Catatan Denmark Open: Ganda Campuran Jangan Jadi One-hit Wonder

21 Oktober 2019 18:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasangan Ganda Putra Indonesia, Kevin Sanjaya/Marcus Gideon di laga pemungkas Denmark Open 2019. Foto: Dok: PBSI
zoom-in-whitePerbesar
Pasangan Ganda Putra Indonesia, Kevin Sanjaya/Marcus Gideon di laga pemungkas Denmark Open 2019. Foto: Dok: PBSI
ADVERTISEMENT
Denmark Open 2019 telah tuntas. Indonesia merengkuh dua gelar juara. Pencapaian ini menjadi angin segar karena belakangan gelar juara hampir selalu datang dari sektor ganda putra.
ADVERTISEMENT
Namun, itu bukan pencapaian tak adil. Indonesia memang konsisten melahirkan ganda putra kelas dunia. Toh, ganda putra nomor satu dan dua dunia kini berasal dari Indonesia.
Ganda Putra Masih Jadi Tumpuan
Pada suatu waktu, sektor ganda putra tidak identik dengan permainan cepat dan ganas seperti sekarang. Permainan stylish dan cenderung hati-hati dalam menempatkan shuttlecock merupakan paling dominan di era lampau.
Konon semuanya berubah sejak All England 1972. Ganda putra Indonesia, Christian Hadinata dan Ade Chandra, memberikan warna baru yang mencelikkan mata jagat bulu tangkis.
Keduanya mengandalkan kecepatan yang mampu membikin lawan mati langkah. Kecepatan merupakan senjata yang dipakai Christian dan Ade untuk mencegah lawan mengembangkan permainan.
Taktik itu berhasil. Christian dan Ade ditahbiskan sebagai juara ganda putra usai menundukkan wakil tuan rumah, Ray Stevens dan Mike Tredgett, 15-5 dan 15-12.
ADVERTISEMENT
Kisah juara di Wembley Arena pada 26 Maret 1972 tidak berhenti di sana. Sektor ganda putra dunia mulai menyerap permainan Christian dan Ade. Seketika, laga ganda putra dunia tidak sama lagi.
Gelar juara ganda putra tadi tidak menjadi pencapaian semu buat bulu tangkis Indonesia. Sektor ini menopang Merah Putih secara konsisten dari tahun ke tahun. Ambil contoh pencapaian di seluruh BWF World Tour, mulai dari Super 100 hingga 1.000.
Ganda putra Indonesia menggondol 216 gelar juara dalam 32 turnamen, termasuk turnamen yang sudah tidak aktif lagi, Brunei Open dan Philippine Open. Sebagai catatan, ada 35 turnamen BWF World Tour yang masih aktif hingga sekarang.
Pasangan Ganda Putra Indonesia, Kevin Sanjaya/Marcus Gideon, bersua Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan di laga pemungkas Denmark Open 2019. Foto: Dok: PBSI
Catatan mayor tadi belum ditambah dengan torehan masing-masing 10 medali emas Kejuaraan Dunia dan Kejuaraan Asia (individu), serta tiga medali emas Olimpiade. Kalau mau lebih jauh, bisa menilik pencapaian skuat ganda putra Indonesia di Asian Games dan SEA Games.
ADVERTISEMENT
Kualitas ganda putra Indonesia terjaga hingga 2019. Mereka mengoleksi 11 gelar juara dalam 29 turnamen yang sudah digelar.
Indonesia bahkan berjaya dengan mengamankan seluruh gelar ganda putra di ketiga turnamen Super 1.000 alias yang tertinggi sebelum World Tour Finals: All England, Indonesia Open, dan China Open. Satu gelar juara direbut Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan dua medali emas dibawa Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo.
Tak sampai di situ. All-Indonesian Final muncul lima kali sepanjang 2019. Kelima laga pemungkas itu selalu menampilkan duel antara Ahsan/Hendra dan Marcus/Kevin. Pasangan yang disebut terakhir memenangi kelima pertandingan tadi, termasuk di Denmark Open.
Seluruh catatan tadi menunjukkan bahwa ganda putra merupakan kekuatan paling stabil di ranah bulu tangkis Indonesia. Regenerasinya berjalan dengan baik. Mulai dari era Christian dan Ade, ganda putra Indonesia terus menelurkan pasangan kelas dunia.
ADVERTISEMENT
Kualitas itu tergambarkan dalam dua generasi berbeda di era sekarang. Marcus/Kevin bicara soal ganda putra top dalam usia ideal, sedangkan Ahsan/Hendra berkisah tentang kualitas yang tak habis dimakan usia.
Ahsan/Hendra di Kejuaraan Dunia 2019. Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak
Ahsan/Hendra juga memiliki peran ganda. The Daddies dipandang sebagai standar bagi generasi di bawah mereka.
Tak jadi soal bahwa mereka pernah berpisah setelah Olimpiade 2016. Bukan masalah besar pula bahwa keduanya tidak berstatus sebagai atlet Pelatnas Cipayung (PBSI).
Menilik SK PBSI bertanda SKEP/001/0.3/I/2019 yang keluar pada 4 Januari 2019, Hendra dan Ahsan tidak lagi tercatat sebagai atlet profesional. Artinya, segala sesuatu urus sendiri, tidak dibiayai negara.
Meski demikian, kualitas yang tak surut menjadikan keduanya tetap didampingi pelatih PBSI, Herry IP, setiap berlaga. Pun dengan latihan. Mereka tetap berlatih di Pelatnas Cipayung. Untuk keputusan ini, PBSI mengambil langkah tepat.
ADVERTISEMENT
Gelar Juara Ganda Campuran Jangan Sampai Jadi One-hit Wonder Belaka
Ganda putra Indonesia jadi juara rasanya hampir selalu bisa dimaklumi. Kabar baiknya, ganda campuran juga menyumbang satu mahkota juara untuk Indonesia di Denmark Open 2019 melalui keberhasilan Praveen Jordan/Melati Daeva. Ini merupakan gelar juara pertama mereka sebagai pasangan.
Ganda campuran Indonesia tidak cukup akrab dengan Denmark Open. Indonesia baru dua kali menjadi juara sebelum 2019. Gelar itu pertama kali diamankan pada 1975 lewat Tjun Tjun (Lian Chun-sheng)/Regina Masli. Yang kedua datang pada 2001 berkat performa Tri Kusharjanto/Emma Ermawati.
Owi/Butet usai memastikan gelar juara dunia. Foto: REUTERS/Russell Cheyne
Meski demikian, ganda campuran Indonesia bukan sektor yang buruk. Salah satu bukti terkini adalah performa Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang menyumbang medali emas di Olimpiade 2016.
ADVERTISEMENT
Tontowi/Liliyana juga mempersembahkan 21 gelar juara lainnya. Rinciannya: Dua Kejuaraan Dunia, satu Kejuaraan Asia, satu SEA Games, dan 17 World Tour (termasuk ketika namanya masih Super Series).
Berangkat dari situ saja, sektor ganda campuran memiliki kesempatan besar untuk kembali menjadi andalan. Masalahnya tentu saja konsistensi.
Praveen Jordan dan Melati Daeva juara di Denmark Open 2019. Foto: Dok. PBSI
Keputusan Liliyana untuk pensiun meninggalkan lubang besar di sektor ganda campuran. Tontowi Ahmad dan Winny Kandouw belum bisa diandalkan sepenuhnya. Pun demikian dengan Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle. Praveen/Melati memang menjadi harapan terbesar meski didera persoalan serupa.
Bicara soal waktu, tidak ada ukuran yang pasti. Duet Liliyana dan Tontowi memang cukup ajaib. Turun gelanggang pertama kali di Macao Open 2010, mereka langsung menjadi juara di sana.
ADVERTISEMENT
Pencapaian ini berbeda dengan Praveen/Melati. Dipasangkan pada Januari 2018, mereka baru bisa merengkuh juara pada 20 Oktober 2019.
Gelar juara ini seharusnya menjadi dasar bahwa sebenarnya pasangan ini bisa diandalkan. Dibandingkan dengan laga-laga sebelumnya, permainan Praveen/Melati di Denmark Open 2019 jauh lebih menggebrak.
Praveen Jordan dan Melati Daeva juara di Denmark Open 2019. Foto: Dok. PBSI
Ambil contoh di laga final. Praveen/Melati tidak sekadar agresif, tetapi juga cerdik memanfaatkan kelebihan masing-masing. Praveen dominan dengan smash-smash bertenaganya. Melati cerdik dalam penempatan shuttlecock sehingga ia andal betul ketika harus melepaskan sergapan dari depan net.
Itu persoalan taktis. Mental keduanya juga patut diacungi jempol. Mereka tidak datang ke Odense dengan langkah ringan karena kasus indispliner ikut dipikul sebagai beban.
Itu belum ditambah dengan jalannya gim ketiga di partai final. Unggul 14-7, Praveen/Melati malah diperhadapkan dengan situasi horor. Lawan berbalik unggul 15-14. Enggan meringkuk di hadapan kebangkitan lawan, itulah yang membikin Praveen/Melati menutup turnamen dengan gelar juara.
ADVERTISEMENT
Yang menjadi tugas selanjutnya adalah meningkatkan performa. Toh, per 22 Oktober, mereka sudah harus berlaga di French Open 2019. Jangan sampai pencapaian itu menjadi one-hit wonder belaka.
Mencari Jalan untuk Ganda Putri dan Sektor tunggal
Ganda putri Indonesia baru mengumpulkan empat gelar juara pada BWF World Tour 2019. Greysia Polii/Apriyani Rahayu menjuarai India Open, Ni Ketut Mahadewi/Tania Oktaviani di Russian Open, Della Destiara/Rizki Amelia di Vietnam Open, dan Siti Fadia/Ribka Sugiarto di Malang Indonesia Masters.
Di antara keempatnya, level turnamen Greysia/Apriyani yang tertinggi. India Open masuk dalam level 500. Tiga turnamen lainnya merupakan level 100.
Ganda Putri Indonesia Apriyani Rahayu (kanan) dan Greysia Polii berusaha mengembalikan kok pada babak semi final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2019 di St. Jakobshalle, Basel, Swiss. Foto: REUTERS/Vincent Kessler
Greysia/Apriyani belakangan menjadi satu-satunya ganda putri Indonesia yang diturunkan di turnamen level mayor. Dibandingkan dengan seluruh ganda putri Indonesia, Greysia/Apriyani memang masih dipandang sebagai yang terbaik.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, pencapaian mereka belum istimewa. Greysia/Apriyani hanya dua kali masuk final di BWF World Tour 2019. Langkah mereka di Denmark Open juga tak panjang, cuma sampai babak kedua alias 16 besar.
Agustus 2019 lalu, pelatih ganda putri Indonesia, Eng Hian, pernah menjelaskan penyebab seretnya prestasi sektor ini. Menurutnya, karakter pemain juga punya andil. Rasa lapar akan gelar juara menjadi faktor yang amat disoroti sang pelatih.
Aksi Anthony Ginting pada Korea Terbuka 2019. Foto: Dok. PBSI
Persoalan utamanya adalah menemukan bibit-bibit unggul. Ini tidak hanya bicara soal fisik ataupun taktis, tetapi juga mental. Mempertahankan keunggulan, mengejar ketertinggalan, dan membalikkan kedudukan--semua itu juga ditopang oleh kualitas mental.
Situasi serupa juga dialami sektor tunggal putri. Denmark Open menjadi panggung yang membuktikannya. Gregoria Tunjung dan Fitriani terhenti di laga pertama.
ADVERTISEMENT
Setelah era Susy Susanti hingga Mia Audina, rantai tunggal putri terputus. Gregoria dan Fitriani belum mampu menembus 10 besar dunia.
Sektor tunggal putra mungkin lebih baik. Anthony Ginting kini ada di peringkat delapan dunia, sedangkan Jonatan Christie berada di posisi enam. Namun, inkonsistensi tetap menjadi musuh. Di Denmark Open, Anthony terhenti di babak pertama, sementara Jonatan hanya sanggup berlaga sampai babak kedua.
Kondisi demikian semakin miris bila melihat lawan yang dihadapi. Anthony punya modal bagus untuk menuntaskan pertandingan itu dengan kemenangan.
Anthony dan lawannya, Brice Leverdez, sudah bertemu dalam tiga pertandingan. Rekor pertemuan berpihak pada Anthony karena berhasil menuntaskan tiga laga dengan tiga kemenangan.
Perhitungan peringkat menjadi modal kedua. Anthony ada di posisi delapan, sedangkan Leverdez di urutan ke-36. Modal ketiga adalah jalannya gim pertama. Anthony telah menang 21-16.
ADVERTISEMENT
Namun, ketiga modal itu belum cukup membuat Anthony menang atas Leverdez. Pebulu tangkis Prancis ini bangkit, mengganjar Anthony dengan kekalahan 19-21 dan 20-22 di dua gim terakhir.
Kekalahan Jonatan juga mengecewakan. Ini tidak hanya bicara soal kekalahan straight game, 17-21 dan 21 dan 23, tetapi juga tentang keunggulan head-to-head. Persis Anthony.
Aksi Shesar Hiren Rhustavito di Korea Terbuka 2019. Foto: dok. PBSI
Harapan justru muncul pada Shesar Rhustavito. Ia memang masih ada di peringkat 26 dunia, tetapi bukan berarti tidak bisa dibentuk.
Pencapaian Shesar di Denmark Open lebih baik ketimbang Anthony karena sampai di babak kedua. Laga melawan Angus Ng Ka Long di babak pertama dilakoninya dengan penuh nyali.
Shesar langsung membuka gim dengan agresivitas. Prinsipnya, jangan buang-buang poin.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan laga melawan Chou Tien Chen meski tuntas dengan kekalahan. Ia masih bisa merepotkan Chou di gim pertama. Persoalannya adalah variasi taktik yang membuat lawan sulit membaca permainan.