tak turun. Ia menunggu Armstrong dan Aldrin melaksanakan misinya untuk mengambil sampel batuan Bulan, sehingga tetap berada dalam kokpit dan memutari Bulan sebanyak 30 kali.
Pesawat Apollo 11 yang diluncurkan pada 16 Juli itu akhirnya kembali ke Bumi delapan hari kemudian. Keberhasilannya menandakan kemenangan Amerika Serikat atas Uni Soviet dan menurunkan tensi space race antarkedua negara.
Jika 50 tahun lalu, pergi ke Bulan menjadi ajang tarung Perang Dingin Amerika Serikat versus Uni Soviet. Kali ini banyak negara ikut serta berlomba menuju Bulan.
Awal tahun ini, robot ruang angkasa China bernama Chang-e 4 berhasil mendarat di Bulan. Bagi Negeri Tirai Bambu, keberhasilannya mencapai Bulan menjadi salah satu bukti kekuatannya di dunia.
Disusul kemudian India yang bermaksud menunjukkan perkembangan kemampuan teknologinya. Negeri ini akan meluncurkan Chandrayaan-2 pada 22 Juli menuju kutub selatan Bulan demi mencari air dan mineral serta mengukur gempa Bulan.
Tak ketinggalan, Rusia berencana mengirimkan kosmonout pertamanya ke Bulan pada 2030. Sementara The European Space Agency berniat membuat “moon village” pada 2050.
Pergi ke Bulan , pada akhirnya, bukan cuma atas nama ilmu pengetahuan, tapi juga upaya membangun kebanggan pada negeri sendiri. Akankah Indonesia ikut serta menjelajah antariksa?