Waspada Potensi Tsunami akibat Longsor dan Letusan Anak Krakatau

28 Desember 2018 23:51 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ahmad Mubarok (22) sedang asyik menyaksikan konser band Seventeen dalam acara family gathering PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Pantai Tanjung Lesung, Panimbang, Banten. Namun tak lama setelah Seventeen membawakan lagu pertama, pria yang akrab disapa Mumu itu mendengar dentuman suara dari arah laut.
ADVERTISEMENT
“Tiba-tiba ada suara dentuman sangat keras dari arah Gunung Anak Krakatau dan kemudian disusul datangnya air dengan ketinggian sekitar dua meter," kata Mumu seperti dilansir Antara, Kamis, (27/12).
Menghadapi gelombang air yang tinggi itu, kata Mumu, para penonton langsung berteriak histeris. "Suara 'tolong...tolong...tolong!' banyak sekali. Semua yang hadir minta tolong," ujar Mumu yang sempat terbawa ombak sampai ke tengah laut.
Setelah terombang-ambing, tubuh Mumu akhirnya bisa kembali ke bibir pantai karena hempasan ombak dari tengah lautan.
Mumu lalu mendapatkan pertolongan dari wisatawan yang membawanya ke Klinik Alinda di Panimbang. Kondisinya saat itu cukup parah. "Kepala saya berdarah. Tubuh, kaki, dan tangan saya penuh luka," terang Mumu sambil berbaring lemas di atas kasur dan sampai saat ini kepalanya masih dibalut kain perban berwarna putih.
Keadaan di sekitar Panimbang dari pantauan udara. (Foto: Matheus Marsely/kumparan)
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah menetapkan bahwa gelombang tinggi yang menghempas tubuh Mumu dan ribuan orang lainnya pada Sabtu (22/12/2018) malam lalu adalah tsunami. Selain itu, BMKG juga telah memastikan penyebab timbulnya tsunami di Selat Sunda tersebut adalah karena longsornya bagian sisi barat daya Gunung Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
"Luas area kolaps (Anak Krakatau) mencapai 64 hektare. Dalam waktu 24 menit menjadi tsunami di pantai," ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Dwikorita memaparkan, getaran yang dihasilkan oleh erupsi Anak Krakatau membuat bagian kepundan atau kawahnya menjadi lemah, rontok, longsor, dan menyebabkan tsunami.
"Massa yang masif masuk ke dalam air itu ibaratnya kalau gelas dimasuki batu, itu akan membuat airnya naik. Jadi longsor itu yang memicu gelombang. Gelombang yang tadi kita sebut sebagai gelombang tsunami yang akhirnya merambat ke arah pantai," jelasnya.
Ilustrasi Tsunami. (Foto: Pixabay)
Potensi Tsunami yang Sudah Diperkirakan Sebelumnya
Yang menjadi ironi, ternyata ancaman tsunami akibat longsornya Anak Krakatau telah lama diwanti-wanti oleh sejumlah peneliti asing. Pada tahun 2012, sebuah hasil riset menunjukkan adanya potensi tsunami bila suatu saat longsor Gunung Anak Krakatau terjadi.
ADVERTISEMENT
Riset bertajuk "Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia" ini disusun oleh Thomas Giachetti dari University of Oregon (AS), Karim Kelfoun dan Raphaël Paris dari Université Clermont Auvergne (Prancis), serta dibantu oleh Budianto Ontowirjo dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT Indonesia).
Dalam riset ini para peneliti melakukan simulasi longsornya bagian barat daya Anak Krakatau dengan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) atau model 3 dimensi yang merepresentasikan permukaan Bumi, yang didapat dari data milik Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER). Bagian barat daya Anak Krakatau ini dimodelkan seperti ini karena dianggap sebagai bagian yang aktif dan tidak stabil sehingga mudah longsor.
Kondisi Gunung Anak Krakatau. (Foto: Dok. BNPB.)
Sebelumnya Christine Deplus dari Institut de Physique du Globe de Paris, Prancis, dan rekan-rekannya juga pernah melakukan penelitian terhadap struktur Anak Krakatau. Dalam hasil riset berjudul “Inner structure of the Krakatau volcanic complex (Indonesia) from gravity and bathymetry data” yang dipublikasikan di Journal of Volcanology and Geothermal Research pada 1995, Deplus telah menuliskan bahwa bagian barat daya Anak Krakatau ini terlihat lebih curam dibandingkan sisi lain sehingga mudah longsor.
ADVERTISEMENT
Hery Harjono, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang ikut terlibat dalam penelitian Christine Deplus, ikut menyoroti tsunami akibat longsornya bagian barat daya Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 itu dalam pernyataan tertulis. “Tentu ini merupakan bagian yang labil dan jika melorot atau longsor tentu dapat memicu tsunami. Deplus dkk menulis demikian,” tulis Herry dalam pernyataannya.
Bagan tiga dimensi Anak Krakatau (Foto: Christine Deplus)
Tingginya Potensi Tsunami akibat Longsor Anak Krakatau
Hasil simulasi Giachetti dan rekan-rekannya yang telah dipublikasikan di jurnal Geological Society London Special Publications menunjukkan bahwa bila terjadi longsoran lereng di sebelah barat daya Anak Krakatau dengan volume material mencapai 0,28 kilometer kubik, maka hal ini akan memicu munculnya gelombang tsunami dengan tinggi awal 43 meter. Gelombang air laut itu akan tiba di pulau sekitar Anak Krakatau, yakni Pulau Sertung, Panjang, dan Rakata, dalam waktu hanya kurang dari satu menit dengan tinggi antara 15 hingga 30 meter.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian ini telah mewanti-wanti bahwa gelombang tsunami ini akan sangat berbahaya bagi daerah dan orang-orang yang ada di sekitar Anak Krakatau.
Dalam hasil riset ini Giachetti dan rekan-rekannya sudah menuliskan, gelombang tsunami yang dipicu oleh longsornya bagian barat daya Anak Krakatau akan merambat melintasi Selat Sunda dengan kecepatan rata-rata 80-110 kilometer per jam, melampaui batas kecepatan maksimum kendaraan di jalan bebas hambatan atau jalan tol di Indonesia yang hanya 100 kilometer per jam.
Simulasi longsor yang bisa terjadi di Gunung Anak Krakatau (Foto: Dok. Thomas Giachetti )
Gelombang pertama dari tsunami ini akan mencapai kota-kota di pantai barat Jawa setelah 35 sampai 45 menit, dengan ketinggian maksimum gelombang 3,4 meter di Labuhan, 2,9 meter di Carita, dan 2,7 meter di Kalianda. Selain itu, gelombang tsunami ini juga akan mampir dengan ketinggian maksimum 1,5 meter di Panimbang dan Merak, 1,4 meter di Anyer, 1,2 meter di Sumur, dan 0,3 meter di Bandar Lampung.
Waktu dan ketinggian potensi tsunami akibat longsor Anak Krakatau di beberapa daerah (Foto: Dok. Thomas Giachetti/Geological Society London Special Publications )
Dalam kondisi seperti ini, Giachetti menulis, tsunami akan memberi risiko yang signifikan mengingat di kawasan tersebut terdapat banyak populasi penduduk, pemukiman, dan bangunan industri. Selain itu, kondisi ini juga akan diperparah karena rendahnya ketinggian sebagian besar tanah di kawasan tersebut.
Lokasi Gunung Anak Krakatau yang dekat pantai Banten dan Lampung (Foto: Dok. Thomas Giachetti/Geological Society London Special Publications )
Bagian Anak Krakatau yang Longsor Kemarin Baru Sebagian dari Prediksi
ADVERTISEMENT
BMKG melaporkan bahwa tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) lalu disebabkan oleh longsornya lereng seluas 64 hektare di bagian barat daya Anak Krakatau. Soal bagian dari Anak Krakatau yang longsor ini, BPPT telah mengeluarkan data dari citra satelit Sentinel-1.
Rangkaian gambar dari satelit milik Badan Antariksa Eropa (European Space Agency/ESA) itu menunjukkan dengan jelas adanya bagian Anak Krakatau yang hilang sebelum dan sesudah terjadinya tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) lalu.
Perubahan tapak Gunung Anak Krakatau sebelum dan setelah tsunami Selat Sunda. (Foto: ESA, CATnews)
Apabila bagian Anak Krakatau yang hilang ini diproyeksikan ke data kelandaian (kontur) yang didapatkan dari Google Maps, kita bisa mengetahui ketinggian lereng yang hilang itu sekurang-kurangnya 60 meter, bahkan sebagiannya mencapai ketinggian 100 meter.
Dengan luas area 64 hektare dan asumsi ketinggian rata-rata 80 meter, nilai tengah antara 60-100 meter, maka bisa dihitung bahwa volume segmen Anak Krakatau yang longsor pada Sabtu (22/12/2018) lalu ini adalah sekitar 0,051 kilometer kubik. Angka ini masih jauh lebih kecil atau hanya sekitar setengah dari 0,128 kilometer kubik, volume bagian Anak Krakatau yang berpotensi longsor menurut Giachetti dan rekan-rekannya.
Bagian Gunung Anak Krakatau yang hilang (Foto: ESA, Google Maps.)
Raphael Paris, salah satu peneliti yang ikut serta dalam riset Giachetti tersebut turut memberikan pandangannya mengenai tsunami yang terjadi di Selat Sunda dalam sebuah pernyataan melalui European Geosciences Union (EGU). Ia mengatakan ke depan masih mungkin terjadi tsunami akibat dari longsornya bagian barat daya Anak Krakatau ini.
ADVERTISEMENT
“Pada 2012, kami mempublikasikan sebuah studi mengenai kemungkinan longsor di lereng Anak Krakatau dan melakukan simulasi numerik pada kemungkinan tsunami. Volume longsor yang disimulasikan lebih besar daripada yang terjadi hari Sabtu dan skenario kami bisa dianggap sebagai kemungkinan terburuk,” kata Paris dalam pernyataannya.
“Namun, masih banyak ketidakpastian mengenai stabilitas kerucut gunung berapi itu sekarang dan kemungkinan terjadinya longsor dan tsunami di masa depan tidak bisa diabaikan,” jelasnya.
Semburan material vulkanik Anak Gunung Krakatau. (Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan)
Ancaman Tsunami yang Lebih Besar akibat Letusan Anak Krakatau
Sejarah mencatat, rentetan tsunami di Selat Sunda tidak hanya pernah terjadi akibat longsor di laut, tetapi juga akibat erupsi gunung api. Yudhicara dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Kris Budiono dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) pernah memaparkan penyebab-penyebab tsunami Selat Sunda tersebut hasil studi berjudul “Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap Katalog Tsunami Soloviev” yang telah dipublikasikan di Jurnal Geologi Indonesia pada 2008 lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam hasil studi tersebut dipaparkan bahwa tsunami yang lebih dahsyat dibanding tsunami 22 Desember 2018 pernah terjadi pada 27 Agustus 1883. Tsunami yang tersebut disebabkan oleh letusan Gunung Krakatau. Akibat dari tsunami ini, lebih dari 36.000 orang meninggal, sekitar 90 kali lipat lebih banyak dari jumlah korban tewas akibat tsunami 22 Desember 2018 yang berjumlah lebih dari 400 orang.
Selain pada 1883, tsunami akibat letusan Krakatau, atau lebih tepatnya Krakatau kuno, juga tercatat pernah terjadi pada tahun 416 Masehi. Hal itu tercatat dalam kitab kuno berjudul Pustaka Radja yang dikutip oleh S. L. Soloviev dan Ch. N. Go ke dalam buku Catalogue Of Tsunamis On The Western Shore Of The Pacific Ocean.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, belum ditemukan lagi catatan lain mengenai tsunami Selat Sunda dengan waktu kejadian paling dekat dari tahun 426 tersebut selain pada 1972. Namun tsunami pada 1972 itu diakibatkan oleh gempa bumi, bukan erupsi Krakatau.
Litografi letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Foto: Wikimedia Commons)
Meski begitu, dalam hasil studi pada 2008 lalu Yudhicara dan Budiono mencatat, “Gunung Api Krakatau paling tidak telah mengalami empat tahap pembangunan dan tiga kali penghancuran.” Ketiga tahap penghancuran tersebut adalah pada tahun 416, 1200, dan 1883.
Dalam hasil studi tersebut mereka memaparkan, antara periode penghancuran I (tahun 416) dengan periode penghancuran II (tahun 1200) berjangka waktu 784 tahun. Sementara antara periode penghancuran II (tahun 1200) ke periode penghancuran III (1883) berjangka waktu 683 tahun.
ADVERTISEMENT
Yudhicara kemudian memprediksi bahwa periode penghancuran Krakatau, atau kini bernama Anak Krakatau, selanjutnya adalah di antara tahun 2500 dan 2700. Dan di periode itulah akan terjadi lagi tsunami akibat letusan Anak Krakatau.
“Berdasarkan data ini, maka periode penghancuran IV akan terjadi antara tahun (1883+683) hingga tahun (1883+784) atau tahun 2566 hingga 2667 (2500-2700),” tulis mereka.
“Pada kisaran tahun yang diperkirakan menjadi periode ulang erupsi Gunung Anak Krakatau itu (2500-2700) diduga akan menimbulkan tsunami yang dihasilkan oleh volume gunung api yang ada saat ini,” tambah mereka.
Kereta api uap di Merak hancur karena letusan Krakatau pada tahun 1883. (Foto: Wikipedia/Koleksi Museum Tropen)
Gampang Longsornya Anak Krakatau dan Ancaman Erupsi Dua Tahunan
Selain memiliki periode letusan besar setiap sekitar 700 tahun, Gunung Krakatau yang kini menjadi Gunung Anak Krakatau juga punya periode letusan yang lebih kecil setiap dua tahun sekali, seperti yang dikatakan oleh Koordinator Bidang Vulkanologi Pusat Penelitian Mitigasi Bencana (PPMB) Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman. Letusan dua tahunan itu, menurutnya, terjadi pada 2012, 2014, 2016, 2018, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Ahli vulkanologi ITB itu mengatakan, kita tidak perlu khawatir terhadap tsunami yang terjadi akibat letusan besar Anak Krakatau seperti pada tahun 1883 dalam waktu dekat ini. Tapi tsunami akibat longsor Anak Krakatau memang rentan terjadi selama Anak Krakatau Erupsi.
"Jadi kalau melihat siklusnya seharusnya tidak perlu khawatir ada letusan besar ya. Artinya bahwa tsunami mungkin bisa terjadi kalau ada longsor atau wedus gembel masuk air, tapi paling tingginya sekitar satu meter, tidak seperti 1883," jelasnya.
Reruntuhan Benteng di Anyer setelah letusan Krakatau pada tahun 1883. (Foto: Wikipedia/Koleksi Museum Tropen)
Kini, sejak Kamis 27 Desember 2018, status Gunung Anak Krakatau telah ditingkatkan dari Waspada menjadi Siaga. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan setelah mendapatkan laporan dari Badan Geologi. Oleh karenanya, masyarakat diimbau untuk tetap waspada dan tidak berada dalam radius lima kilometer dari Gunung Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
Dalam penjelasan soal penetapan status Siaga ini, Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo mengatakan Gunung Anak Krakatau mudah longsor saat erupsi sehingga bisa menimbulkan tsunami. "Anak Krakatau ini lahirnya di samping kaldera (bekas Gunung Krakatau), bukan di tengah. Makanya mudah longsor," kata Purbo.
Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. (Foto: Antara/Nurul Hidayat)
Menyoal Tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018 yang Tanpa Peringatan Dini
Tsunami yang menerjang pesisir Banten dan Lampung pada akhir pekan lalu tercatat telah menyebabkan lebih dari 400 orang meninggal dan lebih dari 100 orang masih dinyatakan hilang. Tidak ada peringatan dini tsunami ketika itu, bahkan BMKG sempat menyatakan kejadian tersebut bukanlah tsunami, melainkan hanya gelombang pasang tinggi karena mereka tidak mencatat adanya gempa tektonik di sekitar Selat Sunda.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya BMKG mengakui kesalahannya dan meralat bahwa kejadian tersebut memang tsunami dan pemicunya adalah gempa vulkanik akibat longsornya bagian barat daya Anak Krakatau. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono. Dalihnya soal tak ada petingatan tsunami, BMKG saat ini hanya punya alat pendeteksi dini tsunami yang diakibatkan oleh gempa tektonik.
"Tentunya, saya sampaikan, untuk kasus tsunami yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api memang belum ada peringatan dininya, yang ada hanya peringatan dini tsunami akibat gempa tektonik," tutur Rahmat.
Twit BMKG soal Tsunami Anyer yang dihapus. (Foto: Dok. Istimewa)
Pernyataan serupa juga keluar dari Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho yang awalnya juga sempat menyatakan bahwa kejadian di Selat Sunda pada 22 Desember 2018 itu bukanlah tsunami. Menurut Sutopo, alat yang saat ini dimiliki Indonesia hanyalah sistem peringatan dini potensi tsunami akibat gempa bumi.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Indonesia belum memiliki sistem peringatan dini tsunami yang disebabkan longsor bawah laut dan erupsi gunung api. Yang ada saat ini sistem peringatan dini yang dibangkitkan gempa. Sistem sudah berjalan baik. Kurang dari 5 menit setelah gempa BMKG dapat memberitahukan ke publik," kata Sutopo melalui akun Twitternya, @Sutopo_PN.
Sama Sekali Tak Punya Pendeteksi Tsunami, Hanya Punya Pendeteksi Gempa Tektonik
Peneliti Madya Bidang Instrumentasi Kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widyatmoko berkata, sebenarnya tidak ada perbedaan antara alat pendeteksi dini tsunami yang diakibatkan oleh pergerakan gempa tektonik dan vulkanik.
"Sebenarnya, alat untuk mendeteksi tsunami itu sendiri tidak ada bedanya dari apakah itu dibangkitan dengan gempa tektonik dan vulkanik. Jadi tidak ada bedanya untuk mendeteksi tsunami itu sendiri. Nah kenapa BMKG mengatakan seperti itu (karena) tidak mengukur langsung tsunaminya, dia hanya memprediksi dari kegempaannya," Kata Bambang saat dihubungi kumparan, Senin (24/12).
ADVERTISEMENT
Pendek kata, menurut Bambang, BMKG dianggap tidak memantau perubahan tinggi gelombang laut di perairan Selat Sunda, tapi hanya memantau kegempaan di area tersebut.
Buoy, alat rekonfirmasi tsunami. (Foto: Pixabay)
Lebih lanjut Bambang menjelaskan, pada intinya pendeteksi tsunami adalah sensor tekanan air yang akan mengamati pergerakan anomali air laut. Sensor ini telah ada di alat pendeteksi tsunami, buoy, yang biasa diletakkan di tengah laut alias di lepas pantai.
"Sekarang kita pakai buoy untuk mendeteksi tsunami. Buoy itu difungsikan untuk memantau pergerakan air laut, jika terjadi anomali, maka sensor akan mengirimkan sinyal ke pos pemantaunya," tuturnya.
Belakangan Sutopo mengatakan bahwa jaringan buoy tsunami di perairan Indonesia sudah tidak beroperasi sejak 2012. “Vandalisme, terbatasnya anggaran, kerusakan teknis menyebabkan tidak ada buoy tsunami saat ini. Perlu dibangun kembali untuk memperkuat Indonesia Tsunami Early Warning System,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Kritik Peneliti Asing terhadap Pemerintah Indonesia
Tsunami Selat Sunda yang menewaskan ratusan orang ini mengejutkan banyak orang, termasuk peneliti dari luar negeri. Kepala Tsunami Research Center di University of Southern California AS, Costas Synolakis, mengaku terkejut dengan banyaknya korban jiwa yang timbul akibat tsunami tersebut.
“Sudah diketahui bahwa Krakatau sedang aktif dan tsunami karena longsor di bawah laut yang dipicu oleh erupsi bukan hal yang mengejutkan,” ungkap Synolakis kepada The New York Times. Dia tak terkejut dengan penyebab tsunami tersebut, tapi justru terkejut karena tidak adanya peringatan yang diberikan kepada warga setempat untuk waspada akan pergerakan air yang janggal setelah erupsi Anak Krakatau.
Synolakis mengatakan seharusnya pemerintah memanfaatkan tide gauge, alat pengukur pasang surut air laut yang biasa ditempatkan di pantai, untuk ditempatkan di pesisir pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau, yakni Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang. Hal itu menurutnya sudah cukup untuk memberikan peringatan bilamana ada potensi tsunami akibat Anak Krakatau.
ADVERTISEMENT
Atau setidaknya, Synolakis menambahkan, ada petugas pantai yang ditugaskan untuk mengawasi adanya kejanggalan di lautan. “Peringatan dari penjaga pantai mungkin bisa memberikan beberapa menit saja waktu untuk evakuasi, tapi tentu itu lebih baik daripada tidak ada peringatan sama sekali,” katanya.
Synolakis menegaskan, “Seharusnya, jelas kalau tide gauge tambahan yang ditempatkan di sekitar pulau-pulau di Selat Sunda bisa menyelamatkan nyawa, meski tanpa buoy di lepas pantai.”
Desain bentuk lain dari buoy. (Foto: Wikimedia Commons)
Enam tahun sebelum tsunami ini, dalam hasil riset pada 2012 lalu Giachetti dan rekan-rekannya sebenarnya telah menyarankan bahwa dampak signifikan akibat tsunami yang disebabkan longsor Anak Krakatau bisa dicegah jika pemerintah memanfaatkan sistem pendeteksi keruntuhan lereng Anak Krakatau dan sistem peringatan tsunami dengan efisien, mengingat prediksi ini mencatat gelombang tsunami baru mencapai pantai di Jawa dan Sumatra dalam puluhan menit setelah longsor terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun imbauan itu rupanya tidak diindahkan dan dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Akibatnya, Mumu dan lebih dari 1.000 orang lainnya menderita luka-luka akibat tsunami pada 22 Desember lalu itu.
Mumu yang sedang asyik menonton band Seventeen cukup beruntung masih bisa selamat. Namun, tak adanya peringatan dini tsunami telah menimbulkan banyak korban tewas lain. Tiga dari empat personel band Seventeen yang ditonton Mumu menjadi bagian dari 400 orang lebih yang meninggal dunia akibat gelombang tsunami tersebut.