Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Popovich datang terlambat ke pembicaraan mengenai kematian tragis Floyd ini. Baru pada Minggu (31/5/2020) dia mengutarakan pendapatnya dalam sebuah wawancara eksklusif dengan jurnalis The Nation, Dave Zirin.
Sekalinya bicara, Popovich tidak mengecewakan. Tanpa tedeng aling-aling, pria yang juga menjabat sebagai pelatih Timnas Basket Amerika Serikat itu memaki-maki Presiden Donald Trump dengan kata-kata seperti 'pengecut' dan 'idiot'.
Floyd, 46 tahun, meninggal dunia pada 25 Mei 2020. Pria Afro-Amerika itu dibunuh dengan keji oleh seorang polisi kulit putih di Minneapolis. Kematian Floyd ini lantas memicu protes besar-besaran di kota tersebut.
Para demonstran menuntut keadilan bagi Floyd. Mereka ingin si pembunuh, serta polisi-polisi lain yang melakukan pembiaran, ditindak tegas. Si pembunuh sendiri akhirnya didakwa dengan pasal pembunuhan tingkat tiga (third-degree murder).
ADVERTISEMENT
Tindakan hukum sudah dilakukan. Akan tetapi, ia terlambat datang. Setelah kemurkaan rakyat Amerika ditumpahkan lewat pembakaran berbagai objek vital dan kendaraan, barulah polisi pembunuh bernama Derek Chauvin tadi diciduk.
Lambannya pihak berwajib dalam menindak anggotanya sendiri ini membuat kemurkaan warga tak jua sirna. Protes yang tadinya cuma berkisar di Minneapolis menyebar ke berbagai kota besar lain, termasuk Los Angeles, New York City, dan Washington DC.
Popovich memang tidak langsung bersuara menanggapi pembunuhan Floyd tersebut. Akan tetapi, bukan berarti dia tidak menaruh perhatian. Popovich menyebut, protes bisa sampai sebesar ini karena orang kulit putih selama ini diam melihat penindasan terhadap orang kulit hitam.
"Satu hal yang membuatku geram adalah kita semua sudah melihat kekerasan polisi dan rasialisme sebelumnya tetapi tidak ada yang berubah. Inilah mengapa protes kali ini begitu eksplosif," tutur Popovich.
ADVERTISEMENT
"Namun, tanpa kepemimpinan dan pemahaman terhadap masalah sesungguhnya, perubahan takkan pernah ada. Orang kulit putih Amerika selama ini selalu menghindar karena kami punya privilese untuk tidak membicarakannya. Itu juga harus berubah."
Popovich kemudian menyalahkan Trump yang tidak bertindak apa-apa dalam menerima aspirasi warganya. Alih-alih begitu, presiden ke-45 Amerika Serikat itu justru mengancam bakal menggunakan kekuatan militer untuk mematikan perjuangan warga.
"Sungguh tidak bisa dipercaya. Kalau Trump punya otak, dia akan tampil dan mengatakan sesuatu untuk menyatukan semua orang. Namun, dia tidak peduli akan hal itu. Sebegitu sintingnya memang dia," ujar Popovich.
"Dia cuma mementingkan urusannya sendiri. Dia tidak pernah melakukan apa pun untuk kemaslahatan bersama. Sejak awal dia sudah seperti itu."
ADVERTISEMENT
"Yang harus dia lakukan sebenarnya 'kan sudah jelas. Dia cuma perlu berkata bahwa 'Black Lives Matter'. Cuma tiga kata itu, tetapi dia tidak akan dan tidak bisa mengatakannya. Dia tidak bisa mengatakan itu karena baginya yang lebih penting adalah menyenangkan sebagian kecil orang yang memvalidasi kesintingannya."
"Dia tidak cuma memecah belah. Dia adalah seorang penghancur. Dia akan membunuhmu pelan-pelan demi kepentingannya sendiri. Aku murka karena kita punya pemimpin yang tidak bisa berkata 'Black Lives Matter'."
"Itulah mengapa dia sembunyi di ruang bawah tanah Gedung Putih. Dia adalah seorang pengecut. Dia bikin ribut lalu lari tunggang langgang seperti anak TK. Kupikir, lebih baik kita tak mengacuhkan keberadaannya. Lagipula, dia adalah idiot sinting yang tak bisa berbuat apa-apa."
ADVERTISEMENT
"Namun, yang jadi persoalan di sini bukan cuma Trump. Sistem secara keseluruhan juga harus diubah. Aku akan melakukan apa pun yang kubisa karena itulah yang mestinya dilakukan seorang pemimpin. Tapi, dia tidak akan bisa melakukannya karena dia bukan pemimpin," papar Popovich panjang lebar.
Tak lupa, Popovich juga ikut memberikan saran kepada para demonstran. Menurutnya, misi para demonstran akan berhasil jika ada organisasi yang lebih baik seperti pada masa Martin Luther King Jr.
"Protes ini memang diperlukan tetapi mereka perlu mengorganisir diri lebih baik lagi. Ketika Dr. King melakukan protes, kalian semua tahu kapan harus datang, kapan harus kembali keesokan harinya. Kalau di dalam protes semua orang datang dan pergi, misi akan sulit tercapai," ucap Popovich.
ADVERTISEMENT
"Jika protes ini adalah protes nirkekerasan, semua orang harus tahu bahwa ini adalah protes nirkekerasan. Akan tetapi, kali ini tidak ada kejelasan. Protes ini butuh kepemimpinan yang lebih baik supaya tidak ditunggangi. Kita bisa meminimalisir kerusuhan jika protes diorganisasi lebih baik," pungkasnya.
Sebagai informasi, protes yang dilakukan Dr. King pada dekade 1960-an berujung pada diberlakukannya Civil Rights Act alias Undang-undang Hak Sipil. Pemberlakuan UU tersebut menandai berakhirnya segregasi rasial di Amerika Serikat.
Sayangnya, meski sudah ada UU tersebut, kekerasan rasial terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat masih juga marak sampai sekarang. Bahkan, Dr. King sendiri akhirnya dibungkam lewat timah panas yang merenggut nyawanya pada 1968.
-----
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona . Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.
ADVERTISEMENT