Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Akar Masalah Pembinaan Olahraga Indonesia sehingga Tak Bisa Semaju AS
19 Agustus 2022 14:56 WIB
·
waktu baca 6 menitDiperbarui 2 September 2022 10:35 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Jika hanya melihat dalam pandangan sederhana, sistem itu terkesan mudah. Kampus memiliki tim olahraga kompetitif, ada kompetisinya, pemain berlomba-lomba memberi performa terbaik, dan tim-tim profesional mengirimkan talenta bakatnya.
Kenapa AS bisa seperti itu? Apa hal yang membuat Indonesia tampaknya sangat susah untuk meniru hal tersebut?
"Untuk mengubah olahraga Indonesia, saya membuat research study paper. Ada tiga hal utama sebenarnya. Satu paradigma, kedua youth development, dan ketiga manajemen," jelasnya kepada kumparan saat ditemui di Tokyo, Jepang, pada Agustus 2022.
ADVERTISEMENT
"Jadi, salah satu alasan saya mulai LIMA di awal, saya coba membenahi nomor satu dan dua, ya sebenarnya tiga-tiganyalah, tetapi penekanannya di nomor satu. Karena kalau bicara soal pembinaan, sebenarnya itu harus dimulai dari usia 6 tahun sampai 14 atau 16 tahunlah."
Dari situ saja, sudah terlihat masalah yang ada di Indonesia. Biasanya, pembinaan olahraga di Indonesia baru dimulai saat usia SMP atau malah SMA. Jadilah, anak-anak Indonesia telat pembinaannya. Sementara, anak-anak di negara maju sudah menguasainya di fase tersebut.
Lantas, kalau memang itu muaranya, kenapa Ryan Gozali memulai dari level mahasiswa? Bukannya itu lebih telat lagi? Terkait hal itu, ia menjelaskan sebuah sistem bernama trickle down.
"Saya mulai dari mahasiswa dulu dengan harapan, kalau saya membuat sesuatu yang bagus, kampus akan melihat manfaatnya, lalu mereka akan memberikan insentif untuk olahraga dengan cara mungkin membiayai fasilitas, memberi beasiswa, mendatangkan pelatih yang baik," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Dan mahasiswa itu kan 'Agent of Change', mungkin mereka bisa menjadi guru olahraga nantinya, mungkin ada olahraga yang mampu mencapai level tertinggi kalau di level mahasiswa, macam-macamlah," tambahnya.
Maksudnya, dengan membangun olahraga di level kampus, Ryan mengharapkan hasilnya bisa berefek domino pada level usia di bawahnya. Ia mencontohkan apa yang terjadi di Amerika Serikat.
"Kalau di sana, begitu kuratif, timnya banyak, dan merekrut orang yang ribuan itu sebagai atlet profesional. Ya, pasti rebut-rebutan dong. Terciptalah trickle down. Building system-nya dari mana? Dari kampus. Kampus melihat, para mahasiswa yang jago bisa masuk draft."
"Dan itu menjamin satu tahun ada 48 orang atau lebih yang di-draft, mungkin bisa lebih dari 72 orang lebih juga dalam satu-tiga babak draft. Yang bisa mendapatkan gaji yang lumayan. Akhirnya, kampus mengiming-iming itu, makanya orang berlomba-lomba masuk kampus unggulan. Dengan harapan, kalau masuk ke situ, orang merasa dapat lebih terlihat, berkembang, dan nanti masuk draft," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Jelas, kampus di AS juga meraup keuntungan dari sisi ekonomi. Mereka bahkan mungkin bisa menjual merchandise, mendapat uang pendidikan, bahkan hak siar TV senilai jutaan USD. Kampus pun bisa membayar pelatih hebat untuk tim olahraga mereka dan itu akan semakin meningkatkan level kompetisinya.
"Oleh karena sistemnya sudah terbentuk, turun lagi ke SMA. Ya, pasti kampus mau cari talenta-talenta terbaik dari SMA. Enggak jarang, pelatihnya itu terbang dari New York ke Los Angeles untuk satu talenta, terus membujuk orang tuanya, menjanjikan anaknya akan dilatih sebagus mungkin, akan dibikinkan program terbagus, kesempatan masuk draft, memberi jaminan, dan lain-lain. Sistemnya rebutan," terang Ryan.
"Dari SMA, rebutan lagi sampai SMP. Karena ada tuh, kalau misalnya dapat talenta yang bagus, mereka ada deal-deal-an juga. Akhirnya apa?" lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, hal ini juga akan meningkatkan kompetisi di level SMP atau SMA. Para siswa mungkin akan rela meminta orang tuanya agar dibiayai mengikuti program latihan tambahan di luar program yang telah ada di sekolah demi masuk kampus unggulan.
"Kalau di AS, sampai ada tempat-tempat yang mesti masuk ke situ dengan membayar ribuan USD per bulan. Buat apa? Mereka demi memiliki lemak tubuh yang 5 persen lebih sedikit, lebih kencang saat lari, lebih massa otot, seperti itu. Semua berlomba-lomba," jelas Ryan.
Jadi, inti dari sistem trickle down itu adalah dengan membangun komepetisi dan pembinaan olahraga di kampus yang baik, budaya olahraga yang kompetitif bisa terus merembes ke level SMA, SMP, atau bahkan SD. Secara tidak langsung, itu akan meningkatkan kualitas pembinaan dari usia dini.
ADVERTISEMENT
Begitulah yang terjadi di Amerika Serikat. Bagaimana dengan di Indonesia?
"Di Indonesia, kampus saja kadang-kadang enggak ada lapangan olahraganya. NCAA itu sudah mulai dari 116 tahun lalu, kami [LIMA] baru tahun ke-10 hadir di negara yang enggak terlalu mengindahkan olahraganya," ucap Ryan.
"Sistem harus didongkrak seutuhnya. Itulah makanya, saya mulai dari Liga Mahasiswa dulu. Sudah 10 tahun, ini tantangan mengubah sebuah paradigma, membuat kompetisi yang konsisten. Bahkan sebelum kami mulai, kan ada banyak kompetisi-kompetisi yang sekarang sudah enggak ada," lanjutnya.
Pada saat berbincang dengan kumparan, Ryan Gozali juga mengemukakan kutipan favoritnya. Kemudian, ia juga berbicara hal yang tak kalah penting lainnya.
"Ada pelatih yang bilang 'Hard work beats talent, but talents does not work hard'. Untuk olahraga individual, okelah mungkin bakat memegang pengaruh lebih besar. Tapi, untuk olahraga simpel, maksudnya seperti sprint 100 meter, tinggal lari adu otot dan timing. Tapi, kalau olahraga tim, enggak gitu. Itu lebih ke arah disiplin, sistem, pelatihan, dan lain-lain," tegasnya.
ADVERTISEMENT
Bicara soal sistem lagi, trickle down sulit diterapkan di Indonesia karena faktor SDM yang berkecimpung di dunia olahraga. Menurutnya, yang berurusan di tim, turnamen, dan lain-lain haruslah orang-orang terbaik di bidangnya.
"Kenapa sekarang banyak owner tim sepak bola itu orang AS? Yang kerja di klub bola itu bukan fans, tetapi lulusan terbaik dari Yale, Harvard, dari mana-mana yang memiliki pengalaman invesment banking, pernah jadi CEO, direksi-direksi yang berprestasi di industri lain," bebernya.
"Untuk industri bisa maju, orang-orang yang menjalankan harus yang terbaik. Makanya di Liga Mahasiswa, bukan cuma talentanya, perangkatnya juga mau saya kembangkan," tandasnya.