Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Sekitar 20-an warga negara Indonesia akan berlebaran di Negeri Atap Dunia, Nepal , yang terletak di kaki Pegunungan Himalaya. Maksud hati ingin pulang ke negeri sendiri untuk merayakan Idul Fitri, apa daya rencana tak sampai.
“Kita tak pernah bayangkan situasinya akan seperti ini. Nanti Lebaran video call saja sama keluarga biar bisa mengurangi rasa rindu,” ucap Yuri Pibriandi, perawat asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, di Kathmandu kepada kumparan, Selasa (20/5). Ia sedang mengikuti pelatihan anestesi mata di ibu kota Nepal itu ketika terjebak lockdown .
Menurut Direktur Jenderal Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI Judha Nugraha, WNI yang terjebak di Nepal antara lain traveler dan pekerja migran. KBRI kini tengah menyiapkan langkah repatriasi atau pemulangan mandiri untuk mereka.
Judha mengatakan, saat ini memang masih banyak WNI yang tertahan di berbagai negara di dunia semenjak negara-negara itu susul-menyusul menerapkan lockdown atau karantina wilayah, baik parsial maupun total. Untuk itu, KBRI terus berkomunikasi intensif dengan otoritas negara setempat untuk memastikan kondisi WNI di mana pun dalam kondisi baik.
Fokus utama KBRI saat ini adalah menjaga dan memasok akomodasi serta logistik untuk WNI di negeri asing. Dua hal itu dikedepankan agar WNI bisa lebih tenang menghadapi masa karantina di berbagai negara yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir.
“KBRI sudah mendata dan memberikan bantuan logistik dan akomodasi, tapi kebijakan lockdown itu terjadi dimana-mana. (Kami) upayakan semaksimal mungkin bagi mereka, yang paling utama, terjaga kebutuhan pokoknya,” ujar Yudha kepada kumparan.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi WNI yang terjebak lockdown di berbagai negara dan apa saja upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulangkan mereka, berikut perbincangan dengan Dirjen Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha:
Bagaimana kabar sejumlah WNI yang terjebak lockdown di Nepal?
Memang ada beberapa WNI yang terjebak di Nepal. Sebagian Jamaah Tabligh, sebagian wisatawan, ada juga pendaki gunung. Sebenarnya sebelum lockdown, KBRI di Dhaka (Bangladesh)—karena untuk Nepal di-cover (dirangkap) oleh (KBRI) Banglasdesh—sudah memberikan imbauan, dan ada beberapa yang sudah pulang. Tapi memang ada yang memilih untuk tetap di sana dan akhirnya kena lockdown.
Ada pula perawat asal Mataran yang terjebak lockdown di Nepal saat mengikuti pelatihan anestesi mata selama dua bulan. Baca selengkapnya kisahnya di sini:
Bagaimana komunikasi dengan otoritas setempat?
Sudah dilakukan oleh KBRI Dhaka. Ini masalah teknis. Kita kan menggunakan mekanisme repatriasi (pemulangan) mandiri, dan ada dua jenis mekanisme, yakni evakuasi dan repatriasi mandiri. Pertama, untuk evakuasi, sesuai UU itu dilakukan untuk kondisi yang sifatnya membahayakan jiwa dan kemudian biayanya akan dibebankan ke atau menjadi tanggungan negara.
Kedua, repatriasi mandiri yang sifatnya tidak membahayakan jiwa. Kondisi mereka, dalam pantauan KBRI Dhaka, baik. Artinya, kondisi akomodasi dan logistik mereka tercukupi. Tentu kami sangat memahami ada dampak psikologis kalau (terkena) lockdown (di negeri asing) untuk waktu yang lama.
Situasi ini terjadi di semua negara yang menerapkan lockdown. Di situ (hampir selalu) ada WNI yang terdampak.
Apakah sudah ada WNI yang berhasil pulang dengan cara repatriasi mandiri?
Itu sudah berhasil sebenarnya untuk yang di Dhaka, Bangladesh. Kami sudah memulangkan 196 WNI (dari Bangladesh) dan 59 WNI dari India.
Kenapa (yang di Bangladesh dan India) mudah? Karena jumlahnya banyak. Jadi kita menggunakan pesawat tentu biayanya lebih murah. Kalau di Nepal itu kan (jumlah WNI-nya) sedikit, jadi situasi mereka kalau menggunakan mekanisme repatriasi akan berat.
Sekarang kami terus pantau dan diskusikan bagaimana cara memulangkan mereka secepatnya. Fokus kami tetap bagaimana memulangkan mereka, tapi yang paling prioritas saat ini adalah memastikan kondisi mereka terjaga logistik dan akomodasinya.
Apakah repatriasi tidak bisa dilakukan bersama-sama di beberapa negara sekaligus yang lokasinya berdekatan?
Secara teknis waktu itu kan jumlah WNI 196 orang dan harus ada social distancing juga di pesawat. Jadi ada jumlah kuota, dan WNI kita di Dhaka saat itu perlu segera dipulangkan ke Indonesia untuk menghindari penyebaran lebih lanjut dampak COVID-19 (risiko penularan). Mereka termasuk kelompok rentan terinfeksi, jadi ada urgensi untuk menyegerakan kepulangan mereka.
Jadi ada skala prioritas untuk pemulangan WNI yang terjebak lockdown di berbagai negara, ya?
Iya, kami tentukan situasinya case by case. Kami tentu membuat skala prioritas. Jadi tugas kami mengupayakan (kepulangan) dan memastikan kondisi mereka baik dan aman selama masa lockdwon.
Cara memastikannya bagaimana? Lewat pemenuhan logistik tadi?
Yang utama adalah memastikan suplai logistik dan akomodasi mereka tetap terjaga selama masa lockdown, sehingga mereka bisa menghadapi masa lockdown itu dengan relatif baik.
KBRI sudah mendata dan memberikan bantuan logistik serta akomodasi bagi mereka. Tapi kebijakan lockdown kan terjadi di mana-mana. Kami upayakan semaksimal mungkin mereka terjaga kebutuhan pokoknya. itu dulu prioritasnya.
Ada WNI di Nepal yang mengaku belum mendapat bantuan sama sekali. Dia perawat.
Akan kami cek. Tapi begini, kami membantu yang paling rentan di antara mereka dulu. Jadi ketika mereka masih bisa di-support keluarga di Indonesia, itu yang kami harapkan. Tapi tetap, tanggung jawab perwakilan KBRI adalah memastikan kondisi logistik dan akomodasi mereka terjamin.
Yuri Pibriandi, perawat Mataram yang terkunci lockdown di Nepal ketika sedang mengikuti pelatihan anestesi mengatakan, uangnya bisa untuk bertahan 15 hari ke depan. Dialah yang belum menerima bantuan dari KBRI Bangladesh-Nepal. Sejauh ini, ia bertahan dengan sering makan mi instan dan telur untuk sahur serta berbuka karena hampir semua toko logistik di kota itu tutup.
“Logistik (di kamar) sisa untuk dua hari lagi. Kemarin beberapa grosir masih ada yang buka pada jam tertentu—jam 5-6 sore, atau 6-8 pagi. Sekarang pasar sudah tutup semua,” ujar Yuri yang diperbolehkan menginap gratis di guest house rumah sakit tempatnya menjalani pelatihan di Kathmandu.
Apakah banyak WNI yang terjebak lockdown di berbagai negara?
Supaya konteksnya tepat, kan ada warga negara kita yang berstatus residen (penduduk) di sana, mereka yang memang menetap dan tinggal di sana; dan ada juga yang non-residen atau traveller. Yang kita kategorikan terjebak adalah yang non-residen.
Ada kesulitan dalam mendata mereka?
Untuk yang di Nepal, kita punya Konsul Kehormatan di Kathmandu. Kejadian ini juga jadi reminder buat kita bahwa banyak WNI yang tidak melapor ke perwakilan. Itu yang menyulitkan kami untuk menjangkau mereka saat ada masalah. Pendaki kita yang ke Himalaya juga harus lapor, jadi kalau terjadi apa-apa kita bisa beri bantuan dengan cepat.
Tapi, tugas KBRI adalah membantu. Dia lapor atau tidak, kami akan bantu. Tentunya, bantuan yang diberikan KBRI akan lebih efektif kalau datanya sudah ada sejak awal, sehingga kami bisa mengantisipasi atau melakukan langkah-langkah pencegahan.
Lapor diri mudah kok, pakai online sudah bisa. Misal ditanya ada berapa jumlah WNI yang ada di Kathmandu, kami nggak bisa jawab secara pasti karena yang kami catat adalah yang melaporkan diri.
Contoh sebelumnya, saat gempa Nepal dulu kami tidak punya data WNI di Nepal karena banyak pendaki tak lapor. Kemudian KBRI menggunakan jejaring teman-teman pendaki untuk mencarii tahu siapa keluarga atau kerabatnya yang sedang mendaki di Himalaya. Datanya memang ketemu. Tapi effort jadi lebih lambat.
Dua pendaki Himalaya yang kini terjebak lockdown di Nepal, Adi Murdani dan Teddy, kini menginap di Hotel Yala Peak, pusat Kota Kathmandu. Keduanya mendapat bantuan dari KBRI pada periode pertama lockdown di Nepal berupa uang tunai Rp 650-750 ribu untuk membeli kebutuhan logistik. Namun, kini lockdown di Nepal diperpanjang.
Adi dan Teddy diberi keringanan biaya sewa kamar oleh pemilik hotel tempatnya tinggal, dari semula 1.900 Rupee menjadi 1.400 Rupee atau setara dengan Rp 180 ribu per hari. Mereka juga mendapat makan gratis. Sebagai rasa terima kasih, keduanya membantu karyawan hotel itu memasak.
“Dari sekian tamu, kami yang dia bantu,” ujar Adi bersyukur, sambil berharap dapat segera kembali ke tanah air.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.