Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
I
Pada dasarnya, tinju berkisah tentang pertarungan. Dan setiap pertarungan memiliki ceritanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Joe Louis, The Brown Bomber, adalah petinju berkulit hitam. Ia salah satu yang terbesar dalam sejarah. Gelar juara kelas berat menjadi miliknya selama 11 tahun 10 bulan.
Dari 70 pertandingan, ia menang 66 kali dan hanya kalah tiga kali --sementara satu pertandingan dilewati tanpa kontes. Lima puluh dua dari 66 kemenangan tersebut diraihnya dengan KO. Sebagai petinju, Joe Louis mengalahkan hampir semua lawannya, dan kebanyakan dari mereka berkulit putih.
22 Juni 1938, Adolf Hitler terbang ke Amerika Serikat. Ia menggelar pertandingan tinju di Yankee Stadium. Pertandingan itu bukan digelar atas nama sportivitas. Ia tak berdiri membawa kepentingan olahraga. Yang diinginkan Hitler hanya satu: Lewat jab demi jab, hook demi hook, dunia melihat bahwa orang kulit hitam tak ada apa-apanya dibandingkan ras Arya.
ADVERTISEMENT
Hitler pulang menanggung malu. Saking malunya, siaran radio di Jerman sampai diputus agar orang-orang di sana tak bisa mengikuti jalannya pertandingan. Ternyata, Max Schmeling, jagoan Hitler itu, bertekuk lutut dihajar Joe Louis di ronde pertama.
Di Amerika Serikat, tinju memang lebih direpotkan dengan urusan perjuangan. Ia lebih dari sekadar cabang olahraga. Bagi para petinju kulit hitam, tinju adalah pintu gerbang yang menghubungkan mereka pada pengakuan bahwa orang kulit hitam tak selalu kalah pada orang kulit putih.
Joe Louis adalah salah satunya, namun dunia juga punya Muhammad Ali.
Ali bukan cuma jadi fenomena, ia adalah santo yang meledak-ledak bagi perjuangan kaum kulit hitam. Martin Luther King Jr. menaruh hormat padanya. David Halberstam, kolumnis peraih Putlizer yang juga melakoni reportase saat perang Vietnam, menulis kisah Ali yang tanpa tedeng aling-aling menolak perintah pemerintah untuk ikut berperang di Vietnam. Bagi Ali, kalau ia ikut berperang di Vietnam, ia akan menjadi orang miskin yang membuat orang lain bertambah miskin.
ADVERTISEMENT
Muhammad Ali menolak. Lantas dihukum lima tahun penjara.
“Clay Guilty in Draft Case; Gets Five Years in Prison;” seperti itulah headline The New York Times tanggal 22 Juni 1967 yang memberitakan hukuman penjara Muhammad Ali karena menolak untuk ikut perang. Bagi mereka Muhammad Ali tak ada, yang ada hanyalah Cassius Clay.
II
Tahun-tahun setelahnya, Esteban De Jesus naik ring tinju. Namun, pertarungannya tak punya urusan apa-apa dengan ras dan diskriminasi.
Lahir di Carolina, Puerto Rico, De Jesus terkenal sebagai petarung kelas ringan (lightweight) di akhir tahun 1960-an dan sepanjang 1970-an. Tak ada catatan apa-apa mengapa De Jesus memilih tinju. Sama seperti di negara Amerika Latin lainnya, tinju adalah olahraga yang populer di Puerto Riko.
ADVERTISEMENT
Tinju muncul saat Puerto Riko masih berada di bawah pemerintahan kolonial Spanyol. Biasanya, tinju digelar di kalangan pekerja perkebunan kopi dan gula. Diselenggarakan untuk menentukan siapa yang terkuat di antara mereka.
Esteban De Jesus adalah petinju underdog waktu bertanding melawan Roberto Duran. Sebelum pertandingan melawan Duran di Madison Garden Square, ia hanya kalah sekali saat melawan juara dunia berkebangsaan Venezuela, Antonio Gomez.
Sementara itu, Roberto Duran tak pernah kalah sebelumnya. Pertandingan pertamanya melawan Esteban menjadi pertandingan ketiganya setelah ia memperoleh gelar juara kelas ringan (lightweight).
Waktu itu 17 November 1972, dan ini adalah kali pertama Roberto Duran jatuh terduduk dihajar lawan. Komentator bahkan masih sibuk membahas warna celana De Jesus saat ia melepaskan hook kiri ke rahang Duran yang seketika menjatuhkannya di ronde pertama, tak lebih dari tiga menit setelah pertandingan dimulai.
ADVERTISEMENT
Duran seketika bangkit, ia menyunggingkan senyum sambil beberapa kali menganggukkan kepala. Gesture yang menutupi ketidakpercayaan dan kemarahan sekaligus.
Pertandingan pertamanya melawan Duran memang tak memperebutkan gelar apa pun. Namun, pertandingan tanpa gelar itu pulalah yang berhasil menunjukkan bahwa tinju milik De Jesus tak perlu menjadi juara untuk menjadi yang nomor satu. Persis seperti yang ditulis Lew Eskin sebagai headline pemberitaan pertandingan itu.
De Jesus tidak serta-merta berada di puncak dunia tinju. Sama seperti atlet lainnya, ia pun mendaki. Tanjakan demi tanjakan, lereng demi lereng. Yang menjadi pembeda, pendakiannya bukan pendakian yang menarik perhatian. Dan orang-orang baru menyadarinya saat ia sudah berada di puncak, sesaat setelah ia melengserkan siapa pun yang sebelumnya berdiri di atas sana.
ADVERTISEMENT
Barangkali karena tak terdengar, kariernya seperti melesat tiba-tiba. Persis seperti apa yang dijelaskan Harold Lederman, analis tinju HBO yang juga menjadi juri pada pertandingan pertama De Jesus melawan Duran, saat menjelaskan apa yang dilihatnya di Madison Garden malam itu. “De Jesus masuk dari sudut ring, lalu tiba-tiba ia sudah membuat Duran tersungkur.”
Usai mengalahkan Duran, De Jesus tetap naik dari satu ring ke ring lain. Mengayunkan pukulan dan menjatuhkan nama-nama besar. Mengalahkan Guts Ishimatsu dan mengangkat sabuk gelar juara WBC World Lightweights. Menghajar Ray Lampkin, Raul Montoya, Victor Ortiz, Lionel Hernandez, Percy Hayles, Angel Robinson, maupun Chuck Wilburn.
Itu sebelum palu nasib menjatuhkan vonis berbeda.
III
Carolina, kota tempat De Jesus menghabiskan masa kecilnya, tidak berada di planet lain. Ia adalah kota kecil di timur laut Puerto Riko yang tingkat kriminalitasnya sempat menjadi sorotan.
ADVERTISEMENT
Namun, De Jesus tak seperti petinju lain yang bertinju atas dasar perlawanan, yang bertinju sebagai balas dendam atas masa kecil yang tak bahagia. Orang-orang terdekat De Jesus menjelaskan bahwa ia seorang pria yang dekat dengan keluarga. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda yang mencintai ibunya. Barangkali, ia hanya terbiasa menyaksikan kekerasan dan hedonisme di sepanjang hidupnya.
Maka, ketika De Jesus menjadi superstar ring tinju dan terbiasa memukul KO lawan, ia pun terjerembap dalam hedonisme yang menggila. Seketika, kokain dan mariyuana menjadi temannya yang paling karib.
“Semuanya dimulai ketika kamu setuju untuk pergi ke pesta. Bersenang-senang di sana, lalu mulai mengonsumsi sedikit obat-obatan mereka. Semuanya terjadi dalam sekejap. Lalu, kamu tertidur. Dan begitu membuka mata, seketika kamu sadar bahwa kamu sudah kecanduan.”
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan kariernya, De Jesus tiga kali melawan Duran. Dua di antaranya membuahkan kemenangan untuknya. Sayangnya, rekor ini rusak di pertandingan ketiga. Setelahnya, prestasi De Jesus merosot jauh. Di pertandingan terakhirnya melawan petinju Amerika Serika, Saoul Mamby, ia kalah setelah terhuyung di ronde 13.
Puncak dari kehancuran kariernya terjadi saat ia dan istrinya hendak merayakan Thanksgiving tahun 1980. De Jesus berada di bawah pengaruh kokain saat bersiap-siap untuk makan malam bersama keluarga besarnya. Alih-alih makan malam, ia justru melarikan diri mengendarai mobil istrinya.
Entah bagaimana detailnya, yang jelas ia dan seorang remaja 18 tahun terlibat perselisihan kecil di jalan. Kokain menjalankan tugasnya dengan piawai. Dengan kesadaran yang tak sampai separuh, ia mengeluarkan pistol laras pendek dan menembak kepala remaja tadi. Kariernya benar-benar habis. De Jesus dihukum mendekam di penjara seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Tahun 1985, beberapa saat setelah saudaranya, Enrique, meninggal karena AIDS, De Jesus juga mendapati bahwa ia juga terinfeksi HIV. Katanya, ia dan Enrique memang kerap berbagi jarum suntik saat mengonsumsi kokain.
Setidaknya sampai 28 Maret 1985, De Jesus menghadapi kemungkinan meninggal di penjara. Dia menjalani hukuman seumur hidup untuk pembunuhan tingkat pertama, ditambah empat tahun lagi untuk kemungkinan pembebasan bersyarat, saat permintaan keduanya untuk perubahan hukuman diberikan oleh Gubernur Rafael Hernandez Colon. Dewan pembebasan bersyarat tersebut setuju untuk membebaskannya dengan syarat dia menerima perawatan di klinik AIDS.
Pusat perawatan yang merangkap panti rehabilitasi narkoba ini merupakan bekas pabrik susu yang berada di Rio Piedras, Puerto Riko. Di sana, De Jesus berbagi ruangan dengan 17 pasien lainnya. Semuanya adalah mantan pecandu narkoba yang menderita sindrom defisiensi imun.
ADVERTISEMENT
IV
Yang perlu diingat dari tinju milik De Jesus adalah, saat bertinju ia hanya bertinju, tak pernah membawa embel-embel apa pun. Ia bukan Muhammad Ali yang bertinju untuk menyuarakan hak-hak kaumnya.
Ia tak pernah menjadi serupa dengan Joe Louis yang menjadikan tinju sebagai jalan keluar atas segala diskriminasi yang menghajar orang-orang kulit hitam. Semuanya bermula saat pertandingan dimulai, semuanya selesai saat pertandingan berakhir.
Barangkali karena itu pulalah, Roberto Duran dengan entengnya mengajak De Jesus bermain domino sewaktu berpapasan di elevator sesaat setelah pertandingan ketiga mereka berakhir. Tentang lawan yang jelas-jelas mencoreng nama besarnya di atas ring tinju ini, Roberto Duran berbicara demikian: “Saya hanya membencinya di atas ring tinju. Di luar ring, saya menghormatinya sebagai lawan terhebat yang pernah saya hadapi.”
ADVERTISEMENT
Bagi De Jesus, tinju adalah pukulan demi pukulan. Menghajar lawan hingga tersungkur, melesakkan kedua tinju ke udara saat wasit mengumumkan kemenangan. Sebagai petinju, Duran paham hal itu.
Lantas, saat orang-orang di sekitar De Jesus kelewat takut tertular AIDS yang diidapnya, Duran datang menemuinya yang tak lagi bisa beranjak dari tempat tidur. Ia memeluknya, memberikan ciuman penghormatan kepada lawan yang menjatuhkannya di ronde pertama. Putrinya pun dimintanya untuk melakukan hal serupa.
Lalu yang terdengar setelahnya, De Jesus mati tanpa membawa lawan.