Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Gue jadi mikir, yang virus kayaknya bukan corona deh, tapi kita manusianya,” cuit akun @rifaiahmd. Pernyataan tersebut diamini oleh warganet lain yang sepakat bahwa keindangan itu bisa terlihat jika manusia tidak merusak alam dan tidak mencemarinya dengan polusi.
Di berbagai belahan dunia lainnya, karantina wilayah yang lebih masif dan ketat berdampak lebih signifikan. Sejak lockdown diberlakukan 22 Maret lalu, India mengalami penurunan polusi udara. Jika di Jakarta kita melihat lanskap Gunung Gede dan Gunung Salah, maka untuk kali pertama setelah 30 tahun, penduduk di India bisa melihat lekuk Pegunungan Himalaya dari Distrik Jalandhar, Punjab, yang berjarak lebih dari 200 kilometer dari tempat mereka.
Enam bulan sebelumnya, kualitas udara di India mencapai level “tak tertahankan”. Saat itu sejumlah sekolah ditutup, penerbangan dialihkan, dan setiap orang diminta untuk menggunakan masker serta menutup pintu ataupun jendela, demi menghindari polusi. New Delhi dan 13 kota lain di India tercatat masuk dalam deret kota dengan polusi tertinggi.
Di China, negara yang pertama menerapkan karantina, berhentinya operasional pabrik dan sepinya jalanan berimbas signifikan terhadap peningkatan kualitas udara. Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) mencatat, sejak 3 Februari sampai 1 Maret 2020, emisi karbon dioksida di negeri itu turun 25 persen.
Citra satelit NASA pun menunjukkan penurunan emisi nitrogen dioksida yang signifikan. Gas yang sebagian besar dihasilkan mobil, truk, pembangkit listrik, dan sejumlah pabrik itu lenyap pada 20-25 Februari 2020.
China yang tercatat sebagai negara penyumbang polusi terbesar, menghasilkan 30 persen emisi karbon dioksida setiap tahunnya untuk bumi. Kurang lebih satu bulan setelah karantina, penurunan emisi di China mencapai 18 persen atau sekitar 250 juta metrik ton karbon dioksida.
Sementara di Eropa, sejak terjadi penurunan produksi manufaktur dan permintaan energi listrik karena COVID-19 , emisi turun hampir 400 juta metrik ton. Bahkan menurut situs web pemantauan kualitas udara Uni Eropa, AirQualityNow.eu, London mengalami penurunan tingkat polusi dari 96 pada hari Minggu menjadi hanya 20 pada hari Senin, setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mendorong orang untuk tinggal di rumah. Padahal biasanya, tiap hari Senin polusi udara London lebih tinggi dibanding akhir pekan.
Selain kadar polusi yang turun, ilmuwan juga mengamati bahwa bumi menjadi lebih sunyi di tengah pandemi. Sekitar 4 miliar orang atau separuh dari populasi dunia mengisolasi diri untuk memutus penularan virus corona. Aktivitas manusia yang berkurang drastis membuat getaran bumi berkurang.
Dilansir CBS, disetopnya sistem transportasi dan berbagai kegiatan manusia berkorelasi dengan getaran bumi yang lebih rendah dari biasanya. Penurunan kebisingan seismik ini, yaitu getaran di kerak bumi, memunculkan peluang langka bagi ilmuwan untuk memonitor gempa bumi kecil, aktivitas vulkanis, serta tremor halus lain yang biasanya tenggelam karena pergerakan sehari-hari begitu banyak manusia.
Berhentinya sementara aktivitas manusia di berbagai belahan dunia, membuka kesempatan pada bumi untuk bernapas lebih lega. Meski begitu, kondisi tersebut bukan hal yang patut dirayakan di tengah ratusan ribu kematian dan puluhan juta pengangguran yang tercipta sebagai dampak dari wabah ini.
Tapi, di sisi lain, kondisi ini membawa kita pada persoalan ekologi dan ekonomi.
Kemunculan wabah tak lepas dari aktivitas perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Pembukaan hutan dan lahan untuk menjadi pabrik, industri perkebunan monokultur, proyek infrastruktur atau pertambangan, memicu kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Hewan-hewan liar yang kehilangan tempat tinggal mencari habitat baru atau menjadi komoditas yang diperjualbelikan, memperbesar kemungkinan kontak langsung dengan manusia.
Satwa liar nan eksotik itu memiliki virus patogen yang sebelumnya hanya ada di antara mereka, namun kemudian bermutasi dan menyebabkan penyakit baru yang bukan hanya beredar di antara hewan, tapi juga manusia.
Prof Andrew Cunningham dari Zoological Society of London mencatat, wabah penyakit menular dari hewan ke manusia mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir, mulai dari ebola, flu burung, sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), sindrom pernapasan akut (SARS), virus West Nile, virus Zika, dan kini COVID-19 yang berasal dari kelelawar.
“Kemunculan dan penyebaran COVID-19 tidak hanya dapat diprediksi, tetapi juga memprediksi akan ada lagi kemunculan virus lain dari satwa liar yang bisa menjadi ancaman kesehatan masyarakat di masa depan,” ujar Prof Andrew kepada Guardian .
Saat ini sejumlah peneliti menganggap bahwa kerusakan biodiversitas akibat ulah manusia, menciptakan kondisi bagi virus baru seperti SARS-CoV-2 untuk muncul dan menyebar ke seluruh dunia. Jika tak ada perbaikan, mungkin saja ancaman serupa kembali terulang di masa yang akan datang.
Secara global, virus corona telah menyebar ke 210 negara, menginfeksi lebih dari 3,7 juta orang, dan menewaskan ratusan ribu jiwa. Beberapa wilayah yang memiliki tingkat kematian cukup tinggi, menurut penelitian, juga terkait tingkat polusi udara yang buruk.
Kajian dari Sekolah Kesehatan Masyarakat T.H. Chan Universitas Harvard menyebut angka kematian pasien COVID-19 bisa bertambah hingga 15 persen akibat bertambahnya partikel halus polusi udara selama beberapa tahun sebelum pandemi terjadi.
Kajian tersebut menyoroti sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Para peneliti menggunakan data polusi udara AS secara nasional dan memasukkan data sensus untuk membandingkan angka kematian COVID-19 yang disusun Universitas John Hopkins.
Mereka menyebut, tingkat kematian itu bertambah ketika konsentrasi partikel halus polusi, yang dikenal sebagai PM2.5 tinggi. PM2.5 adalah partikel halus, berukuran satu per tiga puluh diameter rambut manusia. Jika dihirup, artikel itu bisa mencapai paru-paru dan aliran darah.
WHO memperkirakan ada sekitar tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi udara. Mayoritas negara yang terdampak polusi berada di Timur Tengah, Afrika Sub-Sahara, Afrika Utara, dan Asia Selatan.
Tak heran Indonesia juga harus waspada, mengingat DKI Jakarta kerap berada di jajaran atas kota-kota besar dengan kualitas udara terburuk di dunia. Bahkan terhitung sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan Work from Home (WFH) pada 16 Maret, dan menerapkan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) pada 10 April, tingkat pencemaran udara di Jakarta tak langsung turun signifikan.
“Meski langit Jakarta terlihat lebih cerah ketika diberlakukan WFH dan PSBB, tetapi emisi dari salah satu sumber pencemar, yaitu PLTU, bisa jadi tidak mengalami pengurangan yang signifikan. Ada potensi polutan tersebut juga berkontribusi pada polusi udara di Jakarta dan kota tetangganya,” ujar Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia di acara Media Briefing yang diselenggarakan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibukota), Kamis (30/4).
Bondan menyebutkan bahwa kualitas udara Jakarta selama April 2020 ternyata berada di level yang kurang baik dengan rata-rata konsentrasi polutan PM2.5 per harinya berada pada angka 15-20. Data tersebut didapat dari dua stasiun pemantauan kualitas udara milik US Embassy yang berlokasi di Monas, Jakarta Pusat, dan Blok M, Jakarta Selatan.
Pemberlakuan PSBB, lanjutnya, memang berhasil mengurangi polusi udara di Jakarta yang dihasilkan oleh emisi kendaraan. Kendati demikian, banyak sumbangan polutan PM2.5 dari sumber tak bergerak yang berada di luar Jakarta, membuat kualitas udara di ibu kota tidak sepenuhnya membaik.
Meski selama pandemi polusi udara Jakarta tak terlalu turun signifikan, berbagai perubahan yang terjadi pada bumi saat ini setidaknya membuat kita perlu memutar otak untuk bertahan dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan gerakan bersama yang didukung oleh kebijakan pro lingkungan.
Menurut Yonariza, ahli ekonomi lingkungan Universitas Andalas, kita perlu mengubah perspektif tentang pembangunan. “Kalau kita masih saja mengejar arah-arah pertumbuhan, saya kira itu akan membuat imunitas kembali terganggu. Jadi kita harusnya kembali kepada kearifan budaya lokal dan kepada alam,” ujarnya ketika dihubungi kumparan melalui sambungan telepon, Rabu (6/5).
Setelah mengubah perspektif, idealnya kebijakan yang diturunkan kemudian adalah kebijakan-kebijakan yang tak mengejar pertumbuhan ekonomi semata.
“Kebijakan itu harusnya mengedepankan aspek-aspek kelestarian dan kearifan. Dan mestinya juga memberikan prioritas yang lebih utama kepada masyarakat,” imbuhnya.