Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Akhir Maret lalu, kumparan berkesempatan menonton langsung ritual tahunan Pasola di Desa Wainyapu, Sumba Barat Daya. Setelah dibuat takjub dengan atraksi saling lempar lembing antara dua kelompok itu, kami berbincang dengan tetua adat yang oleh masyarakat di sana disebut Rato.
Pria itu bernama Woraledde. Ia tak bisa berbahasa Indonesia. Percakapan kami dibantu Gerson, seorang penerjemah yang merupakan warga lokal Wainyapu.
Rato bercerita panjang lebar tentang seluk beluk Pasola. Berikut kami sarikan dalam lima fakta Pasola :
1. Hanya Dilakukan Rato Beragama Marapu
Tetua adat yang disebut Rato merupakan tokoh sentral ritual Pasola . Rato punya tugas menafsir tanda-tanda alam seperti peredaran bulan. Dari hitung-hitungan inilah nantinya seorang Rato menentukan waktu yang tepat melaksanakan Pasola.
Seorang Rato yang memimpin upacara Pasola harus menganut kepercayaan Marapu, agama lokal di Sumba. Pasola hanya ada di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat saja, dan Desa Wainyapu menjadi salah satu lokasi diselenggarakannya atraksi budaya tahunan ini.
Tetapi, tak berarti setiap Rato yang menganut Marapu pasti menggelar Pasola. Di Desa Manola, Kecamatan Wawewa Selatan, Sumba Barat Daya, ratonya juga beragama Marapu namun mereka tidak menggelar Pasola.
Bila seorang Rato meninggal, penerusnya adalah putra sulungnya. Penerus Rato yang telah beralih memeluk agama atau kepercayaan lain harus kembali menganut Marapu untuk bisa melaksanakan Pasola.
2. Risiko Alami Cedera dan Kematian
Pasola merupakan ritual dalam bentuk permainan saling serang antara dua kelompok. Tiap peserta menunggang kuda dengan kecepatan tinggi sembari berusaha melempar lembing kayu ke pemain kubu lawan.
Lembing-lebing yang berterbangan bisa membuat peserta terluka bahkan kehilangan nyawa. Dalam tradisi Pasola, mereka yang terluka akan diobati menggunakan air dari tempayan yang sudah disakralkan oleh Rato.
Dulu, menurut warga Desa Wainyapu, banyak korban tewas dalam gelaran Pasola. Meski sejak berpuluh-puluh tahun belakangan, belum ada lagi kejadian ritual Pasola yang berujung maut.
Meski demikian, para peserta masih sering mengalami cedera parah saat bermain Pasola. Semisal, saat lembing yang digunakan mengenai bagian tubuh seperti mata, dan lain-lain.
Meski berisiko menyebabkan cedera dan kematian, peserta Pasola tidak akan dipersalahkan akibat perbuatannya. Begitu ritual Pasola selesai, tak boleh ada dendam di antara peserta.
“Misalnya mati itu tidak apa-apa, tidak ada dendam. (Pemerintah juga tidak menyetop Pasola) justru mendorongnya karena (tidak ada yang) mati, (tapi) cedera iya,” terang Ndara Tanggu Kaha, Wakil Bupati Kabupaten Sumba Barat Daya, saat ditemui kumparan.
3. Tiap Desa Punya Ritual Berbeda
Meski tradisi Pasola ada di Sumba Barat Daya dan Sumba Barat, tapi tanggal perayaan dan ritual yang dilakukan tiap daerah berbeda-beda. Entah apa penyebabnya.
Desa Wainyapu, misalnya, menggelar Pasola pada tanggal 27 Maret 2019. Sementara Pasola di Desa Maliti Bondo Ate dilaksanakan lebih dahulu tanggal 23 Maret.
Bentuk ritualnya juga berbeda. Di Desa Wainyapu, Rato akan menggelar ritual membakar ayam untuk memberitahu arwah nenek moyang bila Pasola akan dilaksanakan. Dalam ritual ini sesaji yang digunakan cukup satu ekor ayam saja. Sementara di tempat lain, ada yang menambahkan sesajian dengan makanan lain, semisal ketupat.
4. Menggunakan Kuda Jantan
Kuda yang ditunggangi peserta dalam ritual Pasola harus jantan. Tak ada alasan pasti mengapa kuda jantan lebih dipilih ketimbang kuda betina.
Namun dalam perkembangannya, kini kuda betina juga kerap digunakan dalam Pasola. Beberapa sumber menyebutkan, ada syarat khusus bila kuda betina akan digunakan dalam Pasola. Kuda itu , harus mandul atau tidak bisa memiliki anak.
Meski demikian, yang paling penting adalah kuda harus bisa dikendalikan oleh si empunya. Itu sebabnya, kuda yang diikut sertakan dalam Pasola tidak boleh mencelakakan penunggangnya atau orang lain.
5. Pasola Diperlakukan Seperti Hari Raya
Bagi warga Sumba, Pasola tak cuma sekadar atraksi budaya. Di balik kemeriahannya, Pasola punya arti lain. Mulai dari ajang adu ketangkasan hingga menjadi momen bercengkrama bersama keluarga besar.
Saat Pasola tiba, sanak famili yang tinggal di luar kampung datang berbondong-bondong. Penduduk dari desa tetangga pun juga datang untuk meramaikan. Mereka memanfaatkan momentum itu untuk bertemu dengan kerabat yang tinggal di lokasi penyelenggaan Pasola.
Karena kedatangan keluarga besar hingga kerabat, maka tiap rumah di desa penyelenggara Pasola akan menyiapkan sambutan. Tamu yang datang akan disuguhi hidangan istimewa.
Pasola seperti hari raya bagi penduduk Sumba. Kala pelaksanaan Pasola, semua keluarga besar berkumpul, makan bersama dengan menu spesial, dan ditutup dengan menonton atraksi budaya.