Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Yohanes Ndara Kepala (45) mengenang peristiwa itu sambil memegang bekas luka di dada. Matahari akhir Maret lalu sedang terik-teriknya, ketika kami berbincang di sebuah kebun di Desa Wainyapu, Sumba Daya Barat, Nusa Tenggara Timur.
“Kena lembing di dada kanan pas tahun 2018,” kata Yohanes dalam Bahasa Indonesia yang terbata-bata. “Lukanya bukan luka lecet, tapi cukup dalam dan parah.”
Cedera itu diperolehnya saat upacara adat menyambut permulaan masa menanam padi. Masyarakat Nusa Tenggara Timur menyebutnya Pasola , yang berasal dari kata ‘sola’ atau ‘hola’ berarti lembing kayu.
Ritual ini merupakan bagian dari kepercayaan Marapu, di mana dua kelompok akan berhadapan. Mereka saling melempar lembing dari atas kuda ke arah lawannya. Pasola biasanya digelar antara bulan Februari dan Maret.
Bagi Yohanes, luka akibat Pasola tahun lalu itu yang terparah sepanjang 15 tahun keikutsertaannya. Untuk mengobatinya, Dia tak datang ke dokter. Seperti kebiasaan para peserta dalam tradisi Pasola, ia memilih menggunakan “air sakral” dari Rato—sebutan untuk Ketua Adat Sumba—untuk membasuh luka.
“Minta air dari tempayan untuk mandi, selesai (mandi) sembuh,” tuturnya.
Pasola bisa berisiko fatal bagi para peserta. Mereka mungkin saja cacat bahkan kehilangan nyawa. Dulu, menurut warga Wainyapu, ada peserta Pasalo yang tewas ketika beraksi.
Tetapi, Yohanes menyingkirkan kekhawatiran itu demi melestarikan tradisi. Dia siap bila hidupnya harus berakhir di tengah permainan Pasola.
“Karena warisan dari leluhur (kami) tetap melaksanakannya,” imbuh Yohanes. “Berani karena adat tapi kalau bukan karena adat, tidak berani”.
Debutnya dimulai saat menginjak usia 30 tahun. Sejak saat itu, tiap tahun tak sekalipun dia absen. Pada mulanya, Yohanes sekadar ikut-ikutan.
“Saya terharu karena teman-teman nunggang kuda makanya saya juga (ikutan) nunggang kuda,” jelasnya seraya tertawa.
Tetapi ada juga dorongan lain yang lebih sentimental. Yohanes merasa ditakdirkan ikut Pasola. Dalam dirinya mengalir darah sang ayah, peserta Pasola penunggang kuda Halato; hewan sakral yang diyakini pasangan kuda Nyale milik tetua adat.
Kini, Yohanes mewarisi kuda Halato berwarna cokelat itu. Menurutnya, tak ada syarat khusus menjadi peserta Pasola: cukup punya kemampuan menunggang kuda dan mengenakan perlengkapan yang ditentukan.
Umumnya Pasola dimainkan oleh kaum pria. Gerson, penerjemah kami, menuturkan pernah ada pengecualian pada tahun 2016 ketika seorang perempuan berkewarganegaraan Prancis bernama Isabela ikut menjadi peserta.
Saat berlaga, peserta Pasola dipersenjatai lembing yang terbuat dari cabang kayu kopi atau jenis kayu berbobot ringan lain. Masyarakat setempat menyebut benda berukuran sekitar satu meter itu sebagai Karindo.
Kepala peserta Pasola harus menggunakan Kapota, pelindung berbentuk kerucut menyerupai topi dengan empat sisi rangka yang dibuat menjulang ke atas dan diberi warna biru. Kapota, kata Yohanes, berfungsi untuk menghindari kepala mudah terluka bila terkena lembing.
Dia membuat sendiri Kapotanya yang terbuat dari kardus dan berbalut kain. Prosesnya butuh waktu dua pekan. Adapun kerangka kapota yang menjulang ke atas bermakna ‘Tuhan ada di atas’.
Kepada kami Yohanes menunjukkan selendang hijau dan selempang biru untuk melindungi bagian dada dari lemparan lembing. Peserta juga mengenakan kelambu untuk menutupi perut hingga dengkul.
Beberapa hari sebelum Pasola, Yohanes biasa menjaga asupan gizinya. Ia akan makan tiga kali sehari, dan mandi dua kali sehari.
“Kalau biasanya makan hanya dua kali dan mandi sekali, (lalu saat Pasola) juga pakai parfum,” katanya.
Sementara itu, kuda Halato yang biasanya diberi ilalang akan mendapat makan istimewa berupa daun jagung. Yohanes juga tak segan merogoh kocek Rp 150 ribu untuk membeli air agar kudanya cukup minum.
Saat Pasola, kepala dan leher kuda Halato diberi hiasan berwarna cerah. “Rambut kuda yang panjang itu dicukur dan dipisahkan (kemudian) dibikin hiasan (untuk kepala),” papar Yohanes.
Ornamen itu diberi penyangga agar tegak ke atas. Cara membuatnya dengan melilitkan kain pada tanduk kerbau, kemudian bulu kuda dimasukan ke dalamnya lalu dijahit.
Hiasan di kepala khusus digunakan kuda Haloto dan Nyale, sebagai penanda kesakralan. Adapun hiasan di leher kuda disebut Giring-giring.
“Setelah Pasola, hiasan tersebut akan disimpan," kata Yohanes.
Di hari pelaksanaan Pasola, ketika semua persiapan sudah lengkap, Yohannes akan meminta restu dari keluarga. Setiap kali momen itu tiba, menurut dia, sang istri selalu berpesan, “Jaga keselamatan diri dan kuda.”