Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Inggris menatap Prancis Terbuka 2019 dengan semringah. Wakil mereka di tunggal putri, Johanna Konta, menjejak hingga babak perempat final.
ADVERTISEMENT
Konta tak memiliki rekam jejak mengesankan di Roland Garros. Dalam empat musim berturut-turut, ia angkat kaki akibat kekalahan di babak pertama.
Keberhasilannya mengalahkan Donna Vekic di babak 16 besar mengantarkannya pada satu kemungkinan: Ia hanya membutuhkan dua laga lagi untuk menjejak ke final Grand Slam pertamanya seumur hidup.
Mirip dengan perjalanan Konta di Prancis Terbuka, langkahnya di ketiga seri Grand Slam lain pun tak mengesankan. Capaian terbaiknya adalah semifinal Australia Terbuka 2016 dan Wimbledon 2017. Sebelum dan sesudahnya, ya, kandas.
Jika hingga hari ke-10 Konta masih sanggup menjaga asa melangkah ke final, itu tak dapat dipisahkan dari keberadaan pelatih barunya, Dimitri Zavialoff. Ngomong-ngomong, ini adalah pelatih kelimanya dalam lima tahun terakhir. Keempat pelatih terdahulunya adalah Esteban Carril, José Manuel GarcÃa, Wim Fissette, dan Michael Joyce.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari sini, pertanyaan tentang berapa lama kerja sama Konta dan Zavialoff pasti mencuat. Spekulasi Konta tak sanggup tampil impresif dan Zavialoff menyerah di tengah jalan menjadi pembicaraan yang berulang kali terdengar selam Konta berlaga di Prancis Terbuka.
"Hubungan antara pelatih dan petenis seperti hubungan antarmanusia pada umumnya. Kadang pendek, kadang bisa seumur hidup. Saya bisa bicara apa selain ini? Bagaimanapun, hubungan kami adalah hubungan kerja sama dan... Ya, itu saja," jelas Zavialoff kepada The Guardian.
Meski Konta masih jauh dari gelimangan gelar juara, Zavialoff percaya Konta bukan petenis semenjana. Di mata Zavialoff, anak asuhnya ini adalah satu dari beberapa petenis yang masuk kategori championship-winning material. Bukan petenis sempurna, tapi bukan berarti tak bisa menggebrak.
ADVERTISEMENT
Buktinya, Zavialoff berhasil mengangkat Konta dari peringkat 45 dunia menjadi 26. Menariknya, keberhasilan itu ditunjang oleh penampilan Konta di dua turnamen tanah liat sebelum Prancis Terbuka: Grand Prix SAR La Princesse Lalla Meryem dan Italia Terbuka.
Konta berhasil menjejak ke final di dua turnamen tersebut. Sayangnya, keduanya pun ditutup Konta dengan status runner up. Di turnamen pertama yang lebih sering disebut sebagai Maroko Terbuka itu, Konta kalah 6-2, 4-6, 1-6 dari petenis Yunani, Maria Sakkari. Di Roma, ia kalah 3-6, 4-6 dari Karolina Pliskova.
Singkirkan dulu cerita kekalahan di laga puncak. Keberhasilan Konta mencapai final setidaknya membuktikan bahwa ia memiliki resep yang cukup menjanjikan untuk menaklukkan lapangan tanah liat.
ADVERTISEMENT
Apalagi, lapangan tanah liat menciptakan laga yang berbeda dari lapangan rumput ataupun permukaan keras. Permainan akan lebih menjadi lebih lambat sehingga begitu mengedepankan kematangan taktik.
Yang disukai oleh Konta soal metode kepelatihan Zavialoff adalah kebebasan yang diberikan oleh sang pelatih. Zavialoff pun menyebutkan bahwa ia berusaha membuat Konta bermain sefleksibel mungkin alias tidak kaku pada satu gaya bermain.
"Filosofi permainan Zavialoff memberikan saya kebebasan penuh untuk berekspresi di atas lapangan. Kebebasan ini membuat saya bisa bekerja dalam harmoni dengannya. Imbasnya, saya lebih produktif," jelas Konta.
"Saya bertanding dengan beberapa gaya permainan, lebih bervarisasi daripada sebelumnya. Filosofi bermainnya itu bisa saya aplikasikan di atas lapangan mana pun," tambah Konta.
ADVERTISEMENT
Produktivitas yang disinggung Konta terlihat dalam empat laga awalnya di Roland Garros. Di babak pertama, ia menang 6-4, 6-4 atas wakil Jerman, Antonia Lottner. Kemenangan itu dilanjutkannya di babak kedua.
Melawan Lauren Davis, Konta menang 6-3, 1-6, 6-3. Di babak ketiga, giliran Viktoria Kuzmova yang dihajarnya 6-2, 6-1 dalam waktu 54 menit. Lantas, di perebutan tiket perempat final, Konta menang atas Vekic, 6-2, 6-4.
Meski langkahnya meyakinkan, spekulasi yang meragukan Konta tak berhenti. Pasalnya, dari empat lawan itu, hanya Vekic yang berstatus sebagai unggulan. Spekulasi makin berembus kencang karena di perempat final nanti Konta akan berlaga melawan finalis tahun lalu, Sloane Stephens.
Hanya, Konta memiliki rekam jejak bagus saat berhadapan dengan Stephens. Dalam dua pertemuannya, Konta selalu menang. Keduanya sama-sama terjadi di babak 32 besar turnamen musim ini. Di Brisbane International pada Januari, Konta menang 6-3, 6-4. Teranyar, di Italia Terbuka pada April. Kala itu, Konta menang 6-7 (3), 6-4, 6-1.
ADVERTISEMENT
Zavialoff memahami betul sepenting apa kemenangan buat petenis seperti Konta. Terlebih, ketika masih aktif bermain pun, Zavialoff bukan petenis yang memiliki prestasi menjanjikan. Asa untuk mengangkat penampilan petenis yang sempat tenggelam dibawanya dari satu sesi latihan ke sesi latihan.
Jika kebebasan bermain itu diberikannya kepada Konta, Zavialoff ingin anak asuhnya itu benar-benar menikmati tenis. Terdengar klise. Tapi, apalah artinya bergelimang gelar juara jika tidak bisa menikmati tenis lagi?
Maka, jelang laga melawan Stephens pun Zavialoff enggan mengumbar ekspektasi. Ia percaya anak asuhnya mampu mengalahkan siapa pun yang menjadi lawannya. Tapi, tenis acap melahirkan kejutan.
"Saya tidak bisa menjanjikan petenis saya bakal menjuarai Grand Slam. Yang saya tahu, lawannya di babak perempat final bakal berat. Kalau dia bisa mengalahkan lawannya, ya, bakal bagus. Kalau tidak, ya, kita lihat saja nanti seperti apa," ucap Zavialoff.
ADVERTISEMENT