Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Film dokumenter MJ (Michael Jordan ) ini bakal mengajarkan beberapa dari kalian mengapa orang-orang menilai ia begitu tinggi.”
Itu adalah cuitan dari Anfernee Simons, point guard muda Portland Trail Blazers, setelah serial dokumenter tentang Michael Jordan berjudul 'The Last Dance ' dirilis di Amerika Serikat pada Senin (20/4/2020) pagi WIB.
Usia Simons saat ini baru 20 tahun. Oleh karena itu—mungkin—Simons tak pernah menonton langsung aksi Jordan di lapangan basket.
Namun, buat Simons,’ The Last Dance’ bisa memberikan jawaban atas keheranannya mengapa Michael Jordan disebut-sebut sebagai pebasket terbaik sepanjang masa. Kami, tentu saja, sepakat dengan Simons.
***
‘The Last Dance’ adalah film dokumenter rilisan ESPN dan Netflix yang bercerita tentang karier Michael Jordan di NBA bersama Chicago Bulls . Serial bermuatan 10 episode ini akan dirilis secara bertahap—dua episode per pekan.
Pada 20 April pagi WIB, ESPN sudah merilis dua episode pertama di Amerika Serikat. Namun, di Indonesia, dua episode pertama bakal dirilis Netflix pada 20 April pukul 14:00 WIB.
Nah, kumparanSPORT mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan empat episode pertama dari ‘The Last Dance’. Itulah yang membuat kami bisa menyepakati ucapan Simons.
Nama ‘The Last Dance ’ sendiri terinspirasi dari ucapan pelatih legendaris Chicago Bulls, Phil Jackson, sebelum NBA 1997/98. Musim itu sendiri merupakan musim terakhir Jordan, Jackson, dan penggawa-penggawa terbaik Bulls sebelum hengkang.
Puncak cerita ‘The Last Dance’ adalah bagaimana Jordan dan rekan-rekannya memberikan pencapaian terbaik kepada Bulls pada musim terakhir mereka (dan mereka berhasil).
Namun, 'The Last Dance' tidak dibangun secara ujug-ujug. Ia tidak langsung sampai ke musim terakhir yang menjadi semacam 'The Return of The King' dari saga ini.
Sebaliknya, 'The Last Dance' cukup telaten dalam membangun cerita. Ia dibangun dari awal sekali; dimulai dengan kisah-kisah Jordan, dari awal ia di-draft oleh Bulls sampai kesuksesan terakhirnya.
‘The Last Dance’ dimulai dengan cerita Jordan muda yang menapaki kiprah basketnya di University North Carolina (UNC). Jordan membawa UNC juara NCAA di musim perdananya (freshman) lalu ia langsung mengikuti NBA Draft pada 1984.
Masuk ke NBA, Jordan sempat diragukan. Maklum, kala itu, Bulls benar-benar terpuruk. Namun, ia berhasil melalui masa peralihan itu dengan baik. Tak hanya itu. Jordan juga sanggup menaikkan popularitas Bulls dengan signifikan.
Jordan sejatinya punya talenta yang luar biasa. Namun, ‘The Last Dance’ juga menceritakan usahanya yang tak banyak orang tahu untuk menjadi yang terbaik. Contohnya, ketika ia mulai fokus memperkuat tubuhnya setelah dirinya dan Bulls digasak oleh Isiah Thomas dan ‘Bad Boys’ Detroit Pistons.
Kepingan-kepingan kecil kisah seperti itu membuat ‘The Last Dance ’ terasa seperti kamera yang dipasang dekat sekali dengan kehidupan-kehidupan Jordan.
Ia juga jeli menangkap sisi manusiawi Jordan. Sehebat apa pun dirinya, ia tetap tak bisa membawa Bulls menjadi juara tanpa kehadiran Jackson, Scottie Pippen, Dennis Rodman, dan rekan-rekan setimnya yang lain.
Rekan-rekan setim dan pelatih Jordan memang mendapat porsi yang cukup signifikan di ‘The Last Dance’.
Kisah Pippen sebagai bocah pemalu dari Hamburg, Arkansas, dinarasikan dengan menyentuh. Ada pula Jackson yang datang dengan metode triangle-nya yang termasyhur. Rodman, salah satu anggota 'bad boy' Pistons yang eksentrik, lantas masuk untuk melengkapi dan meningkatkan Bulls ke level yang lebih tinggi.
Sekalipun memiliki banyak karakter dan cukup banyak menggali sisi sentimental, 'The Last Dance' adalah sajian yang dihidangkan dengan kadar yang pas, tidak berlebihan. Kisah mereka juga menjadi bukti bahwa ada simbiosis mutualisme antara Jordan dan pelatih serta rekan-rekannya.
Tentu saja perjalanan Jordan tak melulu mulus. Ada konflik dengan Pippen yang sengaja menunda operasi agar bisa mendapatkan kontrak lebih tinggi.
Lalu, ada juga kisruh dengan General Manager (GM) Bulls, Jerry Krause, yang ingin menukar Pippen dan membongkar-pasang tim. ‘The Last Dance’ menceritakan itu semua dengan ciamik.
‘The Last Dance’ juga berani, bahkan cenderung vulgar. Jordan tanpa segan menceritakan bagaimana senior-seniornya di Bulls menghirup kokain dan berpesta. Tak ada penyensoran juga di serial ini.
Oh, ya, nilai plus lainnya adalah banyaknya footage-footage keren yang memperkaya dokumenter ini. Footage-footage itu bisa didapatkan karena pemilik Bulls, Jerry Reinsdorf, membolehkan NBA untuk merekam perjalanan timnya pada 1997-98.
Intinya, ‘The Last Dance’ sukses membuat kami merasa lebih dekat dengan Michael Jordan .
Tentu baru empat episode kami lalui. Masih banyak kisah Jordan yang belum diceritakan di empat episode awal ini, seperti ketika ia melalui masa pensiun perdananya setelah ayahnya ditembak mati.
Kami, sih, tak sabar untuk menunggu episode ‘The Last Dance’ selanjutnya. Kami juga yakin kalian akan merasa seperti itu setelah menonton dua episode perdana 'The Last Dance '.
-----
Catatan editorial:
Di masa physical distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama. Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.
Simak panduan lengkap dalam menghadapi pandemi corona dalam Pusat Informasi Corona . Sebuah inisiatif yang dirancang kumparan untuk membantu masyarakat Indonesia.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!