Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Betapa Eksepsionalnya Seorang Philipp Lahm
9 Februari 2017 11:27 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
"Lahm is a scandal. He is super-intelligent, understands the game brilliantly, knows when to come inside or to stay wide. The guy is f****** exceptional" - Josep Guardiola
ADVERTISEMENT
Jika ada satu hal yang paling mudah ditangkap dari sosok Pep Guardiola, hal itu jelas kepalanya yang botak itu. Bukan. Ini bukan sebuah celaan. Justru, ini adalah sebuah penghormatan.
Kepala Guardiola yang botak itu adalah collateral damage dari perjalanan spiritualnya mencari kesempurnaan. Well, setidaknya "kesempurnaan" menurut versi Pep sendiri.
Mengingat betapa terobesesinya Guardiola dengan kesempurnaan, maka pujian yang dilontarkannya untuk Philipp Lahm itu tentu berarti lebih. Pasalnya, selain obsesinya dengan kesempurnaan, Pep juga dikenal sebagai sosok yang cerdas, baik ketika masih aktif bermain maupun ketika kini menjadi pelatih. Kalau kata orang, it takes one to know one, barangkali hal ini adalah salah satu contoh yang akurat.
Philipp Lahm adalah seorang full-back. Di masa lampau, posisi ini adalah posisi untuk para pemain buangan. Kita tentu ingat cibiran Jamie Carragher terhadap Gary Neville. "Tak ada seorang pun yang mau menjadi Gary Neville," ejek mantan bek Liverpool itu pada koleganya di Monday Night Football.
ADVERTISEMENT
Cibiran Carragher ini, adalah produk pola pikir masa lampau, di mana jika seorang pemain tak cukup tangguh untuk jadi bek tengah, tak cukup skillful untuk jadi seorang gelandang atau penyerang, dan tak cukup cepat untuk menjadi winger, maka dia akan menjadi seorang full-back. Pemain yang hanya ada supaya di lapangan sebuah tim punya 11 pemain.
Tetapi, pola pikir ini jelas menunjukkan sebuah logical fallacy yang teramat banal. Seorang full-back, jika kita melihat sosok Carlos Alberto di tim Brasil 1970 misalnya, adalah seorang pemain yang dituntut untuk mampu berbuat banyak hal. Atau Cafu, atau Roberto Carlos, atau Junior.
Philipp Lahm sendiri tidaklah seagresif itu. Dia tidak dikenal sebagai sosok full-back yang doyan sekali menginvasi area bertahan lawan. Tetapi, bukan berarti kontribusi Lahm dalam membantu serangan minim. Justru, sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pemain bertinggi 170 cm itu adalah sosok yang justru amat terlibat dalam proses build-up serangan. Menurut analis taktik lembaga pendidikan pelatih, KickOff Indonesia, Qo'id Naufal, Lahm mampu membuat tim yang dibelanya menyerang dengan lebih baik karena secara organik, Lahm adalah pemain yang memang berkelas.
Dia tahu persis kapan harus melepas bola, kemudian bola itu harus dilepas ke mana, kapan dan di mana dia harus melakukan support pada rekannya, paham betul cara menerima bola yang efektif dan efisien (posisi tubuh 180o), dan fasih dalam menggerakkan blok pertahanan lawan dengan segala pergerakan tanpa bolanya. Lahm, pendek kata, adalah purwarupa full-back yang sempurna.
Meski begitu, cara bermain yang seperti ini jelas dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, dari sononya Lahm memang sudah diberkahi kecerdasan. Kedua, dengan pendidikan sepak bola yang baik dan benar, dia kemudian mampu dibentuk menjadi sosok pemain yang sempurna itu tadi. Terakhir, tuntutan yang benar dari pelatihnya. Di bawah Guardiola di Bayern dan Joachim Loew di Tim Nasional Jerman, Lahm baru benar-benar terlihat kualitasnya. Bersama dua pelatih itu, Lahm benar-benar terpakai dan terapresiasi dengan baik.
ADVERTISEMENT
Di Bayern yang selalu mengandalkan dua winger di sisi terluar penyerangan, Lahm ditugasi untuk menjadi gelandang ekstra, bersama David Alaba di sisi seberang. Hal ini merupakan bentuk overload untuk mencipatakan superioritas kuantitatif yang kemudian bisa berujung pula menjadi superioritas posisional. Hasilnya, Bayern pun kemudian dapat memiliki opsi umpan yang lebih banyak dan mampu dengan mudah merusak shape pertahanan lawan. Di sini, Lahm adalah team player yang mampu membuat taktik berjalan dengan sempurna.
Bicara soal Lahm sebagai team player, berarti bicara soal pernyataan Lahm sendiri mengenai Ballon d’Or yang menurutnya sudah beralih menjadi “penghargaan untuk striker terbaik.” Di sini, meski ada benarnya, pernyataan Lahm itu sendiri dapat dengan mudah dibantah.
Persoalan utama Ballon d’Or adalah sifat dari penghargaan itu sendiri. Ballon d’Or atau sekarang kembali menjadi Pemain Terbaik FIFA, adalah penghargaan individual untuk olahraga tim. Maka dari itu, sosok yang menerima penghargaan atau setidaknya mampu menembus tiga besar biasanya adalah pemain-pemain yang bisa menjadi game-changer. Tak heran jika dalam delapan tahun terakhir, gelar ini menjadi duopoli Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
ADVERTISEMENT
Philipp Lahm, bersama Andres Iniesta, Luka Modric, Gianluigi Buffon, Manuel Neuer, dan Xavi Hernandez, jelas merupakan pemain-pemain kelas A yang terbaik di posisinya masing-masing. Akan tetapi, mereka pada akhirnya hanyalah "cog in the machine". Pemain-pemain itu “hanyalah” bagian dari tim yang membuat tim menjadi lebih baik. Messi dan Ronaldo, sementara itu, hampir seperti bagian terpisah dari tim karena mereka mampu mengeluarkan tim dari lubang jarum ketika dibutuhkan. Lahm, di sisi lain, merupakan bagian dari tim yang berada di lubang jarum tersebut.
Meski begitu, Philipp Lahm tetaplah Philipp Lahm. Dia memang “cuma” seorang full-back, akan tetapi kontribusinya untuk sepak bola jauh dari sekadar overlap dan crossing seperti halnya, well, Gary Neville. Lebih dari itu, Lahm adalah pesepak bola hebat; bukan hanya full-back yang sempurna. Full-back, kebetulan, hanya posisi yang dia huni.
ADVERTISEMENT
Sepak bola modern memang menuntut para pemain untuk bisa memainkan sepak bola secara holistik. Spesialisasi jelas penting, tetapi untuk membuat tim menjadi sebuah unit yang utuh dan solid diperlukan sosok pemain yang tahu persis caranya bermain sepak bola. Lahm, dengan segala atribut yang dimilikinya menunjukkan bahwa semua itulah yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat.
Pada akhir musim nanti, Philipp Lahm akan mengakhiri kariernya yang luar biasa. Dia sudah menjadi bagian dari keluarga Bayern Muenchen sejak berusia 11 tahun dan kini, di usianya yang menginjak 33 tahun, artinya sudah hampir seperempat abad dia berkecimpung di sepak bola. Melelahkan, jelas. Itu pula mungkin yang menjadi alasan mengapa Lahm enggan terjun ke dunia kepelatihan. Meski disayangkan, rasanya cukup bisa dimengerti mengingat selama kurang lebih 22 tahun itu, Lahm sudah menyumbang banyak hal bagi olahraga ini.
ADVERTISEMENT
Terima kasih, Kapten! Selamat menepi dengan tenang!